Monday, February 18, 2008

Kompas 18-Feb-08: Endi, Optimisme Petambak Udang

Endi, Optimisme Petambak Udang
KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN / Kompas Images
H Endi
Senin, 18 Februari 2008 | 01:22 WIB

Mukhamad Kurniawan

Era keemasan komoditas udang windu Indonesia bisa dikatakan meredup sejak satu dasawarsa terakhir. Petambak udang H Endi (49) ingin membalikkan anggapan itu. Ia bekerja keras memacu produksi. Dia optimistis udang windu akan kembali menjadi ”raja” udang ekspor Indonesia seperti pada era 1980 hingga 1990-an.

Petak-petak tambak di lahan seluas 1 hektar milik Endi, yang kerap disapa Pak Haji, di Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, awal Februari 2008, dikunjungi rombongan dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan. Ketika itu Endi dan beberapa pekerja sedang panen perdana di tambaknya yang beririgasi tertutup dan dipadu dengan penggunaan probiotik lokal.

Dari 1 hektar tambaknya, Endi bisa memanen 10 ton udang windu. Hasil itu terbilang cukup besar jika dibandingkan dengan produktivitas sebagian besar tambak di pesisir utara Jabar yang maksimal 4 ton sampai 5 ton per hektar.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan Made L Nurjana menyebut angka produksi itu luar biasa. ”Ini merupakan momen kebangkitan kedua udang windu Indonesia. Jika seluruh petambak meniru semangat Pak Haji, komoditas ini pasti akan berjaya lagi,” tutur Made.

Jatuh bangun

Keberhasilan Endi sebagai petambak udang tidak diraih dalam waktu singkat. Selepas lulus dari Akademi Usaha Perikanan atau kini Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta, tahun 1983, Endi sempat mengajar di Sekolah Usaha Perikanan Menengah di Manado, Sulawesi Utara, karena ikatan kedinasan.

Akan tetapi, profesinya sebagai guru hanya bertahan empat bulan. Endi tak betah. Ia kemudian kembali ke kampungnya di Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok, Karawang. Di sini dia bekerja di tambak milik investor Taiwan. Namun, itu pun hanya berlangsung enam bulan. Ia kembali mengajar di madrasah dan sekolah menengah setempat.

Setelah mempersunting Heni Rohaeni tahun 1986, Endi merantau ke Belitung untuk mencari penghasilan yang lebih baik. ”Gaji guru ketika itu kurang memadai, apalagi untuk saya yang sudah berkeluarga,” ujarnya.

Ia diterima bekerja di tambak di daerah itu. Setelah dua tahun bekerja, Endi kembali lagi ke Karawang untuk mengelola tambak secara mandiri. Dengan berwirausaha, ia yakin akan lebih bebas mengatur dan mengendalikan keuangannya secara mandiri.

Pengalaman bekerja di beberapa petambak bermodal besar membuat Endi berani mengelola tambak. Tahun 1990 dia membeli tambak seluas 5 hektar di daerah Cikiong, Karawang.

”Pada awal-awal punya tambak sendiri, harga jual udang jatuh hingga Rp 6.500 per kilogram. Padahal ongkos produksinya mencapai Rp 9.500 per kilogram,” ucapnya.

Endi ikut merasakan masa-masa sulit ketika petambak terus-menerus rugi karena kualitas perairan memburuk, serangan virus, serta pencemaran. Tetapi, Endi sempat juga merasakan nikmatnya usaha tersebut ketika udang menjadi primadona komoditas ekspor Indonesia.

Setelah tahun 1996, satu per satu pembudidaya meninggalkan tambak. Sebagian ada yang bertahan dengan sisa-sisa keberanian dan modal yang dimiliki. Endi adalah satu dari sekian petambak yang bertahan. Membudidaya udang atau bandeng tanpa pakan menjadi salah satu pilihan pada saat sulit.

Probiotik lokal

Endi tekun mengatasi permasalahan. Ia berkonsultasi dengan peneliti untuk mengatasi serangan virus white spot, atau kualitas air yang berangsur menurun. Sadar akan keterbatasannya, dia secara rutin meminta tolong peneliti di Unit Pembenihan Budidaya Air Payau (UPBAP) serta Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau, dan Udang (BP BPLAPU) untuk meneliti kualitas air, endapan dasar tambak, serta udangnya.

Kebetulan lokasi UPBAP dan BP BPLAPU yang berada di Desa Pusakajaya Utara, Kecamatan Cilebar, Karawang, hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari tambaknya. Akhir tahun 2006 Endi mencoba teknologi irigasi sistem tertutup yang masih jarang digunakan petambak. Ia yakin cara itu mampu mengobati penyakit udang karena fluktuasi suhu, kadar keasaman, serta kualitas air laut.

Dengan sistem itu, tingkat keasaman (pH), kadar garam (salinitas), hingga populasi bakteri merugikan di dalam air bisa dikendalikan. Salah satunya adalah dengan penggunaan probiotik. Bakteri yang terkandung memiliki beragam kegunaan sesuai dengan jenisnya.

Suatu saat ia menantang kawannya, seorang ahli bioteknologi lulusan Institut Teknologi Bandung, untuk menyelesaikan masalah itu. Endi yakin jenis bakteri yang berkembang di tambaknya tidak seluruhnya merugikan. Ia meminta air, tanah, dan endapan untuk diteliti. Hasilnya, sang peneliti menemukan beberapa bakteri menguntungkan.

”Saya yakin probiotik berupa bakteri asli daerah sinilah yang cocok dikembangkan karena karakter tambak satu dan lainnya berbeda,” kata Endi.

Penggunaan probiotik lokal dalam tambak beririgasi sistem tertutup miliknya terbukti melipatgandakan produksi udang windu. Dengan probiotik lokal, dari satu petak lahan seluas 2.000 meter persegi dan tebaran bibit sebanyak 60.000 ekor, Endi bisa memanen 2 ton udang windu atau 10 ton per hektar. Padahal, dengan jumlah tebaran yang sama, dia biasanya hanya memanen 0,8-1 ton per petak atau 4-5 ton per hektar.

Dengan periode budidaya 110-120 hari, ukuran udang windu produksi Endi juga lebih besar. Sebelumnya, ukuran udang rata-rata 30-an ekor per kg. Dengan probiotik itu, ia bisa memanen udang hingga ukuran yang bisa diterima pasar luar negeri, yaitu 20-an ekor per kg.

Probiotik berfungsi menyeimbangkan jumlah mikroorganisme di perairan, mengurangi residu sisa pakan, membantu daya tahan udang, serta memacu pertumbuhan. Menurut Endi, selain membuat udang sehat, cepat besar, dan tahan terhadap penyakit, probiotik yang dia gunakan juga mempercepat proses pemurnian air secara bakterial. Karena itulah ia tidak lagi mengosongkan sementara sebagian petak tambaknya sebelum digunakan lagi.

”Bakteri membantu proses penguraian serta pemurnian air. Kini 11 petak tambak bisa saya gunakan sekaligus dan satu petak lain untuk tandon filter. Dulu, saya harus mengosongkan enam petak selama dua bulan ketika menggunakan enam petak lainnya,” ujar Endi.

Kini, hasil panen udangnya melimpah dengan ukuran yang diterima pasar luar negeri, yaitu 20 ekor per kg. Namun Endi belum puas. Udang di satu dari 11 petak dibiarkannya tetap hidup meski usianya telah lebih dari 120 hari.

”Saya tertantang ketika diminta memproduksi udang ukuran belasan ekor per kilogram. Satu petak ini sengaja tidak saya panen untuk uji coba,” ujarnya.

”Selalu ada jalan untuk setiap masalah. Kembalikan kejayaan udang windu Indonesia, saya yakin bisa…,” katanya optimistis.



http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.18.01223071
&channel=2&mn=13&idx=13

No comments: