Tuesday, April 15, 2008

Kompas 16-Apr-08: Mulai Pakai Rawit Merah Oplosan

Mulai Pakai Rawit Merah Oplosan
Siasat Pengusaha Makanan supaya Bisa Bertahan
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN / Kompas Images
Pedagang membersihkan kotoran yang tercampur di tumpukan cabai rawit yang dijual di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Selasa (15/4). Harga cabai rawit hijau Rp 8.000-Rp 9.000 per kg, sedangkan cabai rawit merah terus naik hingga mencapai Rp 35.000 hingga Rp 40.000 per kg.
Rabu, 16 April 2008 | 02:24 WIB

Jakarta, Kompas - Pelaku usaha makanan mulai menggunakan cabai rawit merah oplosan, menyusul kenaikan harga sayuran itu yang mencapai Rp 40.000 per kilogram. Sejak dua pekan terakhir, pedagang makanan dari kaki lima hingga restoran mencampur cabai rawit hijau sebagai pengganti sebagian cabai rawit merah dalam masakan.

”Kalau tidak mengoplos dengan cabai rawit hijau, saya bisa merugi banyak,” kata Sakijan, pemilik bakmi Kondang yang tinggal di Petukangan Utara, Jakarta Selatan.

Dalam sehari, Sakijan yang memiliki 100 pedagang keliling dan 10 warung bakmi ini menggunakan cabai rawit merah 15-20 kg untuk sambal sebagai pelengkap dagangannya.

Cabai itu untuk melengkapi dagangannya yang dalam sehari menghabiskan 500-600 kg mi mentah.

Seperti diberitakan, harga cabai rawit merah mencapai Rp 35.000-Rp 40.000 per kg. Naiknya harga bahan kebutuhan pokok ini menyusul pasokan dari daerah produsen yang seret akibat faktor cuaca.

Menghemat

Sakijan mengatakan, tingginya harga cabai rawit merah mengakibatkan dia harus mengeluarkan anggaran Rp 800.000 per hari. Namun, dia tidak berani mengambil risiko itu.

Dia akhirnya memilih mencampur cabai rawit merah dan rawit hijau yang harganya lebih murah, yakni Rp 8.000-Rp 9.000 per kg. Dari kebutuhannya, dia menggunakan cabai rawit merah 10-15 kg dan sisanya rawit hijau 5-10 kg per hari.

”Paling tidak saya bisa menghemat uang belanja Rp 250.000- Rp 350.000 per hari,” kata Sakijan.

Menggunakan cabai oplosan juga dilakukan pedagang kaki lima, seperti Pak Kumis, pedagang mi bakso di Rumah Sakit Haji Pondok Gede, Jakarta Timur.

”Kalau tidak pakai cabai oplosan, saya mau dapat untung apa? Modal bisa habis dan yang ada malah saya jadi bangkrut,” kata Pak Kumis.

Dari kebutuhan 5 kg cabai rawit untuk sambal pelengkap dagangannya, Pak Kumis menggunakan separuh atau 2,5 kg cabai rawit hijau.

Makanan khusus

Lain lagi yang dilakukan Sofie Eman, pemilik Restoran Beautika, masakan Manado. Untuk beberapa jenis makanan, seperti sambal dabu-dabu dan sayur-sayuran, dia berani menggunakan oplosan cabai rawit merah dan hijau.

Akan tetapi, khusus masakan tertentu, seperti ayam, sapi, dan ikan rica-rica, Sofie tetap mempertahankan memakai cabai rawit merah sebagai bumbu utama.

”Meski harga mahal, saya tetap menggunakan cabai rawit merah. Saya tetap menjaga standar masakan lauk ini dengan tidak mengurangi porsi cabai rawit merah,” kata Sofie.

Baik Sakijan, Sofie, maupun Pak Kumis mengakui, pengurangan cabai rawit merah dan diganti cabai rawit hijau memengaruhi warna dan rasa dari makanan dan sambal.

”Rasa pedas sambal memang berkurang. Juga warna yang seharusnya merah menjadi kurang merah lagi,” kata Sakijan. Untuk membuat sambal tetap merah, dia menambah jumlah tomat dalam campuran sambal.

Belum naik

Kendati sejumlah kebutuhan pokok terus naik, hingga kini pelaku usaha masih tetap mempertahankan harga jual dagangan mereka. Mereka belum berani menaikkan harga makanan karena daya beli masyarakat tergolong rendah.

Pelaku usaha juga tak mau mengurangi jumlah porsi makanan yang dijual, menyusul kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok.”Kalau mau menaikkan harga jual makanan, siapa yang mau beli?” ujar Sakijan.

Akan tetapi, Sofie menambahkan, bila sampai akhir April harga bahan kebutuhan pokok naik terus, mau tidak mau dia harus menaikkan harga makanan.

Sebagai pedagang makanan yang membutuhkan cabai, kata dia, mereka harus bisa menyiasati ketika harga cabai mahal. (PIN)

No comments: