Thursday, April 3, 2008

Kompas 4-Apr-08: Pitoyo Ngatimin, Instruktur Pertanian Sayur Organik

Pitoyo Ngatimin, Instruktur Pertanian Sayur Organik
KOMPAS/ANTONY LEE / Kompas Images
Pitoyo Ngatimin
Jumat, 4 April 2008 | 00:32 WIB

Oleh Antony Lee

Saat tidak lagi menggunakan pupuk serta pembasmi hama kimia, dan beralih pada kotoran sapi sebagai pupuk sekitar tahun 1998, Pitoyo menjadi bahan tertawaan petani lain. Namun, kurang dari 10 tahun kemudian, dia berhasil menemukan formulasi pupuk organik dari urine (air seni) dan feses (kotoran) sapi yang bisa meningkatkan kualitas produk.

Petani Dusun Selo Ngisor, Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, ini bahkan kerap diminta mengajarkan cara bertanam organik dengan pemanfaatan pupuk kandang dan pembasmi hama alami oleh kelompok tani Tranggulasi, tempatnya bernaung. Tak hanya itu, dia juga diminta mengajari petani dari daerah lain, seperti dari Temanggung, Magelang, Sukoharjo, dan Purbalingga.

Ini pula yang membawa Pitoyo dan kelompoknya mendapat penghargaan dalam bidang budidaya sayuran organik tingkat nasional tahun 2006. Lulusan sekolah pertanian menengah atas ini juga tak pernah membayangkan model pertanian yang diterapkannya itu membawa dia bisa bertemu langsung dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam bertani, Pitoyo memadukan pupuk dari feses dan urine sapi yang sudah difermentasi. Untuk memberantas hama tanaman, dia memanfaatkan bahan-bahan alami. Hanya saja, bahan yang dia gunakan sangat beragam, sesuai dengan jenis hamanya. Untuk memberantas ulat misalnya, dia menyemprotkan rebusan tembakau dan sirih.

Sebagai pengganti pupuk kimia, Pitoyo menampung urine sapi miliknya dan sapi dari anggota kelompok tani yang lain. Sekitar 50 liter urine yang biasanya terkumpul untuk sekali pengolahan itu dicampur dengan empon-empon atau tumbukan bumbu dapur seperti kunyit, temulawak, jahe, dan lengkuas. Campuran ini lantas ditambah dengan air 10 liter, lalu direbus hingga mendidih.

Setelah ditiriskan, rebusan itu dicampur dengan 5 kilogram tetes tebu, 2,5 kilogram terasi, serta tiga potong besar tempe busuk. Semua bahan tersebut lalu disimpan di dalam tong yang ditutup rapat selama setengah bulan. Setiap tiga hari sekali, adonan itu diaduk selama sekitar lima menit. Setiap satu gelas pupuk yang sudah jadi itu bisa dicampur dengan 14 liter air.

”Resep ini saya dapat saat ada pelatihan dengan Ikatan Pengendali Hama Terpadu Indonesia. Sekarang kami sudah bisa mengembangkan formula yang lebih kuat dan tidak lagi menggunakan empon-empon,” kata Pitoyo yang menyebut produk itu sebagai pupuk kocor.

Meski tidak mau menyebutkan cara pembuatan formula pengembangan ini, dia mengaku hasilnya jauh lebih kuat, meskipun dia tetap tidak menggunakan bahan kimia.

Selain pupuk kocor tersebut, dia juga menggunakan pupuk kandang yang diolah dengan proses bokasi. Kotoran sapi ditumpuk menjadi beberapa lapisan dan diberi abu dapur. Bahan-bahan itu kemudian dicampur dengan beberapa bahan khusus lainnya.

Lebih hemat

Dengan menggunakan metode ini, dia bisa menekan biaya produksi karena bahan yang digunakan tak harus dibeli. Sebagai contoh, setiap kubis yang biasanya membutuhkan biaya produksi Rp 500 dengan pupuk dan pembasmi hama kimia, dengan organik bisa ditekan hingga hanya Rp 300 per buah. Ini sudah termasuk tenaga kerja.

Selain itu, hasil pertanian dengan menggunakan cara ini juga bisa lebih tahan lama. Tanaman kubis yang menggunakan pupuk kimia, bila tidak segera dipanen setelah saatnya tiba, akan busuk dalam waktu sekitar tiga hari. Namun, dengan pupuk kandang, meski sudah lewat beberapa minggu, kubis itu masih belum busuk, hanya perlahan mengering.

Ketika mulai menggunakan pupuk kandang tahun 1998, Pitoyo belum tahu banyak perihal pertanian organik. Dia hanya terdorong oleh perasaan kesal karena hasil panen kubis dari lahan seluas 4.000 meter persegi miliknya hanya dihargai Rp 60.000.

Harga kubis pada saat itu sangat jatuh, hanya Rp 60 per kilogram. Padahal, biaya untuk membeli pupuk kimia dan pembasmi hama cukup besar. Ongkos produksinya diperkirakan berkisar Rp 250 per kubis dengan berat 0,5-1 kilogram.

”Saya waktu itu sudah benar-benar kesal karena modal habis. Saya lalu mencoba menanam kubis lagi, tetapi hanya menggunakan pupuk kandang. Saat pertama kali mencoba, gagal total karena tanah sudah terbiasa dengan pupuk kimia,” ujar Pitoyo.

Namun, dia tidak menyerah dan terus mencoba hingga empat kali tanam. Pada saat itu, apa yang dia lakukan ditertawakan petani lain. Bahkan, keluarganya ikut mencemooh karena berkali-kali menemui kegagalan. Pada tanam kedua, hasilnya mulai membaik, begitu pula dengan tanam ketiga. Baru pada panen keempat hasilnya sudah setara dengan saat dia menggunakan pupuk kimia.

Fermentasi

Ketika mencoba lepas dari pupuk kimia, dia sama sekali belum memahami cara fermentasi. Pitoyo hanya meyakini, jauh sebelum pupuk kimia dikenal, nenek moyangnya sudah bertani dan memanfaatkan pupuk kandang. Ini akhirnya bisa dibuktikan dan dikembangkannya. Dalam kelompok tani yang dia bina, ada sekitar 20 hektar lahan yang sudah terlepas dari bahan kimia.

Meskipun sudah berhasil menyebarkan cara bertani yang lebih aman bagi lingkungan dan kesehatan ini, Pitoyo masih belum puas. Impiannya untuk mengembangkan pertanian organik yang benar-benar mandiri, menurut dia, masih separuh jalan. Kelompok taninya belum bisa mengembangkan pembibitan organik karena keterbatasan modal.

Selain itu, pemasaran produk sayuran organik ini pun masih terbatas. Baru 5 persen dari hasil produksi kelompok taninya yang diserap pasar khusus, yang mau memberi harga dua kali lipat dibandingkan dengan harga sayur sejenis.

Karena itu, kelebihan produk pertanian organik tersebut masih harus dijual di pasar tradisional yang belum terlalu menghargai sayuran organik. Di pasar ini, harga sayuran organik itu sama dengan sayur yang dikembangkan petani dengan menggunakan pupuk kimia.

”Sampai sekarang kami masih mencoba mengembangkan pertanian organik yang mandiri, mulai dari hulu hingga hilir,” katanya.

No comments: