Thursday, April 17, 2008

Buku DUA TONGKOL JAGUNG - Roland Bunch

Buku Dua Tongkol Jagung - Roland Bunch

Hari Senin 14 April lalu, saya ngobrol-ngobrol dengan Dr Edi Basuno dan Dr Rita Ganda Soemita di PSE, Jl A Yani, Bogor. Obrolan kami terutama mengenai bagaimana pengalaman mereka membentuk Kelompok Tani BINANGKIT, Dusun Pasantren, Desa Balekambang, Nagrak, Sukabumi bisa dicopy-paste dengan cepat ke tempat-tempat lain.

Sudah begitu banyak program-program bantuan pemerintah, yang dari penyerahan domba ternak atau sapi perah, yang berubah menjadi sate dalam sekejap. Meskipun percobaan mereka masih singkat (baru 3 tahunan) dan masih berjalan (tanpa dukungan pemerintah), KT Binangkit saya 'rasa' bolehlah. Saya melihatnya, meski cuma beberapa jam, dari dinamika kelompok yang ditunjukkan sore itu (10 April 2008). Para anggota aktif dan bergerak serba cepat.

Ngobrol sana ngobrol sini, Mas Edi menunjukkan buku pinternya. Ya, buku Pak Bunch ini. Ketika mereka menerimanya beberapa tahun lalu, mereka membahasnya halaman per-halaman. Seru sekali.

Ketika saya melihat buku itu, saya merasa pernah punya, sehingga tidak jadi meminjam. Benar sekali, ketika tiba di rumah, buku itu ada. Saya membelinya 3 November 2002! Versi Indonesianya yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia dan World Neighbors memang baru terbit 2001.

Buku langsung saya geber baca... malam itu juga... dan baru selesai beberapa menit lalu. Jumat 0200 tadi. Byuh byuh byuh, memang ruarrr biasa!!!

Terimakasih Mas Edi, terimakasih Mbak Rita.
Bravo!!!

Kompas 17-Apr-08: Warga Tolak Kebun Sawit (Muara Enim)

Warga Tolak Kebun Sawit
Upaya Demonstran Terobos Gedung DPRD Dihalangi Aparat
Kompas/Boni Dwi Pramudyanto / Kompas Images
Gabungan aparat kepolisian menjaga ketat unjuk rasa ribuan warga Kabupaten Muara Enim di Kantor DPRD Sumsel, Rabu (16/4). Unjuk rasa dilatarbelakangi penolakan terhadap masuknya investor kelapa sawit yang menggusur lahan serta kebun garapan milik warga di 13 desa di Kecamatan Gelumbang dan Sungai Rotan.
Kamis, 17 April 2008 | 02:10 WIB

Palembang, Kompas - Ribuan warga Kecamatan Gelumbang dan Sungai Rotan, Muara Enim, berunjuk rasa di DPRD Sumsel, Rabu (16/4). Warga mendesak DPRD mengeluarkan rekomendasi penolakan pembukaan lahan sawit 6.000 hektar karena menggusur lahan dan kebun yang jadi tumpuan mata pencarian.

Dari pantauan Kompas, ribuan warga dari 13 desa di dua kecamatan tersebut mendatangi Kantor DPRD Sumatera Selatan dengan menggunakan mobil, sepeda motor, dan angkutan umum. Sekitar pukul 10.30, para pengunjuk rasa yang sebagian besar berasal dari segmen kelas menengah-bawah memulai aksi dengan berorasi di halaman Kantor Dewan.

Para pengunjuk rasa juga membawa berbagai poster, selebaran, dan foto bernada sindiran terhadap Pemerintah Kabupaten Muara Enim yang mereka nilai kurang memerhatikan kepentingan rakyat kecil. Orasi lepas ini berlangsung sekitar setengah jam.

Di tengah-tengah unjuk rasa, sebagian anggota Dewan keluar gedung dan menemui demonstran. Kepada massa demonstran, mereka meminta pengertian agar tidak berbuat anarki. Menanggapi situasi tersebut, massa pengunjuk rasa kemudian membacakan pernyataan sikap bersama warga Sungai Rotan dan Gelumbang.

Setelah itu, anggota DPRD dari jajaran pengurus dan anggota Komisi I langsung mengadakan pertemuan di ruang rapat Kantor DPRD Sumsel dengan wakil pengunjuk rasa. Pertemuan berlangsung sekitar dua jam.

Menurut koordinator unjuk rasa Aspihani, persoalan ini bermula dari turunnya izin lokasi dari Bupati Muara Enim kepada PT Cahaya Vidi Abadi untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit seluas 6.000 hektar yang masuk wilayah administrasi Kecamatan Gelumbang dan Sungai Rotan.

”Izin lokasi ini tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Muara Enim Nomor 175/KPTS/2006 tertanggal 27 Februari 2006,” ucap Aspihani.

Tidak pernah setuju

Dalam perkembangannya, muncul surat tertulis yang berisi persetujuan warga di dua kecamatan tersebut tentang pembukaan lahan kelapa sawit. Padahal, Aspihani menegaskan bahwa hampir semua warga di 13 desa di dua kecamatan tidak setuju terhadap pembukaan lahan kelapa sawit ini.

”Alasannya, pembukaan lahan kelapa sawit ini justru menggusur lahan dan kebun garapan warga. Perlu diketahui bahwa warga desa sudah menggarap lahan pertanian itu secara turun temurun sehingga menjadi sumber mata pencaharian utama bagi warga,” ucapnya.

Sebagai upaya tindak lanjutnya, Aspihani menjelaskan bahwa sebagian besar warga Kecamatan Gelumbang dan Sungai Rotan menggelar dua kali pertemuan pada 19 dan 26 Februari 2008. Pertemuan akbar warga itu menghasilkan kesepakatan bersama bahwa masyarakat Gelumbang dan Sungai Rotan dengan tegas menolak lahan sawit milik PT Cahaya Vidi Abadi.

”Selain menggusur lahan garapan, penolakan kami juga terkait dugaan mengenai adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemberian izin lokasi ini. Daripada bermasalah, kami menuntut lahan sawit dibatalkan,” kata Ahmad, seorang pengunjuk rasa.

Mengingat perjuangan warga di tingkat kabupaten tidak bisa maksimal, warga mengutarakan aspirasi ke DPRD provinsi. Aspihani mewakili para pengunjuk rasa mendesak DPRD Sumsel mengeluarkan rekomendasi pembatalan.

Menanggapi hal itu, pimpinan Komisi I DPRD Sumatera Selatan Amirudin Nahrawi hanya berjanji untuk membawa aspirasi warga Kabupaten Muara Enim ini ke agenda rapat pleno dan rapat paripurna sehingga banyak mendapat masukan. (ONI)

Wednesday, April 16, 2008

Kompas 17-Apr-08: Semangat Anak Gunung demi Padi Gogo Aromatik - Totok Agung Dwi Haryanto

Semangat Anak Gunung demi Padi Gogo Aromatik
KOMPAS/MADINA NUSRAT / Kompas Images
Kamis, 17 April 2008 | 01:43 WIB

Madina Nusrat

Selama 37 tahun lebih padi gogo dibudidayakan di Indonesia, tetapi luas lahannya tidak lebih dari satu juta hektar. Selama itu pula varietas padi gogo tidak banyak dikembangkan. Sekitar 55,6 juta hektar lahan kering di Indonesia nyaris luput dari perhatian pemerintah untuk dieksplorasi sebagai lahan pertanian padi.

Berangkat dari kondisi itulah, sejak tujuh tahun lalu, Totok Agung Dwi Haryanto tekun meneliti dan membuat percobaan untuk menemukan padi gogo yang tak apek dan enak dimakan. Padi yang nilai jualnya juga tak lebih rendah dibandingkan dengan harga padi sawah.

Hasilnya, tahun ini dia menemukan tiga macam padi gogo aromatik, hasil perkawinan padi gogo dari Poso dengan tiga macam padi aromatik kelas premium, yaitu mentik wangi, pandan wangi, dan rojo lele. Namun, ketiganya belum ada yang diberi nama.

”Saya baru mengajukannya ke Departemen Pertanian agar ketiganya diberikan nama. Kemungkinan ketiganya akan diberi nama danau, sesuai konsensus untuk penamaan padi gogo,” tutur pria kelahiran lereng Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 23 September 1963, ini.

Sehari-hari Totok mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto. Dia juga menjadi Direktur Akademik Program Pascasarjana Unsoed.

Lahan kering dan padi gogo, bagi Totok, bagaikan mutiara yang terlupakan. Keberadaannya selalu diabaikan pemerintah. Lahan kering tak pernah dianggap sebagai suatu aset yang dapat ikut menopang ketahanan pangan nasional. Padi gogo yang bernilai jual rendah, tetapi tahan terhadap cuaca kering, juga tak pernah dieksplorasi untuk dicari kelebihannya.

Peningkatan produksi padi yang dilakukan pemerintah lebih terfokus pada lahan sawah, terutama melalui program intensifikasi. Upaya itu memang dapat meningkatkan produktivitas maupun produksi, tetapi belum memecahkan masalah penyediaan pangan yang mencukupi kebutuhan nasional.

”Terbukti, setiap tahun kita masih mengimpor beras dari luar negeri,” ujar doktor lulusan Universitas Kyushu, Fukuoka, Jepang, 1998, itu.

Belum lagi, peningkatan produksi padi berbasis lahan sawah terhambat penyempitan lahan akibat alih fungsi, yang umumnya sawah beririgasi teknis maupun setengah teknis dengan produktivitas tinggi.

”Ini masih ditambah lagi kesuburan tanah yang terus menurun dan inefisiensi pemupukan, terutama urea. Selain itu juga ketidakpastian musim yang menyebabkan puso, kekeringan pada musim kemarau maupun kebanjiran pada musim hujan. Kehadiran organisme pengganggu tanaman juga menjadi masalah yang dihadapi pertanian padi sawah,” tuturnya.

Sebaliknya, padi gogo yang tumbuh di lahan kering cenderung lebih tahan dalam cuaca apa pun. Lahan perladangan yang tersedia di Indonesia pun cukup luas. Hanya karena rasa dan aroma yang kurang menarik, jenis ini tak laku dijual di pasaran. Harganya pun tak lebih dari Rp 2.500 per kilogram.

Perkawinan silang

Namun, dengan rekayasa terhadap mutu kimia pada bulir beras, kekurangan padi gogo itu dapat diubah menjadi lebih baik, yakni dengan perkawinan silang antara padi gogo dan padi kelas premium aromatik. Aroma dan rasa padi gogo bisa diubah menjadi beras yang harum dan sama enaknya dengan beras dari lahan sawah.

Bagi ahli pertanian seperti dirinya, rekayasa kimiawi seperti ini menjadi tantangan tersendiri. Selain terdorong meningkatkan produksi beras, Totok juga tertantang menghasilkan beras varietas unggul baru dengan kualitas lebih bagus daripada varietas yang sudah ada.

”Ini salah satu tujuan utama para pemulia tanaman,” ujar Totok.

Sejak tahun 2000 sebenarnya ada sembilan macam padi gogo aromatik yang ditemukan sejumlah ahli pertanian di Indonesia. Namun, hasil temuan itu belum banyak dipasarkan kepada petani.

Oleh karena itulah, dengan tiga varietas padi gogo aromatik temuannya, Totok berencana menjualnya ke pasaran. Harga benih per kilogram relatif sama dengan harga benih padi sawah sekelas IR 64, berkisar Rp 6.000 per kilogram.

”Saya sudah uji coba ketiga varietas padi temuan ini di sejumlah desa di Kabupaten Banyumas dan di kebun percobaan milik Fakultas Pertanian Unsoed. Hasilnya sama bagus dengan padi sawah meski tanpa air,” tuturnya.

Perlakuan terhadap padi gogo aromatik temuan Totok itu juga tak perlu khusus. ”Perlakuan atau pemeliharaan padi gogo ini sama dengan yang dilakukan petani ladang selama ini, tak ada yang berubah. Hanya benihnya yang direkayasa, dan itu menjadi tugas kami sebagai ahli pertanian,” tuturnya.

Kampung halaman

Perhatian Totok terhadap perladangan terutama karena keterkaitannya dengan kampung halamannya, Desa Candimulyo, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Hampir seluruh lahan pertanian di desa di lereng Gunung Merbabu ini berupa lahan pertanian perladangan.

Setiap hari Totok bertelanjang kaki pergi ke sekolah. ”Kalau saya pakai sandal atau sepatu, pasti kotor. Jalan yang dilalui ke sekolah itu tanah semua, belum ada jalan aspal,” katanya mengenang.

Totok juga masih ingat cerita mistis seputar pegunungan itu. Salah satunya tentang Gunung Merbabu dan kekuatan Mbah Mangli—kiai di lereng Gunung Merbabu—yang dapat berpindah tempat dalam sekejap mata. Mbah Mangli disegani petani dan masyarakat di Kabupaten Magelang. Sosok itu juga populer karena usahanya merintis pendirian Asrama Pendidikan Islam (API) di Desa Tegalrejo, yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia.

”Selain sakti, Mbah Mangli ini perintis API. Jadi, tak hanya kekuatannya yang diingat orang, tetapi juga jasanya dalam meningkatkan pendidikan remaja Muslim,” tutur guru besar Fakultas Pertanian Unsoed sejak 5 April 2008 itu.

”Kemampuan lebih” seperti cerita itu menumbuhkan keyakinan kuat dalam dirinya. Meski berasal dari desa, Totok punya keyakinan kuat mampu menempuh pendidikan setinggi mungkin. Semua pencapaiannya itu pun kembali ditujukan bagi para petani, asal nenek moyangnya.

Dia juga tetap merasa tertantang untuk menemukan varietas padi baru lainnya. Totok tengah menyiapkan satu jenis varietas lagi yang sama sekali baru. ”Padi ini kandungan proteinnya hampir sama dengan yang ada pada kedelai,” ujarnya bersemangat.

BIODATA :

Nama: Totok Agung Dwi Haryanto

Lahir: Lereng Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 23 September 1963

Pendidikan:

- SD Negeri Candimulyo, Magelang, tamat 1975

- SMP Negeri 2 Magelang, tamat 1978/1979

- SMA Negeri 1 Magelang, tamat 1982/1983

- Strata 1 Jurusan Budidaya Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, tamat 1987

- Strata 2 Program Studi Ilmu Tanaman Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, tamat 1994

- Strata 3 Crop Science, Faculty of Agriculture, Kyushu University, Fukuoka, Jepang, tamat 1998

Istri: Nita Triana SH MSi, dosen Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto

Anak:

1. Hafizh Faikar Ramadhan Agung, kelas II SMAN I Purwokerto

2. Nafara’in Haniefan Agung, kelas II SMP Al Irsyad Al Islamiyah Purwokerto

3. Muhamed Basyith Agung, kelas I SD Al Irsyad Al Islamiyah Purwokerto

4. Ahmed Benjamin Agung, kelas I SD Al Irsyad Al Islamiyah Purwokerto

Tempo Interaktif 16-Apr-08: Nista Serumpun Padi (Opini Mufid A Busyairi)

Mufid A. Busyairi

Nista Serumpun Padi
Rabu, 16 April 2008 | 11:44 WIB

Serumpun jiwa suci, hidupnya nista abadi, demikian A.E. Wairata melantunkan penggalan keironisan Serumpun Padi. Dan kita tahu, ia tak jauh beda dengan yang dialami petani. Malu aku menatap wajah saudaraku para petani, kata penyair Taufiq Ismail, hasil cucuran keringat kalian berbulan-berbulan. Bulir-bulir yang indah, kuning keemasan. Dipanen dengan hati-hati penuh kesayangan. Dikumpulkan dan ke dalam karung dimasukkan. Tapi, ketika sampai pada masalah penjualan, kami orang kota yang menetapkan harga.

Politik pangan murah dengan merendahkan harga pembelian pemerintah (HPP) memang menempatkan petani miskin di pedesaan sebagai pihak yang dikorbankan. Asumsi HPP rendah menghasilkan beras murah hari ini semakin tidak terbukti. Harga gabah tetap dramatis, sedangkan harga beras terus melonjak drastis. Badan Pusat Statistik memang melansir harga gabah rata-rata di tingkat petani masih di atas HPP (gabah kering giling Rp 2.624 per kilogram dan gabah kering panen Rp 2.149 per kilogram). Namun, hitungan rata-rata berpotensi mendistorsi realitas mayoritas. Di berbagai media, berita anjloknya harga gabah adalah fakta tak dimungkiri. Sebagian petani di Karawang, misalnya, terpaksa menanggung kerugian lebih besar. Selain gabah yang hanya dihargai Rp 1.400/kg, produksi turun hingga 3-3,5 ton/hektare akibat cuaca buruk dan serangan hama.

Di saat yang sama, harga beras justru naik. Petani sebagai produsen gabah dan juga net consumer beras tentu makin terpukul. Sebelumnya, harga beras domestik juga mengalami kenaikan, yang dipicu oleh tren harga pangan dunia. Selain itu, seperti biasanya, faktor cost of storage (biaya penyimpanan, penjemuran, penggilingan, dan biaya pengolahan) di tingkat tengkulak berkontribusi besar. Belum lagi proses distribusi antarwilayah, yang melibatkan banyak "tangan" di tingkat pedagang perantara. Seperti diketahui, Pulau Jawa menyediakan 55-60 persen dari kebutuhan beras nasional.

Secara teori, harga beras memang tidak otomatis bertransmisi pada harga gabah. Sebaliknya, harga gabah pasti berpengaruh terhadap harga beras. Artinya, jika harga beras mahal, tidak ada jaminan harga gabah naik, tapi jika harga gabah naik, harga beras pasti mengikutinya. Hal ini semakin dikuatkan dengan peta perdagangan beras dalam negeri yang asimetri di mana posisi petani tidak lebih sebagai price taker. Ironisnya, pemerintah masih mempertahankan politik pangan murah dengan merendahkan HPP. Padahal ini justru membuat lega pedagang untuk menaruh harga di bawah HPP karena pemerintah sendiri tidak mampu mengamankan HPP tersebut.

Akhirnya petani harus berjuang sendiri. Tak banyak yang bisa dilakukan. Untuk jangka pendek, sebagaimana saran Kepala Perum Bulog, petani diharapkan menjual gabah dalam bentuk kering giling agar pendapatan mereka lebih baik. Tapi anjuran seperti ini diakui tidak bisa dilaksanakan semua petani karena persoalan cuaca dan kebutuhan yang tak bisa ditawar. Sementara itu, fasilitas umum berupa gudang tak tersedia secara memadai dan merata. Di sisi lain, sebagaimana laporan Kompas edisi 31 Maret, bagi sejumlah petani di Kabupaten Serang, apa yang mau dijemur? Padi mereka telah dijual dengan sistem ijon kepada tengkulak. Kondisi serupa tak jauh beda dengan banyak petani lain.

Berdasarkan penelitian, gabah memang mengalami fase penurunan harga (anjlok) hingga 36 hari setelah masa panen. Dalam rentang waktu tersebut, keluarga petani perlu ditopang anggaran hidup yang memadai. Harapannya melalui usaha diversifikasi pertanian. Disayangkan, akses permodalan masih sulit. Kebijakan perbankan sejauh ini tidak ramah terhadap petani kecil. Meskipun ada program Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3) dari Departemen Pertanian, program itu tidak sampai menyentuh petani miskin. Karena itu, Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat sedang mengkaji terbentuknya Bank Pertanian. Selain itu, sedang dipikirkan adanya jaminan hari tua bagi petani.

Pilihan merendahkan HPP amat paradoks dengan upaya pemerataan kesejahteraan dan penciptaan ketahanan pangan. Pemerintah harus membuat pertanian agar menjadi sumber penghidupan yang menguntungkan petani, antara lain melalui kebijakan harga. HPP saat ini perlu ditingkatkan karena tidak lagi memberikan keuntungan bagi petani. Berkali-kali Komisi IV DPR meminta hal ini. Pemerintah hanya berjanji akan meningkatkan HPP gabah kering panen dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.200. Namun, hingga kini belum ada kejelasan. Yang juga penting, perbaikan harga harus disertai jaminan pembelian dan kuota penyerapan gabah/beras yang lebih besar.

Selama ini, pembelian Bulog dari produksi dalam negeri hanya 10-15 persen. Sisanya, selain di rumah tangga dan industri, juga di tangan pedagang. Bandingkan dengan Thailand, yang bisa menyerap produksi dalam negeri hingga 10 juta ton dari total 26 juta ton produksi beras. Kebijakan demikian menyulitkan para spekulan untuk menekan harga petani. Di Indonesia, pemerintah daerah seharusnya berperan melakukan penyerapan beras petani, seperti Jawa Timur, yang sudah menerapkan kebijakan resi gudang untuk mengamankan gabah petani saat panen raya. Di samping itu, tentu masih banyak persoalan lain yang patut dibenahi, seperti sempitnya penguasaan lahan di tingkat petani, bahkan jumlah petani tak bertanah juga banyak, input produksi yang mahal, dan minimnya akses petani terhadap jalur distribusi beras.

Statistic trap

Beberapa pekan terakhir, sejumlah pejabat di Departemen Pertanian memperkirakan produksi beras nasional mengalami surplus. Wacana ekspor pun digulirkan beberapa kalangan. Terhadap hal tersebut, patut diingatkan. Pertama, paradigma yang harus dimiliki pemerintah dalam kondisi saat ini adalah pangan untuk rakyat, bukan pangan untuk ekspor. Pasar beras internasional semakin tipis akibat kebijakan domestik negara produsen untuk membatasi ekspor. Belum lagi persoalan harga.

Kedua, kebenaran statistik ini perlu dikaji. Jika data keliru dijadikan pijakan, output-nya tentu menyengsarakan. Kita mendengar sendiri, tiap tahun produksi beras dilaporkan meningkat, bahkan surplus, tapi, nyatanya, tiap tahun pula impor beras dilakukan. Misalnya, pada 2004 dan 2005 BPS melansir kita surplus beras 459.000 ton dan 49.000 ton. Anehnya, pada tahun yang sama, kita mengimpor (resmi) 632 ribu ton dan 304 ribu ton. Sebuah riset Erwidodo dan Ning Pribadi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian menyimpulkan, selama 1999-2005, produksi beras nasional sebenarnya defisit mutlak. Bahkan diperkirakan pada rentang 2001-2004 kita mengimpor beras 2,5 juta ton per tahun. Ternyata perhitungan surplus belum memasukkan permintaan antara (intermediate demand), seperti permintaan beras industri makanan, hotel, dan restoran.

Hal di atas merupakan sebuah peringatan karena, berdasarkan pengalaman, kita biasa terjebak oleh angka-angka. Pemerintah memang telah mencanangkan Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) serta Gerakan Penanganan Pascapanen dan Pemasaran Gabah/Beras (GP4GB), yang mentargetkan penurunan angka losses dari 20,5 menjadi 18 persen, yang diharapkan bisa meningkatkan produksi. Namun, sejauh ini belum ada keterangan resmi terkait dengan pencapaian program tersebut. Di sisi lain, bencana, seperti banjir, yang menyebabkan gagal panen, tentu perlu diperhitungkan. Ketidakpastian cuaca saat ini patut menjadi bahan pertimbangan. Ini juga telah diprediksi negara-negara produsen beras lain.

Ketiga, disparitas harga beras domestik dan internasional rawan memicu terjadinya ekspor beras ilegal. Apalagi, dalam keadaan panen, daya serap beras pemerintah minim, kontrol daerah perbatasan/lalu lintas perairan juga kurang, serta kultur aparat di lapangan yang belum sepenuhnya bersih. Kasus ekspor gelap yang terungkap bisa saja hanya sebagian kecil. Sebelumnya, dalam urusan impor beras ilegal, kita pun tak kalah suram track record-nya. Jika perkiraan surplus meleset, celaka bukan? Sebab, harga beras dunia, yang mencapai US$ 800 per ton, jelas sangat membebani anggaran.

Sudah para rente, spekulan, dan pedagang mempermainkan harga gabah, e... ditambah lagi dengan sikap pemerintah yang tak berpihak kepada petani. HPP yang sengaja direndahkan itu tak mampu pula dilaksanakan. Politik pangan kita sejak Orde Baru hingga kini lebih berorientasi pada peningkatan produksi ketimbang kesejahteraan petani. Padahal di negeri ini tidak kurang 25,4 juta rumah tangga petani atau lebih dari separuh dari jumlah penduduk terlibat dalam produksi padi. Serbuan beras murah menghancurkan harga gabah. Namun, saat harga beras melonjak, nasib tani pun tak berubah. Tanpa keberpihakan pemerintah, Serumpun padi, mengandung janji, harapan ibu pertiwi hanya menjadi lagu nostalgia. Dan seperti puisi Taufiq, aku malu mengatakan ini adalah bentuk penindasan.

Mufid A. Busyairi, anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Kebangkitan Bangsa

sumber foto: google

Tuesday, April 15, 2008

Kompas 16-Apr-08: Mulai Pakai Rawit Merah Oplosan

Mulai Pakai Rawit Merah Oplosan
Siasat Pengusaha Makanan supaya Bisa Bertahan
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN / Kompas Images
Pedagang membersihkan kotoran yang tercampur di tumpukan cabai rawit yang dijual di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Selasa (15/4). Harga cabai rawit hijau Rp 8.000-Rp 9.000 per kg, sedangkan cabai rawit merah terus naik hingga mencapai Rp 35.000 hingga Rp 40.000 per kg.
Rabu, 16 April 2008 | 02:24 WIB

Jakarta, Kompas - Pelaku usaha makanan mulai menggunakan cabai rawit merah oplosan, menyusul kenaikan harga sayuran itu yang mencapai Rp 40.000 per kilogram. Sejak dua pekan terakhir, pedagang makanan dari kaki lima hingga restoran mencampur cabai rawit hijau sebagai pengganti sebagian cabai rawit merah dalam masakan.

”Kalau tidak mengoplos dengan cabai rawit hijau, saya bisa merugi banyak,” kata Sakijan, pemilik bakmi Kondang yang tinggal di Petukangan Utara, Jakarta Selatan.

Dalam sehari, Sakijan yang memiliki 100 pedagang keliling dan 10 warung bakmi ini menggunakan cabai rawit merah 15-20 kg untuk sambal sebagai pelengkap dagangannya.

Cabai itu untuk melengkapi dagangannya yang dalam sehari menghabiskan 500-600 kg mi mentah.

Seperti diberitakan, harga cabai rawit merah mencapai Rp 35.000-Rp 40.000 per kg. Naiknya harga bahan kebutuhan pokok ini menyusul pasokan dari daerah produsen yang seret akibat faktor cuaca.

Menghemat

Sakijan mengatakan, tingginya harga cabai rawit merah mengakibatkan dia harus mengeluarkan anggaran Rp 800.000 per hari. Namun, dia tidak berani mengambil risiko itu.

Dia akhirnya memilih mencampur cabai rawit merah dan rawit hijau yang harganya lebih murah, yakni Rp 8.000-Rp 9.000 per kg. Dari kebutuhannya, dia menggunakan cabai rawit merah 10-15 kg dan sisanya rawit hijau 5-10 kg per hari.

”Paling tidak saya bisa menghemat uang belanja Rp 250.000- Rp 350.000 per hari,” kata Sakijan.

Menggunakan cabai oplosan juga dilakukan pedagang kaki lima, seperti Pak Kumis, pedagang mi bakso di Rumah Sakit Haji Pondok Gede, Jakarta Timur.

”Kalau tidak pakai cabai oplosan, saya mau dapat untung apa? Modal bisa habis dan yang ada malah saya jadi bangkrut,” kata Pak Kumis.

Dari kebutuhan 5 kg cabai rawit untuk sambal pelengkap dagangannya, Pak Kumis menggunakan separuh atau 2,5 kg cabai rawit hijau.

Makanan khusus

Lain lagi yang dilakukan Sofie Eman, pemilik Restoran Beautika, masakan Manado. Untuk beberapa jenis makanan, seperti sambal dabu-dabu dan sayur-sayuran, dia berani menggunakan oplosan cabai rawit merah dan hijau.

Akan tetapi, khusus masakan tertentu, seperti ayam, sapi, dan ikan rica-rica, Sofie tetap mempertahankan memakai cabai rawit merah sebagai bumbu utama.

”Meski harga mahal, saya tetap menggunakan cabai rawit merah. Saya tetap menjaga standar masakan lauk ini dengan tidak mengurangi porsi cabai rawit merah,” kata Sofie.

Baik Sakijan, Sofie, maupun Pak Kumis mengakui, pengurangan cabai rawit merah dan diganti cabai rawit hijau memengaruhi warna dan rasa dari makanan dan sambal.

”Rasa pedas sambal memang berkurang. Juga warna yang seharusnya merah menjadi kurang merah lagi,” kata Sakijan. Untuk membuat sambal tetap merah, dia menambah jumlah tomat dalam campuran sambal.

Belum naik

Kendati sejumlah kebutuhan pokok terus naik, hingga kini pelaku usaha masih tetap mempertahankan harga jual dagangan mereka. Mereka belum berani menaikkan harga makanan karena daya beli masyarakat tergolong rendah.

Pelaku usaha juga tak mau mengurangi jumlah porsi makanan yang dijual, menyusul kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok.”Kalau mau menaikkan harga jual makanan, siapa yang mau beli?” ujar Sakijan.

Akan tetapi, Sofie menambahkan, bila sampai akhir April harga bahan kebutuhan pokok naik terus, mau tidak mau dia harus menaikkan harga makanan.

Sebagai pedagang makanan yang membutuhkan cabai, kata dia, mereka harus bisa menyiasati ketika harga cabai mahal. (PIN)

Friday, April 11, 2008

Kompas 11-Apr-08: Berguru Hidup pada Gumuk Pasir (Kisah Katimin)

Berguru Hidup pada Gumuk Pasir
KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Sukarman
Jumat, 11 April 2008 | 00:38 WIB

Ladang itu awalnya padang pasir kering kerontang. Warnanya hitam mengilat, melepuhkan kaki di siang hari yang terik. Jaraknya sekitar 50 meter dari laut, di selatan Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kulon Progo, Yogyakarta. Suasananya sunyi yang mati. Kehidupan seperti raib.

Di gundukan pasir—istilah setempat gumuk pasir—itulah Sukarman muda yang resah membuang gundah. Sudah tiga tahun sejak menyelesaikan studinya pada Program D-3 Akademi Perindustrian Yogyakarta, dia belum juga mendapat pekerjaan. Sudah dicobanya merantau ke Jakarta, Bandung, hingga Palembang, tetapi hasilnya nol besar.

Suatu pagi pada pertengahan 1985, gerimis menemaninya duduk di atas gumuk pasir. Dalam suasana hati yang lelah dan hampir patah, pandangannya seperti disedot tiga batang tanaman cabai merah yang tumbuh di atas seonggok kotoran sapi kering di pasir. Tak luar biasa, sebenarnya. Tetapi, entah mengapa, pemandangan itu mulai mengusik benaknya.

”Mungkin ada orang yang tidak sengaja membuang cabai di situ,” pikir Sukarman.

Ketika pandangannya mengitari hamparan luas di depannya, Sukarman mulai mengamati beberapa jenis tanaman yang hidup di antara tumbuhan perdu. Ada semangka, ubi, dan lain-lain.

Ia terkesima. Sunyi tak lagi mati, tetapi menjanjikan kehidupan baru. Pagi itu ia menangkap pesan: alam bekerja dengan cara ajaib, dalam situasi yang paling mustahil untuk menyodori kehidupan.

”Kenapa saya tidak mencobanya?” kehendak itu memenuhi batinnya, ”Jika dirawat pasti cabai itu akan tumbuh subur. Kenapa tidak mencoba menanam cabai di lahan pasir? Andai bisa, kehidupan pasti berubah.”

Sukarman mulai menanam cabai di atas lahan pasir seluas 200 meter persegi. Tetangganya, para petani sepuh, mencibir. Bahkan, ayahnya meragukan apa yang dilakukan anak sulungnya yang masih lontang-lantung pada usia 27 tahun itu. Sukarman dianggap ngaya wara atau mengada-ada.

Namun, Sukarman bersikeras. Usaha menanam cabai di atas pasir hitam itu lantas menjadi seperti pertaruhan keyakinannya akan perubahan. Upaya itu tak mudah. Tingginya penguapan di lahan pasir yang panas membuat ia harus terus-terusan menyiram tanaman cabainya. Padahal, sumber air tawar berada jauh di desa.

Sekali lagi, alam menjawabnya. Namun, hanya mereka yang tahu bagaimana alam bekerja mampu menangkap jawaban itu. Sukarman mulai menggali. Ia yakin lahan pasir itu pasti mendapat pasokan air dari resapan Kali Progo dan Kali Bogowonto yang mengapit kawasan itu. Pada kedalaman kurang dari 3 meter, air tawar yang bersih, keluar, melimpah ruah.

Ia lalu mengalirkan air itu dalam bak-bak yang dibangun sejajar sepanjang tanaman cabainya dengan pipa bambu. Sistem ini merupakan cikal bakal bagi apa yang kemudian disebut ”sumur renteng”. Masalah kebutuhan air pun selesai.

Selang tiga bulan, kerja kerasnya menampakkan hasil. Panen pertama menghasilkan 17 kilogram cabai.

Mengubah hidup

Panen itu tak hanya mengubah hidup Sukarman, tetapi juga hidup belasan ribu petani di sepanjang pantai Kulon Progo. Petani-petani lain di desanya, yang kebanyakan hanya penggarap, mulai yakin bahwa pasir itu menyimpan berkah kehidupan.

Mereka mulai berbondong ke gumuk pasir, lahan telantar dengan status kepemilikan yang terbagi tiga, yakni tanah milik bersertifikat, tanah desa, dan tanah milik dinasti Pakualam (Pakualam Ground).

”Patok ini dulunya di sana,” ia menunjuk patok batas wilayah Pakualam Ground, yang katanya bergeser memasuki wilayah garapan warga.

Kini, di atas hamparan pasir yang luas itu—mulai dari Bugel hingga Glagah—aneka jenis tanaman tumbuh subur. Cabai, semangka, jeruk, sawi, terung, kentang, bahkan padi. Sistem sumur renteng berkembang dipadukan dengan genset dan selang plastik.

Warga menemukan kehidupannya di sini. Tak ada pengangguran. Nenek tua pun masih bisa mendapatkan penghidupan dari lahan itu.

”Tanaman kentang seperti ini,” Sukarman menunjuk sepetak lahan yang digarap Mbah Wiji, perempuan sepuh yang sudah bongkok, ”Tumbuh tanpa perawatan yang berarti, tapi panennya tiap tiga bulan. Cukup untuk hidup Mbah Wiji.”

Desa yang semula termiskin di Kulon Progo bermetamorfosa menjadi desa penuh harapan. Para pemuda yang merantau menjadi buruh migran berbondong pulang kampung, menjadi petani. Mereka menepuk dada dan berkata bangga, ”Saya petani!”

Sekarang tak ada lagi rumah gubuk di sini. Setiap rumah tangga memiliki kendaraan bermotor yang mempermudah aktivitas pertanian mereka.

Laboratorium hidup

Kegigihan petani Kulon Progo yang mampu menyulap gumuk pasir menjadi ladang pertanian yang subur itu mendapat apresiasi kalangan akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Pertanian gumuk pasir itu menjadi seperti laboratorium hidup dari berbagai penelitian mereka.

Wilayah itu merupakan daerah pertanian terpadu. Peternakan menghasilkan terutama pupuk kandang, yang digunakan pada lebih 90 persen pemupukan.

”Para petani menemukan teknik yang luar biasa. Kami sering mengirim mahasiswa ke sana untuk belajar dari mereka,” ujar Dr Ir Dja’far Shiddieq MSc, dosen pada Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM.

Dja’far juga mengundang Sukarman ke kampus untuk mengajari ilmu bertani yang riil pada mahasiswa. Sukarman pun sesekali ke kampus, mengajar mahasiswa.

Usia Sukarman kini 50 tahun. Ia menggarap lahan seluas 8.000 meter persegi, 3.000 meter persegi di antaranya untuk pembibitan. ”Waktu tahun 1998, saya panen dari penjualan bibit, sampai bisa beli mobil,” ia menunjuk mobil Suzuki Carry yang bertengger di samping rumah.

Meski dikenal sebagai petani yang lumayan berhasil—ia juga punya tujuh sapi dan dua sepeda motor—hidup Sukarman tetap bersahaja. Setiap hari ia ke ladang, mencangkul, menyiangi, menyirami tanamannya. Namun, yang membuatnya bangga adalah anak sulungnya yang kini kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta.

Sayangnya, ketenangan hidup Sukarman beserta belasan ribu warga kini terusik. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan Pemerintah Provinsi DIY kabarnya akan menggusur mereka. Ibu Bumi yang menghidupi itu akan dihancurkan oleh pertambangan pasir besi atas nama ”devisa” dan ”pendapatan asli daerah”.

Setiap hari pembicaraan warga hanya berkisar pada, ”Apa benar izinnya sudah keluar,” seperti yang juga ditanyakan Sukarman.

Entah, apakah nantinya wilayah ini akan segera menyusul banyak wilayah lain di Indonesia yang harus mendulang akibat dari industri ekstraksi: kegiatan ”pembangunan” yang memangsa rakyat sendiri. Sungguh ironis!

(Ahmad Arif/ Maria Hartiningsih/ Sri Hartati Samhadi)

Kompas 11-Apr-08: Ancaman Kehancuran Pesisir Selatan Kulon Progo

Gerakan Petani
Ancaman Kehancuran Pesisir Selatan Kulon Progo
Jumat, 11 April 2008 | 00:29 WIB

Mungkin ini yang sekarang dibayangkan warga di Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta: lubang-lubang menganga setelah alat-alat tambang berat mengeruk bijih besi di pantai, gelombang yang tak lagi terhambat melahap kampung karena gumuk-gumuk pasir itu telah dihancurkan dan tanaman penahan gelombang raib entah ke mana.

Warga desa saat ini dirisaukan oleh rencana eksploitasi pasir besi oleh PT Krakatau Steel di daerah pesisir selatan Kulon Progo, yang mencakup lahan pasir seluas 2.900 hektar di empat kecamatan itu. Nota kesepahaman di antara pihak terkait, yakni Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, PT Krakatau Steel, dan PT Jogya Magasa Mining (JMM) sudah ditandatangani setahun lalu.

Pabrik pengolah bijih besi akan dibangun oleh Indo Mines, perusahaan Australia yang bekerja sama dengan PT JMM. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sudah mengeluarkan rekomendasi bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan izinnya. Kalau benar-benar diloloskan, rencana penambangan tahun 2009 itu akan berjalan mulus.

Padahal, lahan pasir telantar itu telah disulap oleh petani menjadi kawasan pertanian lahan pasir, yang memberikan penghidupan kepada belasan ribu warga. Seperti dikatakan oleh Widodo dari Kelompok Tani Ngudi Rejeki, setidaknya 30.000 orang hidup dari efek berganda dari kegiatan sektor pertanian di kawasan itu.

Pandangan warga di wilayah itu terbelah menjadi empat.

”Kalau memang mau diambil, ya bagaimana lagi,” ujar Rudi Hartono (36), petani dari Dukuh Keboan, Desa Karangwuni, Kecamatan Wates.

Namun, sikap pasrah itu tak dimiliki oleh sebagian besar warga lainnya. ”Tanah ini memberikan kehidupan. Kami merawatnya dengan baik, eh mau dirampas. Masak kami diam saja?” ujar Suradal (30-an) dari Desa Bugel, Kecamatan Panjatan.

Pandangan lain diwakili oleh spanduk di jalanan, antara lain berbunyi, ”Kami mendukung penambangan pasir besi. Jangan politisasi masyarakat pesisir Kulon Progo”.

Kelompok lain diwakili Sarjiyo, petani dari Desa Karangwuni, Kecamatan Wates. ”Saya ingin mengamati dulu. Katanya akan ada penelitian tentang ini,” ujar Sarjiyo yang bersandar pada hasil analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Tampaknya ia mencoba yakin tak ada ”permainan” dalam pembuatan amdal meski berbagai kasus menunjukkan karut-marutnya kondisi sosial, ekonomi, budaya warga, bahkan pelanggaran hak-hak asasi manusia di kawasan penambangan yang amdalnya memenuhi persyaratan.

Dampak sosial ekologis

Menurut rencana, wilayah eksploitasi PT Krakatau Steel meliputi 22 kilometer sepanjang kawasan pantai Kulon Progo, dengan lebar 1,8 kilometer dari pantai dan kedalaman 14,5 meter. Kabarnya, volume pasir yang dieksploitasi mencapai 650 juta ton dengan kandungan bijih besi sedikitnya 20 persen. Pabrik pengolahannya akan berproduksi dengan kapasitas produksi awal 300.000 ton bijih besi per tahun dan kemudian akan mencapai 1 juta ton per tahun. Izin kontrak karya yang diberikan adalah 30 tahun, dan bisa diperpanjang.

Namun, keamanan kegiatan penambangan itu dipertanyakan banyak pihak. Ahli tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Dr Dja’far Shiddieq, mengatakan, pemerintah kolonial Belanda pun tidak melakukan penambangan pasir besi di wilayah itu karena dampaknya yang berbahaya terhadap keseimbangan ekologis di wilayah itu. ”Di dunia ini hanya ada tiga gumuk pasir yang bergerak. Satu di antaranya di kawasan pesisir selatan Yogyakarta,” ujarnya.

Lebih jauh Dja’far mengatakan, kombinasi penanaman cemara udang dan gumuk-gumuk pasir bentukan alam itu merupakan penahan tsunami alamiah yang paling efektif.

Sudaryatno, dosen Fakultas Geografi UGM, seperti dikutip dari situs Jurnal Affinitas, edisi 23 Maret 2008, menambahkan, lapisan pasir di bawah permukaan tanah sangat berguna untuk meredam gempa. Jika pasir diambil, fungsi itu hilang. Ia juga mengingatkan terjadinya eksploitasi lebih jauh dan lebih dalam dari semula yang direncanakan. Risiko kerusakan alam yang menyertainya akan lebih hebat.

Wilayah eksploitasi lahan di wilayah itu terbagi atas tiga kepemilikan, yakni tanah milik bersertifikat, tanah desa dan tanah milik dinasti Pakualam (Pakualam Ground). Tanggal 7 Januari 2003, KGPAA Pakualaman IX mengeluarkan surat kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi DIY, bernomor X/PA/2003.

Isinya antara lain bahwa lahan itu dapat dikembangkan untuk kegiatan pertanian lahan pasir, tidak diizinkan mengubah sifat fisik dan hayati, seperti untuk penambangan pasir, dan ada sanksi terhadap pelanggar.

Penghancuran

”Dampak sosial ekologis tak dilihat oleh para pemburu rente,” ujar Nurfauzi, aktivis reformasi agraria, yang juga kandidat PhD pada University of California, Berkeley. Politik invisibility juga menyangkut tidak dilihatnya yang sudah dikerjakan rakyat terhadap tanah itu.

”Infrastruktur sosial ekologis diletakkan sebagai sesuatu yang menerima risiko,” kata Oji, sapaan Nurfauzi. ”Dalam bahasa ekonomi disebut sebagai externalities. Bagi saya, ini merupakan model pembangunan yang dampaknya luar biasa,” katanya lagi.

Konsep ”kemajuan” juga dipertanyakan oleh Oji. ”Apakah petani yang terlempar ke pasar tenaga kerja bebas itu kemajuan?” kata Oji, yang mengingatkan, salah satu bentuk kekerasan pasar, baik pasar finansial maupun komoditas, adalah pemaksaan lepasnya ikatan-ikatan sosial, ekologis, dan budaya masyarakat dengan tanahnya. Biaya sosial ekologis itu jauh lebih besar dan bersifat jangka panjang, bahkan menyebabkan kerusakan permanen, baik terhadap manusia maupun alam.

Penelitian Jaringan Advokasi Tambang memperlihatkan, pada semua wilayah eksploitasi tambang antara 20 dan 40 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, dan banyak pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut Oji, kekerasan juga dilakukan para pejabat dan pengambil keputusan yang memberikan izin kepada industri ekstraksi yang sebenarnya sudah dihentikan di sejumlah negara.

”Kekerasan ini juga tak dilihat oleh para pemburu rente karena tujuan jangka pendek, yakni uang. Padahal, uang tak bisa mengganti kerusakan sosial, budaya, dan ekologis yang disebabkan eksploitasi itu,” ujar Oji. (MH/AIK/TAT)

Kompas 11-Apr-08: Melawan Para Pemburu Rente (Kulon Progo, Yogya)

Melawan Para Pemburu Rente
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO / Kompas Images
Jumat, 11 April 2008 | 00:45 WIB

Oleh Maria Hartiningsih

Matahari di atas kepala. Panasnya serasa memecah ubun-ubun. Namun, ratusan warga Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kulon Progo, Yogyakarta, yang berkumpul di balaidesa, Kamis (27/3), bergeming. Mereka mendengarkan dengan cermat apa yang dikemukakan pihak-pihak yang mereka undang untuk menghadiri panen raya semangka.

Panen raya siang itu tampaknya menjadi sarana konsolidasi. ”Kami menerima siapa pun yang mendukung perjuangan kami,” ujar Widodo (30). ”Tetapi kami menolak kalau diarah-arahkan, termasuk LSM. Kami tahu apa yang harus kami lakukan karena semua ini menyangkut hidup kami.”

Kesadaran seperti itu mematahkan asumsi bahwa petani bodoh dan patuh. Gerakan petani di Kulon Progo bukan merupakan gerakan yang eksklusif. Di beberapa wilayah, gerakan melawan perampokan sumber daya alam dan penghancuran sosial-ekologis itu terus bertumbuh, tak tampak membesar, tetapi sulit dipatahkan oleh kekuatan apa pun, sekalipun diancam, dipecah-belah, dan ditempeli stigma macam-macam.

Perjuangan warga menolak rencana penambangan pasir besi di atas lahan pasir yang sudah digarap ribuan petani sejak lebih dari 15 tahun lalu itu sudah berlangsung beberapa tahun terakhir ini.

Adalah Sukarman (50) yang menemukan cara bertani di atas lahan pasir di pinggir pantai yang lama terbengkalai itu. Lahan itu menjadi wilayah pertanian yang subur, yang memasok sayur-mayur ke daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Bahkan cabai mereka ”diekspor” sampai ke Batam.

”Rata-rata pendapatan dari lahan garapan yang 500 meter persegi cukup untuk hidup,” ujar Widodo dari Kelompok Tani Ngudi Rejeki.

Bayangkan kalau dari lahan 500 meter saja bisa dihasilkan satu sampai 1,5 kuintal cabai sekali petik. Padahal, cabai dapat dipanen tiap tiga sampai lima bulan dengan 15-20 kali petik. Dengan harga cabai Rp 7.000 saja, bisa dibayangkan berapa penghasilan para petani ini. Sayur-mayur hanyalah hasil sampingan untuk beli pulsa.

Kesuburan tanah dan janji kesejahteraan itu pula yang menariknya pulang dari Malaysia. ”Di sini satu kali tanam orang bisa betulin rumah,” katanya dengan nada bangga.

Bisa dipahami kalau mereka menolak rencana penambangan pasir besi di wilayah itu meski mereka tahu lahan itu bukan milik mereka pribadi. Namun, siapa berhak menentukan kepemilikan di lahan terbengkalai selama puluhan tahun? Siapa berhak menentukan kepemilikan ketika lahan itu berhasil digarap, menjadi subur, dan memberikan penghidupan kepada banyak orang tanpa merepotkan negara?

Tanah dalam hal ini bukan hanya dilihat dalam nilai ekonomi, tetapi terutama adalah nilai sejarahnya. Seperti dikatakan aktivis reforma agraria, Nurfauzi, sejarah itu mencakup seluruh nilai ideologis yang membuat mereka bangga menjadi petani; menjadi warga desa, dan menjadi diri sendiri: ideologi yang membentuk seluruh eksistensinya sebagai manusia.

”Ikatan-ikatan sosial-ekologis dan budaya ini tak pernah dilihat oleh para pemburu rente,” ujar kandidat PhD dari University California di Berkeley itu.

Putusnya saraf takut

”Semut saja kalau diinjak pasti menggigit,” gumam seorang ibu sepuh yang di antara kerumunan di siang terik itu, ketika BSW Adjikoesoemo, salah satu kerabat keraton yang mendukung aksi penolakan petani, meminta agar penolakan rencana penambangan itu dilakukan tanpa kekerasan dan meminta warga tetap bekerja seperti biasa.

Seorang laki-laki muda menimpali, ”Kami ini kerja pakai keringat, enggak minta-minta sama pemerintah, tetapi diusik terus.”

Saraf takut warga tampaknya sudah putus karena yang akan dirampas menyangkut seluruh hak hidup. Mereka mempertanyakan definisi ”kesejahteraan” versi pendukung rencana penambangan bijih besi dan membandingkannya dengan ”kesejahteraan” dari sektor pertanian yang buktinya sudah ada di situ.

Namun, mereka juga tahu, ada bagian dari mereka yang menerima rencana itu dan berbalik memusuhi saudara-saudaranya sendiri. ”Banyak teror di sini,” ujar Widodo yang mengaku sering diteror melalui layanan pesan singkat (SMS) maupun langsung.

Tak sulit menengarai bahwa perlawanan petani di Kulon Progo merupakan sesuatu yang diciptakan oleh kondisi di luar mereka; yakni kekuatan besar yang merupakan kolaborasi para birokrat pembuat keputusan, pemilik modal besar, dari luar maupun dalam negeri, termasuk siapa pun yang mengaku mempunyai hak turun-temurun atas lahan pasir di wilayah tersebut.

Perubahan sosial

Seluruh gerakan perlawanan petani dari masa ke masa senantiasa menghadapkan petani dengan negara dan pemodal, pemegang konsesi hutan, serta konsesi pertambangan maupun perkebunan.

Tak heran kalau Multatuli pada awal abad ke-20 lewat Max Havelaar yang banyak dikritik itu, sudah mengingatkan, penyebab utama berpindahnya kedaulatan dari tangan rakyat bukanlah penjajah, melainkan kaum birokrat yang dapat dijadikan alat oleh para pedagang. Pandangan itu tampaknya tetap relevan sampai saat ini.

Dalam sejarah pergerakan petani di dunia, kelompok yang sering distereotipkan sebagai ”pasif” itu memiliki peran penting dalam perubahan sosial di masyarakat.

Stereotip ”pasif” itu juga dipertanyakan karena berbagai literatur yang lebih luas memperlihatkan, tentara Amerika Serikat harus menyerah pada petani bercaping dan berbaju hitam di Vietnam. Seluruh perlawanan petani di Amerika Latin membuat negara tak bisa sewenang-wenang menyerahkan kedaulatan negaranya kepada pemodal.

Bentuk-bentuk perlawanan petani, baik bersifat individual, kolektif, sampai pemberontakan, terus terjadi di Indonesia. Sejarah merekam pemberontakan petani Banten, Ciomas, Cimareme, dan gerakan rakyat Samin serta berbagai peristiwa yang memperlihatkan gerakan resistensi petani tak pernah putus.

Sejarawan Onghokham (1994) mencatat, sejak tahun 1930, seusai Perang Diponegoro hingga awal abad ke-20, sekitar tahun 1908, terjadi lebih dari 100 aksi resistensi petani, dari bentuk yang paling lunak sampai pemberontakan.

Sejarawan Sartono Kartodirdjo (1984) menulis, meski petani tidak menjadi subyek gerakan apa yang dinamakan ”pemberontakan petani”—karena mereka biasanya menjadi pengikut para tokoh pada abad-abad lalu—peran mereka dalam perubahan sosial tak bisa dipandang sebelah mata.

Bahkan, Pemerintah Kolonial Belanda yang menyebut perlawanan petani di Jawa pada abad ke-19 itu sebagai ”wabah sosial”, tak bisa tidak, harus memperhitungkan dampak politik peristiwa itu.

Sejak masa-masa awal Orde Baru berkuasa tahun 1968, sampai berakhirnya masa kekuasaan itu 30 tahun kemudian, sedikitnya terjadi 60 kasus sengketa tanah berskala besar dan ribuan kasus penyerobotan lahan.

Gerakan atau apa pun namanya, tak pernah sungguh-sungguh padam. Meski tampaknya seluruh kasus yang terkait dengan petani dan tanah bisa diredam, perlawanan petani tak pernah bisa dihentikan.

Seperti dikemukakan Hendro Sangkoyo dari School of Democratic Economy maupun Nurfauzi, gerakan itu terus berakumulasi. Sayangnya, gerak yang sangat dinamis di bawah itu tidak terkejar oleh pendekatan-pendekatan yang dilakukan organisasi-organisasi nonpemerintah, organisasi massa, dan organisasi civil society lainnya.

Hampir di seluruh wilayah Tanah Air, perlawanan terus berlangsung, baik antara petani melawan pemodal yang didukung negara dan aparat keamanan maupun antara masyarakat adat dengan perusahaan pengeruk sumber daya alam yang juga direstui negara melalui kebijakan-kebijakan yang bertolak belakang dengan tugas mulia negara; yakni mengayomi dan menyejahterakan rakyat.

Dalam beberapa kasus, petani tak hanya berhadapan dengan negara, tetapi juga militer. Contohnya adalah kasus di Singosari di mana tanah milik desa. seluas 3.064.062 meter persegi yang sudah turun temurun digarap petani, tiba-tiba dikuasai oleh TNI-AU.

Perlawanan petani di Kulon Progo terhadap para pemburu rente ini tampaknya juga akan menjadi perlawanan yang panjang. (SRI HARTATI SAMHADI/ AHMAD ARIF)

Kompas 11-Apr-08: Mereka yang Dibodohi dan yang Melawan (Korban Hibrida Cina)

KORBAN HIBRIDA
Mereka yang Dibodohi dan yang Melawan
Jumat, 11 April 2008 | 00:44 WIB

Kamadi (64), petani tua dari Dusun Karang Duwet, Desa Kebon Agung, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ini ditipu. Namun, setelah gagal panen karena menanam padi hibrida dengan benih impor dari China, dia tetap menurut ketika untuk kedua kalinya dibujuk dinas pertanian setempat dan agen pengusaha untuk menanam benih yang sama. Kamadi pun terjerembap dalam lubang yang sama dua kali.

Sore itu kami dibawa Kamadi ke sawahnya. Padinya sudah berumur dua bulan. Mestinya tinggal satu bulan lagi panen. Namun, tanda-tanda gagal panen membayang. Tanaman padi Kamadi sebagian kerdil, sebagian kering kecoklatan. ”Sama dengan yang pertama, sepertinya akan gagal lagi,” keluh Kamadi, yang juga korban bencana gempa yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dua tahun lalu.

Rumah Kamadi hancur akibat gempa. Seorang kerabatnya meninggal. Hidup keluarga Kamadi dimulai dari titik nol. Saat itulah, sekitar Oktober 2007, staf dinas pertanian setempat yang bekerja sama dengan perusahaan pengimpor benih menawarkan benih padi hibrida kepada Kamadi, yang juga sesepuh Kelompok Tani Nyupoyo Buko.

Kamadi dan 40 anggota kelompok taninya—yang semuanya juga korban gempa—menanam benih bantuan itu di lahan seluas 6 hektar. Kamadi sendiri menanam benih itu di lahannya yang seluas 2.000 meter persegi. Untuk biaya membajak, menanam, memupuk, dan obat-obatan, Kamadi mengeluarkan uang lebih dari Rp 1 juta. Itu belum termasuk tenaganya sendiri yang tak dihitung.

”Uang itu hasil menjual sisa tabungan yang ada,” kata dia. Namun, jangankan menangguk untung. Kamadi yang terpuruk akibat bencana gempa makin terpuruk karena padinya gagal panen.

Semua padi yang ditanam kelompoknya juga hancur. Ada hama baru, seperti sundep, tetapi lebih ganas, yang menyerang padinya. ”Kalau dicabut, akar padi yang terserang penyakit itu seperti ada cacingnya. Kami sudah lapor ke dinas. Mereka hanya bisa ngurut dada, tapi ya tidak bisa berbuat banyak,” keluh Kamadi.

Kamadi, yang merasa ikut bertanggung jawab memperkenalkan bibit itu kepada kelompoknya, pusing tujuh keliling. Namun, dia terikat untuk kembali mencoba menanam benih hibrida sekali lagi. ”Saya takut kalau tidak nurut, kami hanya orang kecil,” kata dia.

Tony Septiawan, Koordinator Yayasan Bio Tani Wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, menceritakan, ”Saat bertemu dengan Kamadi setelah gagal panen bulan Desember lalu, dia stres berat. Bahkan, sempat mau bunuh diri. Herannya, dia tidak kapok, malah sekarang mencoba lagi benih hibrida lagi,” kata Tony

Menurut Tony, Kamadi adalah potret mayoritas petani Indonesia yang mudah dibodohi, sementara pemerintah tidak bertanggung jawab dan sering kali menjerumuskan petani dengan proyek-proyek baru.

Tak jarang, staf birokrasi pemerintahan justru bertindak sebagai semacam sales (tenaga pemasar) bagi produsen atau pedagang benih. Itu yang membuat para produsen atau pedagang benih hibrida tetap merajalela meski sudah membuat banyak petani merugi.

Yang melawan

Lain halnya dengan Panut (56). Ketua Kelompok Tani Ngudi Rukun di Kelurahan Ngesti Harjo, Kecamatan Kasian, Bantul, ini menolak tegas benih padi hibrida impor yang ditawarkan oleh pengusaha yang bersekutu dengan dinas pertanian setempat.

Pada Februari 2008 Panut diundang datang dalam acara pembentukan gabungan kelompok tani (gapoktan) di kantor kecamatan bersama sejumlah ketua kelompok tani lain. Namun, di sana kelompok tani itu justru diceramahi untuk menanam padi hibrida dengan benih impor dari China. ”Kami merasa ditipu. Undangan tidak sesuai dengan kenyataannya,” kata dia.

Bagi Panut, bibit padi hibrida yang ditawarkan tidak bisa diterima karena dia tak ingin menjadi kelinci percobaan. Harga bibit terlalu mahal, yaitu Rp 45.000 per kilogram. Rasa dan umur padi juga belum teruji. ”Kami juga takut adanya hama baru yang muncul dari benih impor ini,” kata Panut, yang lulusan sekolah teknik menengah ini.

Dan yang paling meresahkannya, bibit padi hibrida itu, menurut Panut, akan menyebabkan petani bergantung pada pihak luar. Panut memilih mengembangkan padi varietas lokal, seperti rojolele, yang bibitnya bisa dimuliakan sendiri.

Panut kini juga mengembangkan obat-obatan dengan bahan alami dan menggunakan pupuk kandang dan kompos untuk menggantikan pupuk urea. Pekarangan rumahnya dipenuhi tumbuhan yang bisa digunakan untuk mengusir hama padi, misalnya tanaman mindi untuk mengusir burung dan belalang.

Andai petani-petani Indonesia bisa meniru jejak Panut, berani melawan dan bersikap. Siapa mau memberdayakan petani dan bukannya membodohi mereka? (AIK/TAT)

Kompas 11-Apr-08: Yang Muda, yang Bertani (Kulon Progo, Yogya)

Yang Muda, yang Bertani
KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Pemuda di Desa Garongan, Panjatan, Kulon Progo, Senin (31/3), menanam cabai di lahan asir.
Jumat, 11 April 2008 | 00:44 WIB

Oleh Ahmad Arif/Sri Hartati Samhadi/ Maria Hartiningsih

Empat tahun merantau di Pekanbaru dan Malaysia tanpa hasil, Widodo (30) akhirnya memilih pulang ke desanya di Garongan, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Widodo menjadi petani, pekerjaan yang tengah menjadi tren di desanya. ”Merantau hanya tambah umur. Tak ada hasil,” kata Widodo, tamatan sekolah teknik menengah di Kulon Progo ini.

aat pulang kampung Widodo sempat mendapat tawaran bekerja di proyek pembangunan jalan di Banguntapan, Bantul. Upah yang ditawarkan satu bulan mencapai Rp 800.000 ditambah uang makan Rp 25.000 per hari. Namun, pekerjaan itu pun ditolaknya.

”Lebih untung menjadi petani di lahan pasir,” kata Widodo dengan bangga.

Dengan lahan garapan seluas 500 meter yang ditanami cabai, Widodo bisa memperoleh hasil 1-1,5 kuintal cabai sekali petik. Padahal, satu musim tanam selama lima bulan bisa 15-20 kali petik. Jika harga cabai Rp 7.000 per kilogram (kg), selama satu musim tanam Widodo bisa memperoleh sedikitnya Rp 10,5 juta.

Di sela-sela cabai Widodo biasa menanam sawi yang hasilnya Rp 2 juta-Rp 2,5 juta, cukup untuk membiayai ongkos produksi cabai dan sawi sekaligus.

Sutik Haryanto (26), sebelumnya juga merantau selama dua tahun di Riau, sebelum kemudian pulang ke Garongan menjadi petani lahan pasir. Lahan garapannya seluas 1.000 meter, cukup untuk membiayai istri dan satu anaknya.

”Lebih enak begini. Di kampung sendiri, dekat sama anak-istri. Hasil dari bertani juga cukup, bahkan lebih besar dibandingkan saat menjadi satpam di Riau,” kata Sutik, tamatan sekolah menengah atas (SMA) ini.

Tak hanya Widodo dan Sutik, ribuan pemuda sepanjang pesisir Kulon Progo yang semula merantau kini memilih pulang menjadi petani. Lahan pasir telah menyedot minat pemuda desa untuk kembali ke kehidupan petani.

”Dari 15-an ribu petani lahan pasir di Kulonprogo, 70 persennya pemuda,” kata Sukarman, Sekretaris Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) Kulon Progo.

Rasional dan gigih

Selain di Kulonprogo, petani-petani muda juga muncul di Kabupaten Sleman. Di Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, gerakan petani muda membentuk gabungan kelompok tani (gapoktan) yang terdiri dari 30 kelompok tani (KT). Dan setiap KT ini beranggotakan 10-30 petani.

”Sebanyak 80 persen anggota gapoktan adalah pemuda, usia antara 20 hingga 40 tahun. Rata-rata tamatan SMA. Bahkan ada yang lulus sarjana,” kata Bambang Sugeng, Ketua II Gapoktan Pakembinangun.

Wasiatno (30), Sekretaris KT Rukun Dusun Padasan yang tergabung dalam Gapoktan Pakembinangun, mengatakan, menjadi petani bukanlah pilihan keterpaksaan. Tetapi, memang melihat, pertanian masih menguntungkan jika dikerjakan dengan baik dan rasional. ”Prinsipnya, jadi petani harus mandiri dan kreatif,” kata tamatan SMA ini.

Kemandirian yang dimaksud Wasiatno meliputi penyediaan bibit, pupuk, obat-obatan, hingga pemasaran. Mereka tidak perlu membeli bibit padi karena memilih menanam padi varietas lokal, seperti rojolele, beras merah, menur, dan menthik.

Untuk pupuk, mereka menggunakan pupuk kandang dan kompos yang bisa dibuat sendiri dari sampah organik yang berlimpah di desa. ”Kami masih terus belajar untuk mengendalikan hama secara organik, tanpa pestisida,” kata Wasiatno.

Berbeda dengan orang tua mereka yang kebanyakan fanatik menanam padi, para petani muda ini juga sering kali bereksperimen menanam berbagai komoditas pertanian. ”Kami juga menanam cabai, salak, semangka, selada, sawi, dan tanaman-tanaman lain yang menguntungkan,” kata Gunawan (36), anggota KT Rukun, yang sarjana pendidikan ini.

Di Dusun Ngepas Lor, Desa Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, juga terbentuk Kelompok Tani Akur Muda yang beranggota 34 petani berusia rata-rata di bawah 30 tahun. Pemuda tani di dusun ini menanam cabai, kacang panjang, tomat, dan bawang merah.

Tak jarang mereka mencoba-coba tanaman baru dengan hanya membaca buku dan mempraktikannya di sawah. Kelompok Tani Prasetya Muda Dusun Sempon, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, lebih ekstrem lagi karena semua anggota kelompoknya sepakat tidak menanam padi.

Ratusan anak muda Sleman itu memilih profesi petani sebagai jalan hidup, bukan karena pelarian. Bukti keseriusan mereka adalah keberanian menyewa lahan. Tidak semua petani muda ini memiliki sawah warisan orangtua. Banyak orangtua mereka yang hanya petani penggarap.

Petani-petani muda ini pun ”nekat” menyewa lahan untuk ditanami aneka komoditas pertanian. Misalnya Wasiatno, dia menyewa lahan seluas 2.000 meter persegi dengan nilai Rp 1,5 per tahun. ”Setelah ditekuni ternyata hasilnya lumayan,” jelas dia, yang dari bertani sudah bisa membeli sepeda motor dan lahan seluas 1.000 meter.

Di Kulon Progo petani-petani muda terbukti gigih karena sanggup mengolah pasir yang panas dan kering menjadi lahan pertanian yang subur. Mereka harus menyiram tanamannya minimal sehari sekali. Pemuda tani di Kulon Progo juga membentuk koperasi untuk memasarkan sendiri hasil pertanian mereka ke daerah lain.

Mereka mengombinasikan pertanian dengan peternakan sapi. Kotoran sapi menjadi pupuk organik bagi tanaman mereka, mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. ”Selain memiliki sepeda motor, petani di sini rata-rata punya sapi sendiri,” kata Widodo.

Ketakutan bahwa generasi muda akan meninggalkan sektor pertanian rupanya tak selalu benar. Setidaknya itu yang ditunjukkan petani muda di pesisir selatan Kulon Progo dan pemuda di Sleman, yang menunjukkan cara baru dalam bertani.

Namun, yang meresahkan justru sikap pemerintah yang hendak memangkas tunas-tunas muda itu. Di Kulon Progo, Pemerintah Kabupaten dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ngotot hendak menggusur pemuda-pemuda tani lahan pasir itu untuk digantikan perusahaan tambang pasir besi dari Australia.

”Aneh, bukannya membantu menyejahterakan rakyat, tetapi penguasa sekarang justru mengganggu usaha rakyatnya sendiri,” keluh Widodo....

Kompas 11-Apr-08: Lampu Hijau dari ESDM (Kulon Progo, Yogya)

TAMBANG PASIR BERISI
Lampu Hijau dari ESDM
Jumat, 11 April 2008 | 00:43 WIB

Dari gelagat yang ditunjukkan sejauh ini, tampaknya calon investor, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan pihak DPR tetap tidak akan mundur dari rencana penambangan pasir besi di pantai selatan Kulon Progo, meski itu harus mengorbankan belasan ribu petani yang selama ini mengolah lahan tersebut untuk pertanian.

ang jelas, menurut pengakuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, proyek yang sudah ditandatangani nota kesepahaman (MOU)-nya pada Januari 2007 itu sudah mengantongi rekomendasi dari pihaknya.

Komisi VII DPR pun sudah menyetujui. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Muhammad Lutfi mengatakan, status proyek itu kini tinggal menunggu dibawa ke sidang kabinet dan ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Proyek tambang pasir besi di Kulon Progo itu sendiri merupakan kerja sama antara PT Krakatau Steel (KS) dan PT Jogja Magasa Mining (JMM). PT KS saat ini adalah salah satu perusahaan baja hilir terbesar di Indonesia, sementara JMM sendiri disebut sebagai perusahaan kerabat Sultan.

Salah satu komisaris adalah GBPH Joyokusumo (adik Sultan Hamengkubuwono X) dan GKR Pembayun (putri sulung Sultan), sedangkan Direktur Utama adalah BRMH Haryo Seno (Kompas, 23/1).

Bagi PT KS, proyek ini akan mendukung perluasan kapasitas produksi industri mereka dan mengatasi kesulitan akan bahan baku, karena selama ini perusahaan itu masih 100 persen menggantungkan bahan bakunya kepada impor yang sangat mahal.

Kawasan sepanjang 22 kilometer pesisir Kulon Progo menyimpan deposit pasir besi yang tidak akan habis ditambang dalam 30 tahun. Pada lapisan dengan kedalaman hingga enam meter yang pasirnya mengandung 14 persen biji besi saja, tersimpan deposit setara 33,6 juta ton pasir besi. Dari uji yang dilakukan Outokumpu Technology, bahkan kandungan biji besi bisa ditingkatkan dari 14 persen menjadi 50 persen.

Padahal, JMM merencanakan menambang hingga kedalaman 14,5 meter, yang berarti akan mengangkat volume pasir hingga 650 juta ton. Rencananya, Indo Mines Limited, perusahaan tambang dari Australia, akan membangun pabrik untuk pengolahan pasir besinya, dengan investasi 600 juta dollar AS.

Selain untuk memenuhi kebutuhan PT KS dan produsen baja domestik lainnya, besi mentah (pig iron) yang diproduksi Indo Mines juga akan diekspor ke pasar dunia. Kepemilikan saham Indo Mines saat ini 30 persen, tetapi dengan selesainya studi kelayakan, kepemilikan akan meningkat menjadi 70 persen.

Berdasarkan jadwal, pabrik sudah akan mulai beroperasi Agustus 2008 (untuk konsentrat) dan Desember 2009 (besi mentah) dengan kapasitas produksi awal 300.000 ton per tahun dan nantinya 1 juta ton per tahun. Dengan volume ini, pabrik ini adalah yang terbesar di Asia Tenggara.

Proyek ini akan mendatangkan pemasukan ke kantong Indo Mines sebesar 185 juta dollar AS. Sementara pemerintah pusat akan mendapatkan penerimaan pajak 19,25 juta dollar AS per tahun.

Sekarang ini, menurut Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Simon Sembiring yang dikutip media beberapa waktu lalu, Indo Mines sudah mengantongi kontrak karya 30 tahun. Kontrak ini bisa diperpanjang lagi selama 20 tahun.

Indo Mines sebelumnya bernama Australian Kimberley Diamonds (AKD) dan berganti nama menjadi Indo Mines pada Maret 2006 setelah perusahaan itu terlibat dalam proyek pengembangan sumber daya mineral di Indonesia.

AKD sendiri tercatat di bursa sejak Desember 1993 dan pernah terlibat dalam sejumlah proyek penambangan berlian, emas dan fosfat di Australia, serta penambangan emas dan tembaga di Peru. Proyek pasir besi di Kulon Progo tampaknya menjadi andalan dan jualan penting perusahaan ini untuk menjadi perusahaan tambang terkemuka dunia.

Proses kilat

Indo Mines dan JMM termasuk perusahaan yang ”beruntung” masih bisa memperoleh kontrak karya pertambangan. PT JMM dan mitranya, Indo Mines, tidak membutuhkan waktu lama untuk memperoleh izin kontrak karya. Banyak perusahaan tambang lain berlomba-lomba mengegolkan proyek mereka di bawah rezim kontrak karya sebelum RUU Mineral dan Batu Bara diberlakukan, tetapi tak semua beruntung.

Dengan berlakunya undang- undang baru itu, perusahaan tambang hanya mendapat izin pertambangan jangka pendek dan dibebani berbagai kewajiban lain yang oleh perusahaan pertambangan dinilai tidak terlalu menjamin investasi mereka.

Ditanya apakah mulusnya jalan Indo Mines dan JMM untuk memperoleh kontrak karya disebabkan pemiliknya adalah keluarga Sultan HB X, Ketua Komisi VII DPR yang membidangi Energi dan Lingkungan Airlangga Hartarto mengatakan, ”Enggak benarlah itu.”

Melalui rapat dengar pendapat dengan Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi serta Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal pada 16 November 2007, Komisi VII DPR menyetujui pengajuan kontrak karya untuk tambang pasir besi PT JMM.

”Prosesnya tergolong cepat, tidak seperti usulan kontrak karya lain yang sampai sekarang masih menggantung. Saya sudah kirim surat ke Mensesneg agar segera diselesaikan. Tinggal dibawa ke sidang kabinet,” ujar Kepala BKPM.

Pihak Kedutaan Besar Australia sendiri memastikan Indo Mines memiliki reputasi baik terkait pengelolaan lingkungan. Berkaitan dengan protes petani, Staf Atase Pers Kedubes Australia di Jakarta yang tidak mau disebut namanya mengatakan, kondisi dan perbedaan pandangan seperti itu sudah biasa terjadi. ”Banyak juga petani yang mendukung proyek itu,” ujarnya.

Pihak eksekutif maupun legislatif yang bertanggung jawab atas keluarnya izin kontrak karya pertambangan pasir besi untuk Indo Mines dan JMM sendiri menyatakan yakin bahwa dampak sosial dan lingkungan sudah dihitung dan bisa diatasi.

Airlangga Hartarto mengatakan, pihaknya sudah melihat langsung kondisi di lapangan. ”Memang ada potensi konflik pertanahan dengan masyarakat, tapi sudah diperhitungkan,” ujarnya.

Respons serupa juga muncul dari Purnomo ketika ditanyakan tentang kemungkinan konflik sosial dan masalah lingkungan. Purnomo dengan yakin mengatakan masih ada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

”Ya nanti dilihat saja amdalnya,” ujar Purnomo yang mengaku lupa tanggal pastinya kapan ia meneken surat rekomendasi izin kontrak pertambangan Indo Mines kepada Presiden RI. (Doty Damayanti/ Sri Hartati Samhadi)

Kompas 11-Apr-08: Petani Berhadapan dengan Kekuasaan (Kulon Progo, Yogya)

Petani Berhadapan dengan Kekuasaan
Jumat, 11 April 2008 | 00:43 WIB

Oleh Sri Hartati Samhadi/Ahmad Arif/ Maria Hartiningsih

Hari-hari ini belasan ribu petani lahan pasir di pantai selatan Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, gundah. Hak hidup dan bertani di lahan pasir yang telah mereka rintis puluhan tahun hendak dirampas oleh kepentingan modal yang bersekutu dengan penguasa melalui megaproyek tambang pasir besi.

emerintah kabupaten, DPRD, pemerintah psudah jelas tidak berpihak kepada para petani ini. Pemerintah pusat dan DPR sama saja. Restu atau izin persetujuan secara prinsip untuk kegiatan pertambangan yang akan menggusur lahan penghidupan belasan ribu kepala keluarga (KK) petani itu secara de facto sudah keluar. Sekarang ini ibaratnya tinggal selangkah kecil lagi, persetujuan Presiden.

Setelah itu akankah truk-truk proyek melindas petani yang sudah bertekad tidak akan meninggalkan wilayahnya dan bertahan hingga titik darah penghabisan di lahan dan rumah mereka?

”Kami tidak siap untuk beralih profesi. Seumur hidup kami hanya tahu dan siap menjadi petani lahan pasir pantai di Kulon Progo ini,” kata Suwanto, Kepala Desa Bugel, disambut riuh rendah sorak ribuan petani anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLT) Kulon Progo, yang berkumpul di Balai Desa Desa Budel, Kecamatan Panjatan, Kulon Progo.

Hari itu, Kamis (27/3), di tengah perayaan panen semangka, para tokoh pimpinan petani secara bergiliran berorasi menyuarakan kegeraman mereka. Aksi itu wujud akumulasi kekecewaan para petani karena pihak-pihak yang seharusnya mengayomi mereka merampas satu-satunya lahan yang menjadi sumber hidup mereka.

Aksi petani menentang proyek penambangan pasir besi sudah muncul sejak pertama kali wacana tambang pasir besi muncul, tahun 2002. Namun, keberatan warga tidak pernah digubris. Persiapan proyek jalan terus dan sekarang ini sudah pada tahap eksplorasi.

Pihak Jogja Magasa Mining (JMM) yang dimiliki kerabat keraton sebagai pemegang kuasa pertambangan telah melakukan pengeboran di 929 titik lokasi pada kedalaman rata-rata 16 meter. Pilot project penambangan pasir besi di Pantai Trisik, Desa Banaran, Kecamatan Galur, juga jalan terus.

Sosialisasi lemah

Dari peta konsesi pertambangan yang dirilis oleh Indo Mines sebagai mitra kerja JMM, wilayah eksploitasi nantinya akan meliputi area seluas 2.900 hektar yang membentang sepanjang 22 kilometer dari Sungai Bogowonto hingga Kali Progo dan masuk ke arah daratan dan pemukiman sejauh 1,8 kilometer dari garis pantai. Itu artinya menabrak wilayah sejumlah desa di empat kecamatan (lihat tabel hal 42).

Desa-desa tersebut adalah Desa Jangkaran dan Palihan di Kecamatan Temon; Desa Glagah dan Karangwuni di Kecamatan Wates; Desa Garongan, Pleret, Bugel, dan Karangsewu di Kecamatan Panjatan; dan Desa Nomporejo, Kranggan, dan Banaran di Kecamatan Galur. Belasan ribu KK petani terancam tergusur dari lahan pertanian dan rumahnya.

Itu bukan pertama kalinya petani di wilayah ini dibuat resah oleh rencana pembangunan berbagai megaproyek di kawasan itu, mulai dari lapangan golf, proyek agrowisata, pembangunan pelabuhan laut, bandara internasional, dan pangkalan militer. Semua mengatasnamakan kepentingan rakyat. Namun, rakyat yang mana, tidak jelas.

Posisi petani lahan pasir di sini sangat lemah. Meskipun sudah puluhan tahun menggarap lahan di kawasan itu—tidak sedikit di antaranya bahkan sejak tahun 1960-an—status dan hak mereka terhadap lahan tersebut tak pernah jelas dan diakui.

Sebagian tanah yang dipersengketakan statusnya ini adalah tanah merah (tanah negara). Pihak pemerintah daerah sendiri mengklaim 90 persen lahan yang akan ditambang adalah tanah milik keraton (Sultan Ground) dan Pakualaman (Paku Alam Ground). Sementara itu, petani sebelumnya hanya mengenalnya sebagai tanah oro-oro tandus yang telantar dan tak bertuan, yang ibaratnya tak mungkin ditanami apa pun.

Ketika lahan tersebut sudah berubah menjadi hijau dan lahan produktif, menurut pengakuan sejumlah petani, mendadak muncullah patok-patok yang intinya mengklaim lahan itu sebagai milik Pakualaman atau Kasultanan.

Nuansa politis sangat menyengat di sini karena kebetulan saja pemegang hak kuasa pertambangan di sini adalah perusahaan milik keluarga Sultan. Indo Mines, perusahaan tambang dari Australia yang menjadi mitra kerja JMM, dalam paparan publiknya juga menyebut mitranya itu sebagai ”strong and well connected local group”.

Namun, sejumlah kerabat Kesultanan, seperti GPPH Hadisuryo dan BSW Adjikoesoemo, serta kerabat Pakualaman, seperti KPH Songko Kusumo dan KPH Wijoyo Kusumo, yang juga hadir dalam acara panen semangka di Bugel, mengatakan, kepentingan modal dalam proyek ini tak mewakili suara Kasultanan atau Pakualaman secara keseluruhan. ”Tetapi, hanya mewakili kepentingan sedikit orang yang mengatasnamakan keraton,” kata Hadisuryo.

Surat KGPAA Paku Alam IX yang ditujukan kepada Kepala Bapedalda pada 7 Januari 2003 lalu juga menegaskan hal itu. Dalam surat bernomor X/PA/2003 tersebut, Paku Alam IX sudah menyatakan bahwa tanah Paku Alam Ground (PAG) itu boleh dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi tersebut.

Surat itu dengan tegas juga menyatakan lahan tersebut hanya boleh dikembangkan untuk kegiatan pertanian dan pariwisata dan tidak boleh dialihfungsikan bagi peruntukan lain yang sifatnya mengubah sifat fisik dan hayati lahan, seperti untuk kegiatan pertambangan pasir dan sebagainya.

Surat Paku Alam IX yang ditembuskan kepada Gubernur DIY, Bupati Kulon Progo itu sendiri merupakan jawaban terhadap surat Kepala Bapedalda yang sebelumnya mempertanyakan soal status tanah tersebut.

Konflik agraria

Kasus Kulon Progo semakin menambah panjang catatan buram konflik agraria di negara ini. Petani selalu saja dikalahkan oleh kepentingan pemilik modal dan kepentingan sektor lain.

Konflik petani lahan pasir dengan pemerintah diperumit oleh lemahnya komunikasi dan sosialisasi, dan diabaikannya hak-hak atau kepentingan para petani. Ada kesimpangsiuran informasi yang diterima masyarakat. Bukan hanya petani lahan pasir, kehadiran tambang pasir besi sebenarnya juga ditentang oleh sebagian akademisi dan kalangan lain karena dianggap akan merusak ekosistem dan lingkungan.

Namun, pemerintah sendiri tampaknya tetap ngotot. Dalih pemerintah adalah pasir yang terhampar luas di pantai selatan selama ini belum pernah memberikan kontribusi pendapatan besar bagi Kabupaten Kulon Progo. Yang diuntungkan selama ini hanya para penambang ilegal, yang menjual pasir tersebut sebagai bahan bangunan. Padahal, pasir tersebut memiliki kandungan biji besi yang bernilai jual tinggi.

Kehadiran tambang dan pabrik pengolahan biji besi juga akan mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku industri besi baja yang selama ini 100 persen diimpor dan mendatangkan devisa karena sebagian besar akan diekspor.

Dari tambang ini, pemerintah kabupaten akan mendapatkan bagian 32 persen dari hasil penjualan biji besi. Adapun pemerintah pusat akan mendapatkan penerimaan pajak sebesar 19,2 juta dollar AS setahun.

Kehadiran tambang, menurut pihak JMM dan pemda, juga akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Yang menjadi persoalan, lahan pasir yang tandus yang akan ditambang itu kini sudah berwujud lahan pertanian produktif yang mengidupi belasan ribu petani dan keluarganya. Akan dikemanakan mereka? Lapangan kerja sebanyak 2.000 yang dijanjikan oleh proyek ini jelas tidak sebanding dengan kehidupan belasan ribu petani yang dihancurkan.

Suhu di pesisir Kulon Progo yang beberapa waktu ini kelihatan adem ayem menyimpan bara di dalam dan berpotensi memicu konflik horizontal di antara warga yang pro dan kontra. Petani yang terus melakukan konsolidasi sudah bertekad melawan karena mereka merasa tidak lagi mendapatkan perlindungan dan pembelaan dari pihak-pihak yang seharusnya melindungi mereka.

Situasi ini membuat petani berpikir lebih pragmatis, mereka beraliansi dengan siapa saja yang mendukung perjuangan mereka. Namun, mereka juga tidak bodoh. Belajar dari pengalaman perjuangan petani di wilayah lain, mereka tidak memberi kesempatan LSM atau ornop mana pun ikut bermain dan mendompleng dalam perjuangan mereka.

Apa yang akan terjadi di Kulon Progo hari-hari ini akan menjadi saksi dan tercatat dalam sejarah bangsa ini, akankah kali ini petani kecil kembali dikalahkan. Kunci akhirnya ada di tangan Presiden, apakah akan menyetujui atau tidak. Keputusan ini akan menjadi antiklimaks dan penegasan dari kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada petani.

Di tengah ketergantungan pada impor pangan yang terus meningkat, rezim pemerintahan sekarang ini mencanangkan revitalisasi pertanian, lahan abadi pertanian dan swasembada pangan, bahkan gagasan ekspor beras. Namun, apa yang terjadi di lapangan, termasuk di Kulon Progo, sungguh jauh panggang dari api.

Berdasarkan data Serikat Petani Indonesia, selama tahun 2007 saja tercatat 76 kasus konflik agraria di Indonesia. Lebih dari 196.179 hektar lahan petani dirampas dan lebih dari 24.257 KK petani terusir dari lahan pertaniannya.

Dengan mayoritas penduduk masih di sektor pertanian dan kecenderungan lonjakan harga komoditas pangan ke depan yang masih akan terus berlanjut, jangan heran jika apa yang diperingatkan banyak pengamat akan terjadi. Kelaparan permanen di negeri ini.

Tuesday, April 8, 2008

Bisnis 9-Apr-08: 'Komisi untuk pejabat dorong impor pangan'


Agribisnis
Rabu, 09/04/2008
'Komisi untuk pejabat dorong impor pangan'
JAKARTA: Indonesia lebih memilih mengimpor produk pertanian saat harga tinggi lantaran para pejabat pemerintah memperoleh komisi USS$10-US$20/ton.

Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia Rizal Ramli mengatakan kondisi itu menyebabkan tidak ada kebijakan yang menguntungkan petani "Tingginya harga pangan dunia, saatnya pemerintah meningkatkan kesejahteraan petani," ujarnya seusai deklarasi Barisan Bangkit Indonesia, kemarin.

Namun karena kebijakan pemerintah tidak propetani, momentum itu hilang dan menyebabkan petani dan sebagian besar rakyat Indonesia menderita.

Di luar negeri, harga beras sudah US$800/ton atau sekitar Rp 7.200/kg, sementara HPP petani lokal hanya Rp2.000 per kg. Jauh lebih menguntungkan jika pemerintah membeli beras atau gabah dari petani. Namun, karena para pejabat lebih memikirkan komisi USS$10-US$20/ton, mereka berusaha impor sebanyak-banyaknya.

"Saya tahu benar ada praktik semacam ini. Sebaliknya, kalau membeli padi petani selalu dipersulit, dengan alasan kadar airnya terlalu tinggi, dan lainnya," papar Rizal Ramli yang juga mantan Kepala Bulog.

Dia menjelaskan waktu dia menjadi Kabulog, Menko Perekonomian, Menkeu, Indonesia tidak pernah mengimpor beras. Hal itu disebabkan oleh dia tidak mau menggunakan anggaran/uang rakyat untuk mensubsidi petani asing.

Indonesia mengimpor berbagai produk pangan dan pertanian dalam jumlah besar.

Setiap tahun negeri ini mengimpor 2 juta ton beras, 1,6 juta ton gula, 1,8 juta ton kedelai, 4,5 juta ton gandum, 1,2 juta ton jagung, 1 juta ton bungkil kedelai untuk makanan ternak, 1,5 juta ton garam, dan 850.000 ton singkong untuk makanan ternak.

"Ini sangat tidak masuk akal. Sebagai negara yang subur makmur, pejabat kita sibuk mengimpor bahan pangan dan berbagai produk pertanian lain. Akibatnya, petani dan sebagian besar rakyat Indonesia terpuruk nasibnya. Semuanya karena komisi," tuturnya.

Oleh Martin Sihombing
Bisnis Indonesia

© Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.

Bisnis 9-Apr-08: Jaringan distribusi gula rafinasi dievaluasi


Perdagangan
Rabu, 09/04/2008
Jaringan distribusi gula rafinasi dievaluasi
JAKARTA: Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) melakukan evaluasi total terhadap jaringan distribusi gula rafinasi di Indonesia menyusul adanya surat penegasan Mendag mengenai terjadinya rembesan gula rafinasi di tingkat pengecer.

Asosiasi itu mengaku sudah menjalankan prosedur penjualan gula rafinasi sesuai dengan petunjuk pemerintah, dan tidak menjual komoditas pemanis itu kepada industri makanan dan minuman melalui pengecer secara langsung.

Ketua AGRI M. Yamin mengatakan organisasinya segera melayangkan surat jawaban atas surat Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu No.357/2008 yang membebankan tanggung jawab peredaran gula rafinasi di tingkat pengecer kepada produsen.

"Sejak surat itu kami terima, kami langsung melakukan konsolidasi ke dalam, dan melakukan evaluasi. Saat ini, kami tengah menyiapkan jawaban atas surat Mendag itu," katanya kepada Bisnis di Jakarta, kemarin.

Dia menjelaskan produsen gula rafinasi sudah melakukan distribusi gula secara benar. Setiap distributor diikat melalui surat jalan bahwa gula rafinasi itu diperuntukkan konsumsi industri, bukan diecerkan.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu meminta seluruh pelaku industri gula rafinasi mematuhi surat No.357/2008, dan menarik gula rafinasi yang diduga beredar di tingkat pengecer.

Identitas distributor

M. Yakin menjelaskan pihaknya sudah menyampaikan seluruh identitas distributor dan agen gula rafinasi kepada Depdag lengkap dengan alamatnya. "Sedang dicari jalan tengahnya seperti apa agar semua pihak tidak dirugikan," ujarnya.

Di Indonesia, ada lima empat perusahaan gula rafinasi, yakni PT Sentra Usahatama Jaya, PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Angels Product, dan PT Jawa Manis Rafinasi dan Dharmapala Usaha Sukses.

Arum Sabil, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), mendesak pemerintah untuk memasukkan industri gula rafinasi dalam daftar negatif investasi (DNI) menyusul ditemukannya peredaran gula jenis tersebut di sejumlah pasar tradisional di luar Jawa.

Temuan tersebut membuktikan kecurigaan selama ini bahwa terjadi rembesan peredaran gula rafinasi ke pasar gula konsumsi yang berakibat pada seretnya distribusi gula hasil giling 2007 hingga menumpuk di gudang-gudang hingga ratusan ribu ton.

"Ini fakta yang menandakan produksi gula rafinasi kelebihan dibandingkan dengan kebutuhan. Sehingga kami mendesak agar industri gula rafinasi berbahan baku raw sugar impor masuk dalam DNI," kata Arum kepada Bisnis dari Pasar Pagi, Samarinda, kemarin.

Dia menyebutkan Mendag Marie E. Pangestu telah mengeluarkan surat No.357/ M-DAG/4/2008 tanggal 2 April 2008 yang melarang gula rafinasi beredar untuk keperluan konsumsi. Di situ juga diatur agar produsen segera menertibkan peredaran gula rafinasinya.

"Kalau dalam tempo dua minggu sesuai dengan surat tersebut gula rafinasi tidak ditarik oleh produsennya dari pasar-pasar umum, ya kami akan bersama-sama polisi untuk bertindak langsung." (10/Bambang Sutejo) (redaksi@bisnis.co.id)

Bisnis Indonesia

© Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.

Monday, April 7, 2008

Kontan 7-Apr-08: Musim Giling Tiba, Duit Talangan Tak Ada

PETANI TEBU

Musim Giling Tiba, Duit Talangan Tak Ada

Arief Ardiansyah, Antara
posted by kontan on 04/07/08

SURABAYA. Sekarang memang sedang zamannya resah dan gelisah. Kali ini giliran para petani tebu. Sebulan ke depan, mereka akan memasuki musim giling 2008. Eh, kok, ndilalah, investor yang biasanya mau menjamin dana talangan buat gula produksi mereka sampai saat ini belum ada. "Bahkan, penawaran pun juga belum masuk," kata Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil, kemarin (6/4).
Sejumlah calon investor dana talangan rupanya masih berhitung untuk menjadi penjamin. Ini terkait kondisi pasar gula dalam negeri yang kurang kondusif. Selama ini, penyedia dana talangan adalah pedagang dan distributor utama yang bereputasi baik dan telah bermitra dengan petani. Fungsi dana talangan ini agar penjualan gula petani tidak terjadi secara membabi buta dan tidak terkontrol sehingga dapat menekan risiko jatuhnya harga akibat over supply sekecil mungkin.
Belum adanya dana talangan ini lantaran kondisi pasar gula dalam negeri saat ini sedang jenuh dan harga merosot, akibat kelebihan pasokan. Hingga saat ini, diperkirakan sekitar 600.000 ton hingga 700.000 ton gula produksi 2007 belum terjual, dan sebagian besar milik pedagang.
Malah, 400.000 ton di antaranya masih ngendon di gudang-gudang pabrik gula yang ada di Jawa Timur. "Kalau gula dipaksa masuk pasar, mereka rugi besar," kata Associated Corporate Secretary PT Perkebunan Nusantara XI, Adig Suwandi.
Investor makin enggan memberi dana talangan karena muncul keinginan petani untuk menaikkan harga dasar gula dari Rp 4.900 menjadi Rp 5.500 per kg. "Kenaikan itu cukup wajar karena ongkos produksi juga naik," kata Arum Sabil.
Penyebab terjadinya penumpukan stok gula lokal ini karena gula rafinasi merembes ke pasar gula konsumsi. Seharusnya gula rafinasi itu hanya untuk industri makanan dan minuman skala besar. Adig mengatakan rencana Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia mengurangi produksi hingga 20% pada tahun ini bukan solusi mengatasi kelebihan stok. Masalahnya, stok gula rafinasi sangat tinggi.
Selama gula rafinasi masih ada di pasaran, sulit bagi calon investor dana talangan untuk masuk menjadi penjamin. Arum Sabil berharap pemerintah tak hanya melarang peredaran gula rafinasi di pasaran, tapi menghentikan impor segala jenis gula, sampai terjadi keseimbangan stok. "Kalau impor tetap jalan, over supply masih akan berlangsung hingga tahun depan dan itu mengancam nasib petani tebu," katanya.

Bisnis 8-Apr-08: Ekspor kopi Lampung naik


Perdagangan
Selasa, 08/04/2008
KUOTA
Ekspor kopi Lampung naik
BANDAR LAMPUNG: Volume ekspor kopi Lampung pada Maret 2008 mencapai 15.207 ton dengan nilai US$31,93 juta.

"Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor Maret 2007 yang tercatat 3.493,3 ton, dengan nilai US$5,94 juta," kata Ketua DPD Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Lampung, Suherman Harsono, kemarin.

Volume ekspor kopi Lampung pada Februari 2008 cukup tinggi, mencapai 24.180 ton dengan nilai US$43,19 juta. Total volume ekspor Lampung pada Januari-Maret 2008 mencapai 53.321 ton dengan devisa US$99,53 juta.

Harga kopi robusta sekarang rata-rata Rp18.000-Rp19.000/kg, atau turun jika dibandingkan dengan beberapa bulan sebelumnya yang sempat menembus angka Rp27.000/kg di tingkat petani, sedangkan di bursa London, harga kopi robusta di pasaran dunia mencapai US$2.253 per ton. Antara)

© Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.

Bisnis 8-Apr-08: Impor Beras Dihentikan (Janji Pemerintah nih)


Perdagangan
Selasa, 08/04/2008
KUOTA
Impor beras dihentikan
YOGYAKARTA: Pemerintah menegaskan komitmen untuk menghentikan impor beras dan mengajak para petani meningkatkan produksi beras guna pemenuhan kebutuhan dalam negeri serta ekspor.

Hal ini terungkap dalam dialog antara Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan para petani di dusun Niten, Desa Trirenggo, Kabupaten Bantul.

Dialog ini merupakan bagian dari kunjungan kerja tiga hari pada 5-7 April yang dilakukan Wapres ke Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam dialog tersebut terlihat para petani masih memiliki kekhawatiran akan melubernya beras impor yang dapat memukul harga gabah dan beras serta meminta pemerintah untuk menghentikan impor beras.

Wapres mengatakan Indonesia sudah tidak mengimpor beras selama enam bulan terakhir. Pemerintah kini tidak lagi memikirkan opsi impor beras tetapi memusatkan perhatian pada upaya menaikkan pendapatan petani dan peningkatan produksi pangan. (Bisnis/rar)

© Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.