Friday, April 11, 2008

Kompas 11-Apr-08: Mereka yang Dibodohi dan yang Melawan (Korban Hibrida Cina)

KORBAN HIBRIDA
Mereka yang Dibodohi dan yang Melawan
Jumat, 11 April 2008 | 00:44 WIB

Kamadi (64), petani tua dari Dusun Karang Duwet, Desa Kebon Agung, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ini ditipu. Namun, setelah gagal panen karena menanam padi hibrida dengan benih impor dari China, dia tetap menurut ketika untuk kedua kalinya dibujuk dinas pertanian setempat dan agen pengusaha untuk menanam benih yang sama. Kamadi pun terjerembap dalam lubang yang sama dua kali.

Sore itu kami dibawa Kamadi ke sawahnya. Padinya sudah berumur dua bulan. Mestinya tinggal satu bulan lagi panen. Namun, tanda-tanda gagal panen membayang. Tanaman padi Kamadi sebagian kerdil, sebagian kering kecoklatan. ”Sama dengan yang pertama, sepertinya akan gagal lagi,” keluh Kamadi, yang juga korban bencana gempa yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dua tahun lalu.

Rumah Kamadi hancur akibat gempa. Seorang kerabatnya meninggal. Hidup keluarga Kamadi dimulai dari titik nol. Saat itulah, sekitar Oktober 2007, staf dinas pertanian setempat yang bekerja sama dengan perusahaan pengimpor benih menawarkan benih padi hibrida kepada Kamadi, yang juga sesepuh Kelompok Tani Nyupoyo Buko.

Kamadi dan 40 anggota kelompok taninya—yang semuanya juga korban gempa—menanam benih bantuan itu di lahan seluas 6 hektar. Kamadi sendiri menanam benih itu di lahannya yang seluas 2.000 meter persegi. Untuk biaya membajak, menanam, memupuk, dan obat-obatan, Kamadi mengeluarkan uang lebih dari Rp 1 juta. Itu belum termasuk tenaganya sendiri yang tak dihitung.

”Uang itu hasil menjual sisa tabungan yang ada,” kata dia. Namun, jangankan menangguk untung. Kamadi yang terpuruk akibat bencana gempa makin terpuruk karena padinya gagal panen.

Semua padi yang ditanam kelompoknya juga hancur. Ada hama baru, seperti sundep, tetapi lebih ganas, yang menyerang padinya. ”Kalau dicabut, akar padi yang terserang penyakit itu seperti ada cacingnya. Kami sudah lapor ke dinas. Mereka hanya bisa ngurut dada, tapi ya tidak bisa berbuat banyak,” keluh Kamadi.

Kamadi, yang merasa ikut bertanggung jawab memperkenalkan bibit itu kepada kelompoknya, pusing tujuh keliling. Namun, dia terikat untuk kembali mencoba menanam benih hibrida sekali lagi. ”Saya takut kalau tidak nurut, kami hanya orang kecil,” kata dia.

Tony Septiawan, Koordinator Yayasan Bio Tani Wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, menceritakan, ”Saat bertemu dengan Kamadi setelah gagal panen bulan Desember lalu, dia stres berat. Bahkan, sempat mau bunuh diri. Herannya, dia tidak kapok, malah sekarang mencoba lagi benih hibrida lagi,” kata Tony

Menurut Tony, Kamadi adalah potret mayoritas petani Indonesia yang mudah dibodohi, sementara pemerintah tidak bertanggung jawab dan sering kali menjerumuskan petani dengan proyek-proyek baru.

Tak jarang, staf birokrasi pemerintahan justru bertindak sebagai semacam sales (tenaga pemasar) bagi produsen atau pedagang benih. Itu yang membuat para produsen atau pedagang benih hibrida tetap merajalela meski sudah membuat banyak petani merugi.

Yang melawan

Lain halnya dengan Panut (56). Ketua Kelompok Tani Ngudi Rukun di Kelurahan Ngesti Harjo, Kecamatan Kasian, Bantul, ini menolak tegas benih padi hibrida impor yang ditawarkan oleh pengusaha yang bersekutu dengan dinas pertanian setempat.

Pada Februari 2008 Panut diundang datang dalam acara pembentukan gabungan kelompok tani (gapoktan) di kantor kecamatan bersama sejumlah ketua kelompok tani lain. Namun, di sana kelompok tani itu justru diceramahi untuk menanam padi hibrida dengan benih impor dari China. ”Kami merasa ditipu. Undangan tidak sesuai dengan kenyataannya,” kata dia.

Bagi Panut, bibit padi hibrida yang ditawarkan tidak bisa diterima karena dia tak ingin menjadi kelinci percobaan. Harga bibit terlalu mahal, yaitu Rp 45.000 per kilogram. Rasa dan umur padi juga belum teruji. ”Kami juga takut adanya hama baru yang muncul dari benih impor ini,” kata Panut, yang lulusan sekolah teknik menengah ini.

Dan yang paling meresahkannya, bibit padi hibrida itu, menurut Panut, akan menyebabkan petani bergantung pada pihak luar. Panut memilih mengembangkan padi varietas lokal, seperti rojolele, yang bibitnya bisa dimuliakan sendiri.

Panut kini juga mengembangkan obat-obatan dengan bahan alami dan menggunakan pupuk kandang dan kompos untuk menggantikan pupuk urea. Pekarangan rumahnya dipenuhi tumbuhan yang bisa digunakan untuk mengusir hama padi, misalnya tanaman mindi untuk mengusir burung dan belalang.

Andai petani-petani Indonesia bisa meniru jejak Panut, berani melawan dan bersikap. Siapa mau memberdayakan petani dan bukannya membodohi mereka? (AIK/TAT)

No comments: