Petani Indonesia

Thursday, May 1, 2008

Kompas 2-Mei-08: Stok Menipis, Permintaan Dunia Meningkat (Jagung, Pioneer)

Stok Menipis, Permintaan Dunia Meningkat
Kompas/Lucky Pransiska / Kompas Images
Petani memanen jagung hibrida bisi 12, varietas yang dikembangkan PT Bisi Internastional Tbk di Desa Turipinggir, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (6/12). Produksi jagung varietas tersebut mencapai 14 ton per hektar dengan masa tanam selama 98 hari.
Jumat, 2 Mei 2008 | 00:42 WIB

Grobogan, Kompas - Stok jagung dunia terus menyusut. Sejak tiga tahun lalu, laju peningkatan produksi jagung dunia kalah cepat dibandingkan dengan peningkatan konsumsi. Saat ini, stok jagung dunia hanya cukup untuk kebutuhan 48 hari.

Oleh karena itu, menurut ASEAN Business Manager DuPont Andy Gumala, investasi di bidang agrobisnis jagung akan sangat menguntungkan. Andy menyampaikan hal itu seusai panen jagung hibrida pioner varietas P 11 di area Perum Perhutani wilayah Jawa Tengah di Purwodadi, Rabu (30/4).

Idealnya, kata Andy, stok jagung dunia minimal untuk mencukupi kebutuhan empat bulan agar bila terjadi gagal panen tidak akan mengguncang harga jagung di pasar dunia.

”Stok jagung dunia diperkirakan akan terus berkurang akibat konsumsi jagung untuk etanol dan pakan meningkat, sementara perluasan area tanam terbentur keterbatasan lahan,” katanya.

Sejak tahun 1990-an lahan untuk jagung stagnan. Potensi perluasan lahan hanya bisa dilakukan di hutan Amazon dan Indonesia meskipun kecil. Di luar wilayah itu, sulit untuk mengembangkan pertanian jagung.

Saat produksi cenderung stagnan, permintaan terhadap jagung justru meningkat. Tahun 2007, produksi jagung dunia 770 juta ton, sementara konsumsi 774 juta ton. Konsumsi terus meningkat karena beberapa negara mengembangkan etanol berbahan baku jagung. Selain itu, meningkatnya konsumsi daging di China yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan pakan ternak, di antaranya jagung.

China yang sebelumnya eksportir jagung tahun lalu mengimpor 1 juta ton. Malaysia mengimpor 5 juta ton, Indonesia sekitar 1 juta ton, Taiwan 1 juta ton, Jepang dan Singapura mengimpor belasan ton.

”Impor jagung Asia saja tahun lalu 35 juta ton, yakni dari Brasil, Argentina, dan AS,” katanya.

Petani semangat

Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo, usaha tani jagung saat ini menguntungkan. Dengan harga jual jagung pipilan kering Rp 2.000 per kilogram, petani akan semangat menanam jagung.

Ia menjelaskan, harga jagung akan terus tinggi selama harga minyak terus meningkat. Oleh karena itu, pemerintah dan pengusaha harus pandai memanfaatkan momentum kenaikan harga jagung ini, yaitu dengan meningkatkan produksi jagung untuk menembus pasar ekspor. Peluang usaha agrobisnis jagung masih terbuka lebar karena banyak lahan pertanian di Indonesia yang bisa dimanfaatkan.

Naiknya harga jagung, kata Siswono, akan memberi pendapatan berlebih pada petani sehingga daya beli mereka naik.

Di Kecamatan Klambu, Purwodadi, misalnya, masyarakat giat menanam jagung hibrida P 11 di lahan Perum Perhutani di sela-sela tanaman keras seperti pohon jati, mindi, dan mahoni. Produktivitas jagung di lahan perhutani itu mencapai 6-7 ton per hektar.

Selain menjalin kerja sama penanaman jagung di area Perhutani, DuPont sebagai produsen benih jagung juga menjalin kerja sama serupa dengan PT Perkebunan Nusantara.

General Manager Cargill Animal Nutrition, Clemens Tan, mengatakan, Cargill bersedia menampung produksi jagung dalam negeri dengan syarat kadar air tidak lebih dari 17 persen dan aflatoksin maksimal 50 part per billion (ppb).

”Dengan konsumsi seperti sekarang, perdagangan jagung dunia menjanjikan. Berapa pun produksi jagung lokal akan terserap semuanya,” katanya. (MAS)

Thursday, April 17, 2008

Buku DUA TONGKOL JAGUNG - Roland Bunch

Buku Dua Tongkol Jagung - Roland Bunch

Hari Senin 14 April lalu, saya ngobrol-ngobrol dengan Dr Edi Basuno dan Dr Rita Ganda Soemita di PSE, Jl A Yani, Bogor. Obrolan kami terutama mengenai bagaimana pengalaman mereka membentuk Kelompok Tani BINANGKIT, Dusun Pasantren, Desa Balekambang, Nagrak, Sukabumi bisa dicopy-paste dengan cepat ke tempat-tempat lain.

Sudah begitu banyak program-program bantuan pemerintah, yang dari penyerahan domba ternak atau sapi perah, yang berubah menjadi sate dalam sekejap. Meskipun percobaan mereka masih singkat (baru 3 tahunan) dan masih berjalan (tanpa dukungan pemerintah), KT Binangkit saya 'rasa' bolehlah. Saya melihatnya, meski cuma beberapa jam, dari dinamika kelompok yang ditunjukkan sore itu (10 April 2008). Para anggota aktif dan bergerak serba cepat.

Ngobrol sana ngobrol sini, Mas Edi menunjukkan buku pinternya. Ya, buku Pak Bunch ini. Ketika mereka menerimanya beberapa tahun lalu, mereka membahasnya halaman per-halaman. Seru sekali.

Ketika saya melihat buku itu, saya merasa pernah punya, sehingga tidak jadi meminjam. Benar sekali, ketika tiba di rumah, buku itu ada. Saya membelinya 3 November 2002! Versi Indonesianya yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia dan World Neighbors memang baru terbit 2001.

Buku langsung saya geber baca... malam itu juga... dan baru selesai beberapa menit lalu. Jumat 0200 tadi. Byuh byuh byuh, memang ruarrr biasa!!!

Terimakasih Mas Edi, terimakasih Mbak Rita.
Bravo!!!

Kompas 17-Apr-08: Warga Tolak Kebun Sawit (Muara Enim)

Warga Tolak Kebun Sawit
Upaya Demonstran Terobos Gedung DPRD Dihalangi Aparat
Kompas/Boni Dwi Pramudyanto / Kompas Images
Gabungan aparat kepolisian menjaga ketat unjuk rasa ribuan warga Kabupaten Muara Enim di Kantor DPRD Sumsel, Rabu (16/4). Unjuk rasa dilatarbelakangi penolakan terhadap masuknya investor kelapa sawit yang menggusur lahan serta kebun garapan milik warga di 13 desa di Kecamatan Gelumbang dan Sungai Rotan.
Kamis, 17 April 2008 | 02:10 WIB

Palembang, Kompas - Ribuan warga Kecamatan Gelumbang dan Sungai Rotan, Muara Enim, berunjuk rasa di DPRD Sumsel, Rabu (16/4). Warga mendesak DPRD mengeluarkan rekomendasi penolakan pembukaan lahan sawit 6.000 hektar karena menggusur lahan dan kebun yang jadi tumpuan mata pencarian.

Dari pantauan Kompas, ribuan warga dari 13 desa di dua kecamatan tersebut mendatangi Kantor DPRD Sumatera Selatan dengan menggunakan mobil, sepeda motor, dan angkutan umum. Sekitar pukul 10.30, para pengunjuk rasa yang sebagian besar berasal dari segmen kelas menengah-bawah memulai aksi dengan berorasi di halaman Kantor Dewan.

Para pengunjuk rasa juga membawa berbagai poster, selebaran, dan foto bernada sindiran terhadap Pemerintah Kabupaten Muara Enim yang mereka nilai kurang memerhatikan kepentingan rakyat kecil. Orasi lepas ini berlangsung sekitar setengah jam.

Di tengah-tengah unjuk rasa, sebagian anggota Dewan keluar gedung dan menemui demonstran. Kepada massa demonstran, mereka meminta pengertian agar tidak berbuat anarki. Menanggapi situasi tersebut, massa pengunjuk rasa kemudian membacakan pernyataan sikap bersama warga Sungai Rotan dan Gelumbang.

Setelah itu, anggota DPRD dari jajaran pengurus dan anggota Komisi I langsung mengadakan pertemuan di ruang rapat Kantor DPRD Sumsel dengan wakil pengunjuk rasa. Pertemuan berlangsung sekitar dua jam.

Menurut koordinator unjuk rasa Aspihani, persoalan ini bermula dari turunnya izin lokasi dari Bupati Muara Enim kepada PT Cahaya Vidi Abadi untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit seluas 6.000 hektar yang masuk wilayah administrasi Kecamatan Gelumbang dan Sungai Rotan.

”Izin lokasi ini tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Muara Enim Nomor 175/KPTS/2006 tertanggal 27 Februari 2006,” ucap Aspihani.

Tidak pernah setuju

Dalam perkembangannya, muncul surat tertulis yang berisi persetujuan warga di dua kecamatan tersebut tentang pembukaan lahan kelapa sawit. Padahal, Aspihani menegaskan bahwa hampir semua warga di 13 desa di dua kecamatan tidak setuju terhadap pembukaan lahan kelapa sawit ini.

”Alasannya, pembukaan lahan kelapa sawit ini justru menggusur lahan dan kebun garapan warga. Perlu diketahui bahwa warga desa sudah menggarap lahan pertanian itu secara turun temurun sehingga menjadi sumber mata pencaharian utama bagi warga,” ucapnya.

Sebagai upaya tindak lanjutnya, Aspihani menjelaskan bahwa sebagian besar warga Kecamatan Gelumbang dan Sungai Rotan menggelar dua kali pertemuan pada 19 dan 26 Februari 2008. Pertemuan akbar warga itu menghasilkan kesepakatan bersama bahwa masyarakat Gelumbang dan Sungai Rotan dengan tegas menolak lahan sawit milik PT Cahaya Vidi Abadi.

”Selain menggusur lahan garapan, penolakan kami juga terkait dugaan mengenai adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemberian izin lokasi ini. Daripada bermasalah, kami menuntut lahan sawit dibatalkan,” kata Ahmad, seorang pengunjuk rasa.

Mengingat perjuangan warga di tingkat kabupaten tidak bisa maksimal, warga mengutarakan aspirasi ke DPRD provinsi. Aspihani mewakili para pengunjuk rasa mendesak DPRD Sumsel mengeluarkan rekomendasi pembatalan.

Menanggapi hal itu, pimpinan Komisi I DPRD Sumatera Selatan Amirudin Nahrawi hanya berjanji untuk membawa aspirasi warga Kabupaten Muara Enim ini ke agenda rapat pleno dan rapat paripurna sehingga banyak mendapat masukan. (ONI)

Wednesday, April 16, 2008

Kompas 17-Apr-08: Semangat Anak Gunung demi Padi Gogo Aromatik - Totok Agung Dwi Haryanto

Semangat Anak Gunung demi Padi Gogo Aromatik
KOMPAS/MADINA NUSRAT / Kompas Images
Kamis, 17 April 2008 | 01:43 WIB

Madina Nusrat

Selama 37 tahun lebih padi gogo dibudidayakan di Indonesia, tetapi luas lahannya tidak lebih dari satu juta hektar. Selama itu pula varietas padi gogo tidak banyak dikembangkan. Sekitar 55,6 juta hektar lahan kering di Indonesia nyaris luput dari perhatian pemerintah untuk dieksplorasi sebagai lahan pertanian padi.

Berangkat dari kondisi itulah, sejak tujuh tahun lalu, Totok Agung Dwi Haryanto tekun meneliti dan membuat percobaan untuk menemukan padi gogo yang tak apek dan enak dimakan. Padi yang nilai jualnya juga tak lebih rendah dibandingkan dengan harga padi sawah.

Hasilnya, tahun ini dia menemukan tiga macam padi gogo aromatik, hasil perkawinan padi gogo dari Poso dengan tiga macam padi aromatik kelas premium, yaitu mentik wangi, pandan wangi, dan rojo lele. Namun, ketiganya belum ada yang diberi nama.

”Saya baru mengajukannya ke Departemen Pertanian agar ketiganya diberikan nama. Kemungkinan ketiganya akan diberi nama danau, sesuai konsensus untuk penamaan padi gogo,” tutur pria kelahiran lereng Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 23 September 1963, ini.

Sehari-hari Totok mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto. Dia juga menjadi Direktur Akademik Program Pascasarjana Unsoed.

Lahan kering dan padi gogo, bagi Totok, bagaikan mutiara yang terlupakan. Keberadaannya selalu diabaikan pemerintah. Lahan kering tak pernah dianggap sebagai suatu aset yang dapat ikut menopang ketahanan pangan nasional. Padi gogo yang bernilai jual rendah, tetapi tahan terhadap cuaca kering, juga tak pernah dieksplorasi untuk dicari kelebihannya.

Peningkatan produksi padi yang dilakukan pemerintah lebih terfokus pada lahan sawah, terutama melalui program intensifikasi. Upaya itu memang dapat meningkatkan produktivitas maupun produksi, tetapi belum memecahkan masalah penyediaan pangan yang mencukupi kebutuhan nasional.

”Terbukti, setiap tahun kita masih mengimpor beras dari luar negeri,” ujar doktor lulusan Universitas Kyushu, Fukuoka, Jepang, 1998, itu.

Belum lagi, peningkatan produksi padi berbasis lahan sawah terhambat penyempitan lahan akibat alih fungsi, yang umumnya sawah beririgasi teknis maupun setengah teknis dengan produktivitas tinggi.

”Ini masih ditambah lagi kesuburan tanah yang terus menurun dan inefisiensi pemupukan, terutama urea. Selain itu juga ketidakpastian musim yang menyebabkan puso, kekeringan pada musim kemarau maupun kebanjiran pada musim hujan. Kehadiran organisme pengganggu tanaman juga menjadi masalah yang dihadapi pertanian padi sawah,” tuturnya.

Sebaliknya, padi gogo yang tumbuh di lahan kering cenderung lebih tahan dalam cuaca apa pun. Lahan perladangan yang tersedia di Indonesia pun cukup luas. Hanya karena rasa dan aroma yang kurang menarik, jenis ini tak laku dijual di pasaran. Harganya pun tak lebih dari Rp 2.500 per kilogram.

Perkawinan silang

Namun, dengan rekayasa terhadap mutu kimia pada bulir beras, kekurangan padi gogo itu dapat diubah menjadi lebih baik, yakni dengan perkawinan silang antara padi gogo dan padi kelas premium aromatik. Aroma dan rasa padi gogo bisa diubah menjadi beras yang harum dan sama enaknya dengan beras dari lahan sawah.

Bagi ahli pertanian seperti dirinya, rekayasa kimiawi seperti ini menjadi tantangan tersendiri. Selain terdorong meningkatkan produksi beras, Totok juga tertantang menghasilkan beras varietas unggul baru dengan kualitas lebih bagus daripada varietas yang sudah ada.

”Ini salah satu tujuan utama para pemulia tanaman,” ujar Totok.

Sejak tahun 2000 sebenarnya ada sembilan macam padi gogo aromatik yang ditemukan sejumlah ahli pertanian di Indonesia. Namun, hasil temuan itu belum banyak dipasarkan kepada petani.

Oleh karena itulah, dengan tiga varietas padi gogo aromatik temuannya, Totok berencana menjualnya ke pasaran. Harga benih per kilogram relatif sama dengan harga benih padi sawah sekelas IR 64, berkisar Rp 6.000 per kilogram.

”Saya sudah uji coba ketiga varietas padi temuan ini di sejumlah desa di Kabupaten Banyumas dan di kebun percobaan milik Fakultas Pertanian Unsoed. Hasilnya sama bagus dengan padi sawah meski tanpa air,” tuturnya.

Perlakuan terhadap padi gogo aromatik temuan Totok itu juga tak perlu khusus. ”Perlakuan atau pemeliharaan padi gogo ini sama dengan yang dilakukan petani ladang selama ini, tak ada yang berubah. Hanya benihnya yang direkayasa, dan itu menjadi tugas kami sebagai ahli pertanian,” tuturnya.

Kampung halaman

Perhatian Totok terhadap perladangan terutama karena keterkaitannya dengan kampung halamannya, Desa Candimulyo, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Hampir seluruh lahan pertanian di desa di lereng Gunung Merbabu ini berupa lahan pertanian perladangan.

Setiap hari Totok bertelanjang kaki pergi ke sekolah. ”Kalau saya pakai sandal atau sepatu, pasti kotor. Jalan yang dilalui ke sekolah itu tanah semua, belum ada jalan aspal,” katanya mengenang.

Totok juga masih ingat cerita mistis seputar pegunungan itu. Salah satunya tentang Gunung Merbabu dan kekuatan Mbah Mangli—kiai di lereng Gunung Merbabu—yang dapat berpindah tempat dalam sekejap mata. Mbah Mangli disegani petani dan masyarakat di Kabupaten Magelang. Sosok itu juga populer karena usahanya merintis pendirian Asrama Pendidikan Islam (API) di Desa Tegalrejo, yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia.

”Selain sakti, Mbah Mangli ini perintis API. Jadi, tak hanya kekuatannya yang diingat orang, tetapi juga jasanya dalam meningkatkan pendidikan remaja Muslim,” tutur guru besar Fakultas Pertanian Unsoed sejak 5 April 2008 itu.

”Kemampuan lebih” seperti cerita itu menumbuhkan keyakinan kuat dalam dirinya. Meski berasal dari desa, Totok punya keyakinan kuat mampu menempuh pendidikan setinggi mungkin. Semua pencapaiannya itu pun kembali ditujukan bagi para petani, asal nenek moyangnya.

Dia juga tetap merasa tertantang untuk menemukan varietas padi baru lainnya. Totok tengah menyiapkan satu jenis varietas lagi yang sama sekali baru. ”Padi ini kandungan proteinnya hampir sama dengan yang ada pada kedelai,” ujarnya bersemangat.

BIODATA :

Nama: Totok Agung Dwi Haryanto

Lahir: Lereng Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 23 September 1963

Pendidikan:

- SD Negeri Candimulyo, Magelang, tamat 1975

- SMP Negeri 2 Magelang, tamat 1978/1979

- SMA Negeri 1 Magelang, tamat 1982/1983

- Strata 1 Jurusan Budidaya Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, tamat 1987

- Strata 2 Program Studi Ilmu Tanaman Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, tamat 1994

- Strata 3 Crop Science, Faculty of Agriculture, Kyushu University, Fukuoka, Jepang, tamat 1998

Istri: Nita Triana SH MSi, dosen Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto

Anak:

1. Hafizh Faikar Ramadhan Agung, kelas II SMAN I Purwokerto

2. Nafara’in Haniefan Agung, kelas II SMP Al Irsyad Al Islamiyah Purwokerto

3. Muhamed Basyith Agung, kelas I SD Al Irsyad Al Islamiyah Purwokerto

4. Ahmed Benjamin Agung, kelas I SD Al Irsyad Al Islamiyah Purwokerto

Tempo Interaktif 16-Apr-08: Nista Serumpun Padi (Opini Mufid A Busyairi)

Mufid A. Busyairi

Nista Serumpun Padi
Rabu, 16 April 2008 | 11:44 WIB

Serumpun jiwa suci, hidupnya nista abadi, demikian A.E. Wairata melantunkan penggalan keironisan Serumpun Padi. Dan kita tahu, ia tak jauh beda dengan yang dialami petani. Malu aku menatap wajah saudaraku para petani, kata penyair Taufiq Ismail, hasil cucuran keringat kalian berbulan-berbulan. Bulir-bulir yang indah, kuning keemasan. Dipanen dengan hati-hati penuh kesayangan. Dikumpulkan dan ke dalam karung dimasukkan. Tapi, ketika sampai pada masalah penjualan, kami orang kota yang menetapkan harga.

Politik pangan murah dengan merendahkan harga pembelian pemerintah (HPP) memang menempatkan petani miskin di pedesaan sebagai pihak yang dikorbankan. Asumsi HPP rendah menghasilkan beras murah hari ini semakin tidak terbukti. Harga gabah tetap dramatis, sedangkan harga beras terus melonjak drastis. Badan Pusat Statistik memang melansir harga gabah rata-rata di tingkat petani masih di atas HPP (gabah kering giling Rp 2.624 per kilogram dan gabah kering panen Rp 2.149 per kilogram). Namun, hitungan rata-rata berpotensi mendistorsi realitas mayoritas. Di berbagai media, berita anjloknya harga gabah adalah fakta tak dimungkiri. Sebagian petani di Karawang, misalnya, terpaksa menanggung kerugian lebih besar. Selain gabah yang hanya dihargai Rp 1.400/kg, produksi turun hingga 3-3,5 ton/hektare akibat cuaca buruk dan serangan hama.

Di saat yang sama, harga beras justru naik. Petani sebagai produsen gabah dan juga net consumer beras tentu makin terpukul. Sebelumnya, harga beras domestik juga mengalami kenaikan, yang dipicu oleh tren harga pangan dunia. Selain itu, seperti biasanya, faktor cost of storage (biaya penyimpanan, penjemuran, penggilingan, dan biaya pengolahan) di tingkat tengkulak berkontribusi besar. Belum lagi proses distribusi antarwilayah, yang melibatkan banyak "tangan" di tingkat pedagang perantara. Seperti diketahui, Pulau Jawa menyediakan 55-60 persen dari kebutuhan beras nasional.

Secara teori, harga beras memang tidak otomatis bertransmisi pada harga gabah. Sebaliknya, harga gabah pasti berpengaruh terhadap harga beras. Artinya, jika harga beras mahal, tidak ada jaminan harga gabah naik, tapi jika harga gabah naik, harga beras pasti mengikutinya. Hal ini semakin dikuatkan dengan peta perdagangan beras dalam negeri yang asimetri di mana posisi petani tidak lebih sebagai price taker. Ironisnya, pemerintah masih mempertahankan politik pangan murah dengan merendahkan HPP. Padahal ini justru membuat lega pedagang untuk menaruh harga di bawah HPP karena pemerintah sendiri tidak mampu mengamankan HPP tersebut.

Akhirnya petani harus berjuang sendiri. Tak banyak yang bisa dilakukan. Untuk jangka pendek, sebagaimana saran Kepala Perum Bulog, petani diharapkan menjual gabah dalam bentuk kering giling agar pendapatan mereka lebih baik. Tapi anjuran seperti ini diakui tidak bisa dilaksanakan semua petani karena persoalan cuaca dan kebutuhan yang tak bisa ditawar. Sementara itu, fasilitas umum berupa gudang tak tersedia secara memadai dan merata. Di sisi lain, sebagaimana laporan Kompas edisi 31 Maret, bagi sejumlah petani di Kabupaten Serang, apa yang mau dijemur? Padi mereka telah dijual dengan sistem ijon kepada tengkulak. Kondisi serupa tak jauh beda dengan banyak petani lain.

Berdasarkan penelitian, gabah memang mengalami fase penurunan harga (anjlok) hingga 36 hari setelah masa panen. Dalam rentang waktu tersebut, keluarga petani perlu ditopang anggaran hidup yang memadai. Harapannya melalui usaha diversifikasi pertanian. Disayangkan, akses permodalan masih sulit. Kebijakan perbankan sejauh ini tidak ramah terhadap petani kecil. Meskipun ada program Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3) dari Departemen Pertanian, program itu tidak sampai menyentuh petani miskin. Karena itu, Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat sedang mengkaji terbentuknya Bank Pertanian. Selain itu, sedang dipikirkan adanya jaminan hari tua bagi petani.

Pilihan merendahkan HPP amat paradoks dengan upaya pemerataan kesejahteraan dan penciptaan ketahanan pangan. Pemerintah harus membuat pertanian agar menjadi sumber penghidupan yang menguntungkan petani, antara lain melalui kebijakan harga. HPP saat ini perlu ditingkatkan karena tidak lagi memberikan keuntungan bagi petani. Berkali-kali Komisi IV DPR meminta hal ini. Pemerintah hanya berjanji akan meningkatkan HPP gabah kering panen dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.200. Namun, hingga kini belum ada kejelasan. Yang juga penting, perbaikan harga harus disertai jaminan pembelian dan kuota penyerapan gabah/beras yang lebih besar.

Selama ini, pembelian Bulog dari produksi dalam negeri hanya 10-15 persen. Sisanya, selain di rumah tangga dan industri, juga di tangan pedagang. Bandingkan dengan Thailand, yang bisa menyerap produksi dalam negeri hingga 10 juta ton dari total 26 juta ton produksi beras. Kebijakan demikian menyulitkan para spekulan untuk menekan harga petani. Di Indonesia, pemerintah daerah seharusnya berperan melakukan penyerapan beras petani, seperti Jawa Timur, yang sudah menerapkan kebijakan resi gudang untuk mengamankan gabah petani saat panen raya. Di samping itu, tentu masih banyak persoalan lain yang patut dibenahi, seperti sempitnya penguasaan lahan di tingkat petani, bahkan jumlah petani tak bertanah juga banyak, input produksi yang mahal, dan minimnya akses petani terhadap jalur distribusi beras.

Statistic trap

Beberapa pekan terakhir, sejumlah pejabat di Departemen Pertanian memperkirakan produksi beras nasional mengalami surplus. Wacana ekspor pun digulirkan beberapa kalangan. Terhadap hal tersebut, patut diingatkan. Pertama, paradigma yang harus dimiliki pemerintah dalam kondisi saat ini adalah pangan untuk rakyat, bukan pangan untuk ekspor. Pasar beras internasional semakin tipis akibat kebijakan domestik negara produsen untuk membatasi ekspor. Belum lagi persoalan harga.

Kedua, kebenaran statistik ini perlu dikaji. Jika data keliru dijadikan pijakan, output-nya tentu menyengsarakan. Kita mendengar sendiri, tiap tahun produksi beras dilaporkan meningkat, bahkan surplus, tapi, nyatanya, tiap tahun pula impor beras dilakukan. Misalnya, pada 2004 dan 2005 BPS melansir kita surplus beras 459.000 ton dan 49.000 ton. Anehnya, pada tahun yang sama, kita mengimpor (resmi) 632 ribu ton dan 304 ribu ton. Sebuah riset Erwidodo dan Ning Pribadi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian menyimpulkan, selama 1999-2005, produksi beras nasional sebenarnya defisit mutlak. Bahkan diperkirakan pada rentang 2001-2004 kita mengimpor beras 2,5 juta ton per tahun. Ternyata perhitungan surplus belum memasukkan permintaan antara (intermediate demand), seperti permintaan beras industri makanan, hotel, dan restoran.

Hal di atas merupakan sebuah peringatan karena, berdasarkan pengalaman, kita biasa terjebak oleh angka-angka. Pemerintah memang telah mencanangkan Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) serta Gerakan Penanganan Pascapanen dan Pemasaran Gabah/Beras (GP4GB), yang mentargetkan penurunan angka losses dari 20,5 menjadi 18 persen, yang diharapkan bisa meningkatkan produksi. Namun, sejauh ini belum ada keterangan resmi terkait dengan pencapaian program tersebut. Di sisi lain, bencana, seperti banjir, yang menyebabkan gagal panen, tentu perlu diperhitungkan. Ketidakpastian cuaca saat ini patut menjadi bahan pertimbangan. Ini juga telah diprediksi negara-negara produsen beras lain.

Ketiga, disparitas harga beras domestik dan internasional rawan memicu terjadinya ekspor beras ilegal. Apalagi, dalam keadaan panen, daya serap beras pemerintah minim, kontrol daerah perbatasan/lalu lintas perairan juga kurang, serta kultur aparat di lapangan yang belum sepenuhnya bersih. Kasus ekspor gelap yang terungkap bisa saja hanya sebagian kecil. Sebelumnya, dalam urusan impor beras ilegal, kita pun tak kalah suram track record-nya. Jika perkiraan surplus meleset, celaka bukan? Sebab, harga beras dunia, yang mencapai US$ 800 per ton, jelas sangat membebani anggaran.

Sudah para rente, spekulan, dan pedagang mempermainkan harga gabah, e... ditambah lagi dengan sikap pemerintah yang tak berpihak kepada petani. HPP yang sengaja direndahkan itu tak mampu pula dilaksanakan. Politik pangan kita sejak Orde Baru hingga kini lebih berorientasi pada peningkatan produksi ketimbang kesejahteraan petani. Padahal di negeri ini tidak kurang 25,4 juta rumah tangga petani atau lebih dari separuh dari jumlah penduduk terlibat dalam produksi padi. Serbuan beras murah menghancurkan harga gabah. Namun, saat harga beras melonjak, nasib tani pun tak berubah. Tanpa keberpihakan pemerintah, Serumpun padi, mengandung janji, harapan ibu pertiwi hanya menjadi lagu nostalgia. Dan seperti puisi Taufiq, aku malu mengatakan ini adalah bentuk penindasan.

Mufid A. Busyairi, anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Kebangkitan Bangsa

sumber foto: google

Tuesday, April 15, 2008

Kompas 16-Apr-08: Mulai Pakai Rawit Merah Oplosan

Mulai Pakai Rawit Merah Oplosan
Siasat Pengusaha Makanan supaya Bisa Bertahan
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN / Kompas Images
Pedagang membersihkan kotoran yang tercampur di tumpukan cabai rawit yang dijual di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Selasa (15/4). Harga cabai rawit hijau Rp 8.000-Rp 9.000 per kg, sedangkan cabai rawit merah terus naik hingga mencapai Rp 35.000 hingga Rp 40.000 per kg.
Rabu, 16 April 2008 | 02:24 WIB

Jakarta, Kompas - Pelaku usaha makanan mulai menggunakan cabai rawit merah oplosan, menyusul kenaikan harga sayuran itu yang mencapai Rp 40.000 per kilogram. Sejak dua pekan terakhir, pedagang makanan dari kaki lima hingga restoran mencampur cabai rawit hijau sebagai pengganti sebagian cabai rawit merah dalam masakan.

”Kalau tidak mengoplos dengan cabai rawit hijau, saya bisa merugi banyak,” kata Sakijan, pemilik bakmi Kondang yang tinggal di Petukangan Utara, Jakarta Selatan.

Dalam sehari, Sakijan yang memiliki 100 pedagang keliling dan 10 warung bakmi ini menggunakan cabai rawit merah 15-20 kg untuk sambal sebagai pelengkap dagangannya.

Cabai itu untuk melengkapi dagangannya yang dalam sehari menghabiskan 500-600 kg mi mentah.

Seperti diberitakan, harga cabai rawit merah mencapai Rp 35.000-Rp 40.000 per kg. Naiknya harga bahan kebutuhan pokok ini menyusul pasokan dari daerah produsen yang seret akibat faktor cuaca.

Menghemat

Sakijan mengatakan, tingginya harga cabai rawit merah mengakibatkan dia harus mengeluarkan anggaran Rp 800.000 per hari. Namun, dia tidak berani mengambil risiko itu.

Dia akhirnya memilih mencampur cabai rawit merah dan rawit hijau yang harganya lebih murah, yakni Rp 8.000-Rp 9.000 per kg. Dari kebutuhannya, dia menggunakan cabai rawit merah 10-15 kg dan sisanya rawit hijau 5-10 kg per hari.

”Paling tidak saya bisa menghemat uang belanja Rp 250.000- Rp 350.000 per hari,” kata Sakijan.

Menggunakan cabai oplosan juga dilakukan pedagang kaki lima, seperti Pak Kumis, pedagang mi bakso di Rumah Sakit Haji Pondok Gede, Jakarta Timur.

”Kalau tidak pakai cabai oplosan, saya mau dapat untung apa? Modal bisa habis dan yang ada malah saya jadi bangkrut,” kata Pak Kumis.

Dari kebutuhan 5 kg cabai rawit untuk sambal pelengkap dagangannya, Pak Kumis menggunakan separuh atau 2,5 kg cabai rawit hijau.

Makanan khusus

Lain lagi yang dilakukan Sofie Eman, pemilik Restoran Beautika, masakan Manado. Untuk beberapa jenis makanan, seperti sambal dabu-dabu dan sayur-sayuran, dia berani menggunakan oplosan cabai rawit merah dan hijau.

Akan tetapi, khusus masakan tertentu, seperti ayam, sapi, dan ikan rica-rica, Sofie tetap mempertahankan memakai cabai rawit merah sebagai bumbu utama.

”Meski harga mahal, saya tetap menggunakan cabai rawit merah. Saya tetap menjaga standar masakan lauk ini dengan tidak mengurangi porsi cabai rawit merah,” kata Sofie.

Baik Sakijan, Sofie, maupun Pak Kumis mengakui, pengurangan cabai rawit merah dan diganti cabai rawit hijau memengaruhi warna dan rasa dari makanan dan sambal.

”Rasa pedas sambal memang berkurang. Juga warna yang seharusnya merah menjadi kurang merah lagi,” kata Sakijan. Untuk membuat sambal tetap merah, dia menambah jumlah tomat dalam campuran sambal.

Belum naik

Kendati sejumlah kebutuhan pokok terus naik, hingga kini pelaku usaha masih tetap mempertahankan harga jual dagangan mereka. Mereka belum berani menaikkan harga makanan karena daya beli masyarakat tergolong rendah.

Pelaku usaha juga tak mau mengurangi jumlah porsi makanan yang dijual, menyusul kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok.”Kalau mau menaikkan harga jual makanan, siapa yang mau beli?” ujar Sakijan.

Akan tetapi, Sofie menambahkan, bila sampai akhir April harga bahan kebutuhan pokok naik terus, mau tidak mau dia harus menaikkan harga makanan.

Sebagai pedagang makanan yang membutuhkan cabai, kata dia, mereka harus bisa menyiasati ketika harga cabai mahal. (PIN)

Friday, April 11, 2008

Kompas 11-Apr-08: Berguru Hidup pada Gumuk Pasir (Kisah Katimin)

Berguru Hidup pada Gumuk Pasir
KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Sukarman
Jumat, 11 April 2008 | 00:38 WIB

Ladang itu awalnya padang pasir kering kerontang. Warnanya hitam mengilat, melepuhkan kaki di siang hari yang terik. Jaraknya sekitar 50 meter dari laut, di selatan Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kulon Progo, Yogyakarta. Suasananya sunyi yang mati. Kehidupan seperti raib.

Di gundukan pasir—istilah setempat gumuk pasir—itulah Sukarman muda yang resah membuang gundah. Sudah tiga tahun sejak menyelesaikan studinya pada Program D-3 Akademi Perindustrian Yogyakarta, dia belum juga mendapat pekerjaan. Sudah dicobanya merantau ke Jakarta, Bandung, hingga Palembang, tetapi hasilnya nol besar.

Suatu pagi pada pertengahan 1985, gerimis menemaninya duduk di atas gumuk pasir. Dalam suasana hati yang lelah dan hampir patah, pandangannya seperti disedot tiga batang tanaman cabai merah yang tumbuh di atas seonggok kotoran sapi kering di pasir. Tak luar biasa, sebenarnya. Tetapi, entah mengapa, pemandangan itu mulai mengusik benaknya.

”Mungkin ada orang yang tidak sengaja membuang cabai di situ,” pikir Sukarman.

Ketika pandangannya mengitari hamparan luas di depannya, Sukarman mulai mengamati beberapa jenis tanaman yang hidup di antara tumbuhan perdu. Ada semangka, ubi, dan lain-lain.

Ia terkesima. Sunyi tak lagi mati, tetapi menjanjikan kehidupan baru. Pagi itu ia menangkap pesan: alam bekerja dengan cara ajaib, dalam situasi yang paling mustahil untuk menyodori kehidupan.

”Kenapa saya tidak mencobanya?” kehendak itu memenuhi batinnya, ”Jika dirawat pasti cabai itu akan tumbuh subur. Kenapa tidak mencoba menanam cabai di lahan pasir? Andai bisa, kehidupan pasti berubah.”

Sukarman mulai menanam cabai di atas lahan pasir seluas 200 meter persegi. Tetangganya, para petani sepuh, mencibir. Bahkan, ayahnya meragukan apa yang dilakukan anak sulungnya yang masih lontang-lantung pada usia 27 tahun itu. Sukarman dianggap ngaya wara atau mengada-ada.

Namun, Sukarman bersikeras. Usaha menanam cabai di atas pasir hitam itu lantas menjadi seperti pertaruhan keyakinannya akan perubahan. Upaya itu tak mudah. Tingginya penguapan di lahan pasir yang panas membuat ia harus terus-terusan menyiram tanaman cabainya. Padahal, sumber air tawar berada jauh di desa.

Sekali lagi, alam menjawabnya. Namun, hanya mereka yang tahu bagaimana alam bekerja mampu menangkap jawaban itu. Sukarman mulai menggali. Ia yakin lahan pasir itu pasti mendapat pasokan air dari resapan Kali Progo dan Kali Bogowonto yang mengapit kawasan itu. Pada kedalaman kurang dari 3 meter, air tawar yang bersih, keluar, melimpah ruah.

Ia lalu mengalirkan air itu dalam bak-bak yang dibangun sejajar sepanjang tanaman cabainya dengan pipa bambu. Sistem ini merupakan cikal bakal bagi apa yang kemudian disebut ”sumur renteng”. Masalah kebutuhan air pun selesai.

Selang tiga bulan, kerja kerasnya menampakkan hasil. Panen pertama menghasilkan 17 kilogram cabai.

Mengubah hidup

Panen itu tak hanya mengubah hidup Sukarman, tetapi juga hidup belasan ribu petani di sepanjang pantai Kulon Progo. Petani-petani lain di desanya, yang kebanyakan hanya penggarap, mulai yakin bahwa pasir itu menyimpan berkah kehidupan.

Mereka mulai berbondong ke gumuk pasir, lahan telantar dengan status kepemilikan yang terbagi tiga, yakni tanah milik bersertifikat, tanah desa, dan tanah milik dinasti Pakualam (Pakualam Ground).

”Patok ini dulunya di sana,” ia menunjuk patok batas wilayah Pakualam Ground, yang katanya bergeser memasuki wilayah garapan warga.

Kini, di atas hamparan pasir yang luas itu—mulai dari Bugel hingga Glagah—aneka jenis tanaman tumbuh subur. Cabai, semangka, jeruk, sawi, terung, kentang, bahkan padi. Sistem sumur renteng berkembang dipadukan dengan genset dan selang plastik.

Warga menemukan kehidupannya di sini. Tak ada pengangguran. Nenek tua pun masih bisa mendapatkan penghidupan dari lahan itu.

”Tanaman kentang seperti ini,” Sukarman menunjuk sepetak lahan yang digarap Mbah Wiji, perempuan sepuh yang sudah bongkok, ”Tumbuh tanpa perawatan yang berarti, tapi panennya tiap tiga bulan. Cukup untuk hidup Mbah Wiji.”

Desa yang semula termiskin di Kulon Progo bermetamorfosa menjadi desa penuh harapan. Para pemuda yang merantau menjadi buruh migran berbondong pulang kampung, menjadi petani. Mereka menepuk dada dan berkata bangga, ”Saya petani!”

Sekarang tak ada lagi rumah gubuk di sini. Setiap rumah tangga memiliki kendaraan bermotor yang mempermudah aktivitas pertanian mereka.

Laboratorium hidup

Kegigihan petani Kulon Progo yang mampu menyulap gumuk pasir menjadi ladang pertanian yang subur itu mendapat apresiasi kalangan akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Pertanian gumuk pasir itu menjadi seperti laboratorium hidup dari berbagai penelitian mereka.

Wilayah itu merupakan daerah pertanian terpadu. Peternakan menghasilkan terutama pupuk kandang, yang digunakan pada lebih 90 persen pemupukan.

”Para petani menemukan teknik yang luar biasa. Kami sering mengirim mahasiswa ke sana untuk belajar dari mereka,” ujar Dr Ir Dja’far Shiddieq MSc, dosen pada Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM.

Dja’far juga mengundang Sukarman ke kampus untuk mengajari ilmu bertani yang riil pada mahasiswa. Sukarman pun sesekali ke kampus, mengajar mahasiswa.

Usia Sukarman kini 50 tahun. Ia menggarap lahan seluas 8.000 meter persegi, 3.000 meter persegi di antaranya untuk pembibitan. ”Waktu tahun 1998, saya panen dari penjualan bibit, sampai bisa beli mobil,” ia menunjuk mobil Suzuki Carry yang bertengger di samping rumah.

Meski dikenal sebagai petani yang lumayan berhasil—ia juga punya tujuh sapi dan dua sepeda motor—hidup Sukarman tetap bersahaja. Setiap hari ia ke ladang, mencangkul, menyiangi, menyirami tanamannya. Namun, yang membuatnya bangga adalah anak sulungnya yang kini kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta.

Sayangnya, ketenangan hidup Sukarman beserta belasan ribu warga kini terusik. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan Pemerintah Provinsi DIY kabarnya akan menggusur mereka. Ibu Bumi yang menghidupi itu akan dihancurkan oleh pertambangan pasir besi atas nama ”devisa” dan ”pendapatan asli daerah”.

Setiap hari pembicaraan warga hanya berkisar pada, ”Apa benar izinnya sudah keluar,” seperti yang juga ditanyakan Sukarman.

Entah, apakah nantinya wilayah ini akan segera menyusul banyak wilayah lain di Indonesia yang harus mendulang akibat dari industri ekstraksi: kegiatan ”pembangunan” yang memangsa rakyat sendiri. Sungguh ironis!

(Ahmad Arif/ Maria Hartiningsih/ Sri Hartati Samhadi)