Monday, February 25, 2008

Tani Merdeka, Jan-Feb 2008: Sertani I - Padi Lokal Tahan Kering

Info Tani: Sertani I


Posted on Tuesday, 12 February 2008, 07:20 WIB oleh: kemal

Padi Lokal Tahan Kering

Galur unggul lokal Sertani 1 tahan kering serta punya daya tahan tubuh yang kuat. Hasilnya lebih tinggi dari padi hibrida impor

Hati Winarto kini sedang berbunga-bunga. Pasalnya, pada panen akhir tahun lalu -- dari lahan miliknya seluas satu hektar -- petani asal Desa Nambah Dadi, Kecamatan Terbanggi, Lampung Tengah itu, bisa memetik keuntungan mencapai Rp7 juta. Hasil itu, tentu saja, membuat Winarno merasa heran, karena diperoleh dari kondisi lahan kering..

Desa Nambah Dadi, menurut Winarto, kondisi tanahnya memang kering. Sebelumnya, untuk jenis padi Ciherang di lahan seperti ini menghasilkan paling banyak 5 ton/ hektar. Tapi, menjelang bulan puasa tahun lalu – di saat hari sedang panas-panasnya – Winarto menanam padi jenis yang tidak banyak membutuhkan air, dan hasilnya 10 ton/hektar.

Atas keberhasilan panennya kali ini, Winarto tak bakal melupakan jasa Surono Danu, penangkar galur lokal Sertani 1, jenis padi yang dia tanam itu. Sertani adalah akronim Serikat Tani Indonesia, nama sebuah kelompok tani di Lampung, dan Surono yang disebut oleh Winarto itu termasuk salah seorang anggota pengurusnya.

“Waktu itu Pak Surono menawarkan untuk mencoba menanam benih Sertani 1, tanpa ragu saya langsung menyanggupinya,” tutur Winarto. Karena ditanam di lahan kering, maka cara menanamnya pun berbeda dengan menaman padi di lahan berair atau sawah. Caranya, lahan lebih dulu dilobangi dengan sebatang kayu yang salah satu ujungnya agak diruncingkan, atau dikenal dengan istilah menugal. Benih padi dimasukkan ke dalam lobang tersebut, kemudian ditutup tanah.

Rupanya, cerita Wiunartp, benih yang diberikan Pak Surono itu memang bukan jenis yang butuh banyak air. Meski minim air, namun bulir setiap malai (tangkai) padi tersebut bisa menghasilkan 500-600 bulir berbentuk lonjong. Dan, dalam tempo 105 hari sejak tanam, Winarto sudah bisa melihat hasilnya, ya itu tadi.

Pengalaman Tamis lain lagi. Kepala Desa Kebun Damar II, Mataram Baru, Lampung Timur, itu terpesona dengan Sertani 1 karena daya tahannya terhadap serangan hama dan penyakit. Saat tikus sawah menyerang di desanya, banyak batang padi yang rusak. Namun tak lama kemudian, batang padi tersebut mampu tumbuh lagi dengan anakan yang jauh lebih banyak. “Begitu pula dengan hama wereng dan keong emas, meski sudah dimakan, pasti akan tumbuh lagi,” imbuh anggota basis Sertani Sukamaju itu.

Bukan hanya itu, benih padi yang mengapung setelah semai (bila disemai di tanah berair), ternyata masih bisa ditanam lagi dan menghasilkan pula tangkai dan bulir padi yang lumayan banyak. “Bila sudah dipanen, maka pangkal padi tidak usah dicabut, tapi tinggal kasih pupuk saja, panen pun masih bisa diraih. Jadi, dalam sekali tanam bisa panen tiga kali,” begitu kata Tamis mengungkapkan berbagai kelebihan Sertani I ini

Adalah Surono yang menciptakan jenis padi Sertani I ini. Ia mengawinkan jenis padi unggulan lokal yang indukannya asli Lampung, tapi memiliki karakter padi liar. Yakni antara Dayang Rindu (pejantan) dengan Si Rendah Sekam Kuning dan Si Rendah Sekam Putih (betina). Tetua padi lokal ini memiliki umur panen sampai 150 hari. Tapi, “Saya hanya memendekan umurnya menjadi 105 hari dan maksimal 110 hari,” ujar Surono. Sedangkan sifat liar dan tahan penyakitnya tetap dipertahankan.

Benih Sertani 1 itu kemudian disebarkan kepada segenap anggota Sertani, dan sudah ditanam di 170 ribu hektar sawah di Lampung. Untuk tanah yang cukup bagus, hasilnya bisa mencapai 16 ton per hektar lebih. Padi ini juga ditanam di lahan milik Komunitas Tumbuh Bersama di Desa Suykajadi, Cariu, Jawa Barat. Dan, pada saat panen raya, belum lama ini, hasil yang diperoleh mencapai 12 ton per hektar.

Mindo Sianipar selaku ketua Komunitas Tumbuh Bersama menyatakan, apa yang dilakukan Surono itu adalah langkah inovasi bidang pertanian yang sudah selayaknya dihargai. “Saat ini pemerintah gencar melakukan impor benih padi hibrida dari Cina, padahal kita punya tenaga penangkar padi kelas internasional,” ungkap Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI bidang pertanian ini.

Mindo lalu membandingkan benih hibrida impor dengan Sertani I. Benih hibrida impor hanya mampu menghasilkan paling banyak 6 ton per hektar, belum lagi penyakit yang dibawanya. Sedangkan Sertani 1, selain produktivitasnya tinggi juga tahan hama dan penyakit. “Karena itu kita harus tolak benih impor, dan kita coba galakkan para petani lokal,” ujar Mindo bersemangat.

Komentar senada juga datang dari Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir. Dia mengaku baru melihat ada padi lokal dengan keunggulan seperti Sertani 1. ”Ini sudah revolusi pertanian,” kata Winarno.

Meski telah terbukti hasilnya, namun Surono enggan mempatenkan temuannya ini. Karena itu, dia menamakan benih temuannya ini dengan sebutan galur. Sedangkan kalau sudah dipatenkan, dinanamakan varietas. “Petani tidak butuh paten, tapi yang penting hasil dari usaha pertanian yang dijalankan,” kata Surono memberi alasan. Benar juga.

Protes Terhadap Benih Impor

Menjadi penangkar padi adalah pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan ketekunan ekstra. Surono Danu, sang penangkar Sertani1, membuktikan hal itu. Dia sudah bangun sejak pukul 02.00 dini hari untuk mengawasi bulir padi, dan membuka serbuk sarinya. Menjelang pukul 04.00, serbuk sari yang sudah terbuka itu kemudian dikawinkan. Alat pembuka serbuk sari hanyalah pinset. “Hanya itu alat yang saya gunakan,” kata Surono. Ini adalah proses yang terbilang rumit, karena padi tidak boleh rusak. Kemudian sisa dari bulir padi yang tidak dikawinkan, harus dibuang.

Lalu, padi yang sudah dikawinkan itu ditutup plastik, dan diberi lubang untuk sirkulasi udara. Nah, pukul 06.30 adalah saat tanaman padi kawin. “Saya harus bangun lebih pagi, agar tidak keduluan proses perkawinan padi secara alami,” kata ayah lima anak ini.

Setiap saat, Surono harus terus memantau setiap bulir padi yang telah dikawinkan, untuk melihat tingkat keberhasilan proses perkawinan. Banyaknya bulir padi yang dikawinkan, tergantung kecepatan sang penangkar. Dalam sehari bisa 10-20 bulir padi yang dikawinkan. Namun, kata Surono, dalam 10 ribu bulir yang berhasil paling hanya satu.

Langkah selanjutnya, padi hasil perkawinan itu diujicoba secara terus menerus, sehingga menghasilkan galur padi yang diinginkan. Jangan membayangkan Surono bekerja dalam sebuah laboratorium dengan fasilitas lengkap. Dia bahkan mengaku tidak punya lahan secuil pun untuk ujicoba.

Menurut cerita Surono, semua ujicoba padi dilakukan dalam pot di halaman rumahnya di Bandar Lampung, dan alat yang digunakan hanya pinset. Tidak heran bila usaha menghasilkan galur unggul lokal dari Sertani 1 hingga Sertani 16 memakain waktu sampai 22 tahun.

Selain Sertani I, Surono juga melakukan usaha persilangan padi galur Bancul 2, namun mengalami berbagai hambatan. Galur unggul lokal ini memiliki keunggulan, yakni tahan banjir. “Inilah padi masa depan,” kata Wakil Ketua Komisi IV yang membidangi masalah pertanian Mindo Sianipar.

Soalnya, menurut Mindo, dalam iklim yang tidak menentu seperti sekarang ini, di mana banjir dan kekeringan datang silih berganti, maka dibutuhkan jenis padi yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim tersebut. Dalam situasi demikian, benih padi seperti Bancul 2 yang bisa dipanen dalam tempo 95-100 hari sangat dibutuhkan.

Bagi Surono, usahanya mengawinkan galur-galur unggul lokal tidak lebih dari semacam “protes” kepada pemerintah yang getol mendatangkan benih padi hibrida impor. Padahal di dalam negeri, menurut Surono, usaha itu bisa dilakukan bahkan dengan cara yang sederhana. “Tapi saya tetap belum puas, selama petani kita belum sejahtera hidupnya,” ujar lelaki berpenampilan sederhana ini sambil menerawang. Cita-cita yang luhur. (Imam Firdaus)

foto : Mustafa Kemal

No comments: