Wednesday, April 16, 2008

Kompas 17-Apr-08: Semangat Anak Gunung demi Padi Gogo Aromatik - Totok Agung Dwi Haryanto

Semangat Anak Gunung demi Padi Gogo Aromatik
KOMPAS/MADINA NUSRAT / Kompas Images
Kamis, 17 April 2008 | 01:43 WIB

Madina Nusrat

Selama 37 tahun lebih padi gogo dibudidayakan di Indonesia, tetapi luas lahannya tidak lebih dari satu juta hektar. Selama itu pula varietas padi gogo tidak banyak dikembangkan. Sekitar 55,6 juta hektar lahan kering di Indonesia nyaris luput dari perhatian pemerintah untuk dieksplorasi sebagai lahan pertanian padi.

Berangkat dari kondisi itulah, sejak tujuh tahun lalu, Totok Agung Dwi Haryanto tekun meneliti dan membuat percobaan untuk menemukan padi gogo yang tak apek dan enak dimakan. Padi yang nilai jualnya juga tak lebih rendah dibandingkan dengan harga padi sawah.

Hasilnya, tahun ini dia menemukan tiga macam padi gogo aromatik, hasil perkawinan padi gogo dari Poso dengan tiga macam padi aromatik kelas premium, yaitu mentik wangi, pandan wangi, dan rojo lele. Namun, ketiganya belum ada yang diberi nama.

”Saya baru mengajukannya ke Departemen Pertanian agar ketiganya diberikan nama. Kemungkinan ketiganya akan diberi nama danau, sesuai konsensus untuk penamaan padi gogo,” tutur pria kelahiran lereng Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 23 September 1963, ini.

Sehari-hari Totok mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto. Dia juga menjadi Direktur Akademik Program Pascasarjana Unsoed.

Lahan kering dan padi gogo, bagi Totok, bagaikan mutiara yang terlupakan. Keberadaannya selalu diabaikan pemerintah. Lahan kering tak pernah dianggap sebagai suatu aset yang dapat ikut menopang ketahanan pangan nasional. Padi gogo yang bernilai jual rendah, tetapi tahan terhadap cuaca kering, juga tak pernah dieksplorasi untuk dicari kelebihannya.

Peningkatan produksi padi yang dilakukan pemerintah lebih terfokus pada lahan sawah, terutama melalui program intensifikasi. Upaya itu memang dapat meningkatkan produktivitas maupun produksi, tetapi belum memecahkan masalah penyediaan pangan yang mencukupi kebutuhan nasional.

”Terbukti, setiap tahun kita masih mengimpor beras dari luar negeri,” ujar doktor lulusan Universitas Kyushu, Fukuoka, Jepang, 1998, itu.

Belum lagi, peningkatan produksi padi berbasis lahan sawah terhambat penyempitan lahan akibat alih fungsi, yang umumnya sawah beririgasi teknis maupun setengah teknis dengan produktivitas tinggi.

”Ini masih ditambah lagi kesuburan tanah yang terus menurun dan inefisiensi pemupukan, terutama urea. Selain itu juga ketidakpastian musim yang menyebabkan puso, kekeringan pada musim kemarau maupun kebanjiran pada musim hujan. Kehadiran organisme pengganggu tanaman juga menjadi masalah yang dihadapi pertanian padi sawah,” tuturnya.

Sebaliknya, padi gogo yang tumbuh di lahan kering cenderung lebih tahan dalam cuaca apa pun. Lahan perladangan yang tersedia di Indonesia pun cukup luas. Hanya karena rasa dan aroma yang kurang menarik, jenis ini tak laku dijual di pasaran. Harganya pun tak lebih dari Rp 2.500 per kilogram.

Perkawinan silang

Namun, dengan rekayasa terhadap mutu kimia pada bulir beras, kekurangan padi gogo itu dapat diubah menjadi lebih baik, yakni dengan perkawinan silang antara padi gogo dan padi kelas premium aromatik. Aroma dan rasa padi gogo bisa diubah menjadi beras yang harum dan sama enaknya dengan beras dari lahan sawah.

Bagi ahli pertanian seperti dirinya, rekayasa kimiawi seperti ini menjadi tantangan tersendiri. Selain terdorong meningkatkan produksi beras, Totok juga tertantang menghasilkan beras varietas unggul baru dengan kualitas lebih bagus daripada varietas yang sudah ada.

”Ini salah satu tujuan utama para pemulia tanaman,” ujar Totok.

Sejak tahun 2000 sebenarnya ada sembilan macam padi gogo aromatik yang ditemukan sejumlah ahli pertanian di Indonesia. Namun, hasil temuan itu belum banyak dipasarkan kepada petani.

Oleh karena itulah, dengan tiga varietas padi gogo aromatik temuannya, Totok berencana menjualnya ke pasaran. Harga benih per kilogram relatif sama dengan harga benih padi sawah sekelas IR 64, berkisar Rp 6.000 per kilogram.

”Saya sudah uji coba ketiga varietas padi temuan ini di sejumlah desa di Kabupaten Banyumas dan di kebun percobaan milik Fakultas Pertanian Unsoed. Hasilnya sama bagus dengan padi sawah meski tanpa air,” tuturnya.

Perlakuan terhadap padi gogo aromatik temuan Totok itu juga tak perlu khusus. ”Perlakuan atau pemeliharaan padi gogo ini sama dengan yang dilakukan petani ladang selama ini, tak ada yang berubah. Hanya benihnya yang direkayasa, dan itu menjadi tugas kami sebagai ahli pertanian,” tuturnya.

Kampung halaman

Perhatian Totok terhadap perladangan terutama karena keterkaitannya dengan kampung halamannya, Desa Candimulyo, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Hampir seluruh lahan pertanian di desa di lereng Gunung Merbabu ini berupa lahan pertanian perladangan.

Setiap hari Totok bertelanjang kaki pergi ke sekolah. ”Kalau saya pakai sandal atau sepatu, pasti kotor. Jalan yang dilalui ke sekolah itu tanah semua, belum ada jalan aspal,” katanya mengenang.

Totok juga masih ingat cerita mistis seputar pegunungan itu. Salah satunya tentang Gunung Merbabu dan kekuatan Mbah Mangli—kiai di lereng Gunung Merbabu—yang dapat berpindah tempat dalam sekejap mata. Mbah Mangli disegani petani dan masyarakat di Kabupaten Magelang. Sosok itu juga populer karena usahanya merintis pendirian Asrama Pendidikan Islam (API) di Desa Tegalrejo, yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia.

”Selain sakti, Mbah Mangli ini perintis API. Jadi, tak hanya kekuatannya yang diingat orang, tetapi juga jasanya dalam meningkatkan pendidikan remaja Muslim,” tutur guru besar Fakultas Pertanian Unsoed sejak 5 April 2008 itu.

”Kemampuan lebih” seperti cerita itu menumbuhkan keyakinan kuat dalam dirinya. Meski berasal dari desa, Totok punya keyakinan kuat mampu menempuh pendidikan setinggi mungkin. Semua pencapaiannya itu pun kembali ditujukan bagi para petani, asal nenek moyangnya.

Dia juga tetap merasa tertantang untuk menemukan varietas padi baru lainnya. Totok tengah menyiapkan satu jenis varietas lagi yang sama sekali baru. ”Padi ini kandungan proteinnya hampir sama dengan yang ada pada kedelai,” ujarnya bersemangat.

BIODATA :

Nama: Totok Agung Dwi Haryanto

Lahir: Lereng Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 23 September 1963

Pendidikan:

- SD Negeri Candimulyo, Magelang, tamat 1975

- SMP Negeri 2 Magelang, tamat 1978/1979

- SMA Negeri 1 Magelang, tamat 1982/1983

- Strata 1 Jurusan Budidaya Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, tamat 1987

- Strata 2 Program Studi Ilmu Tanaman Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, tamat 1994

- Strata 3 Crop Science, Faculty of Agriculture, Kyushu University, Fukuoka, Jepang, tamat 1998

Istri: Nita Triana SH MSi, dosen Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto

Anak:

1. Hafizh Faikar Ramadhan Agung, kelas II SMAN I Purwokerto

2. Nafara’in Haniefan Agung, kelas II SMP Al Irsyad Al Islamiyah Purwokerto

3. Muhamed Basyith Agung, kelas I SD Al Irsyad Al Islamiyah Purwokerto

4. Ahmed Benjamin Agung, kelas I SD Al Irsyad Al Islamiyah Purwokerto

No comments: