Wednesday, February 20, 2008

Kompas 21-Feb-08: Keadilan untuk Petani (Opini Toto Subandriyo, HKTI Tegal)

Keadilan untuk Petani
Kamis, 21 Februari 2008 | 02:36 WIB

Toto Subandriyo

Di negeri ini semua berubah, kecuali politik pangan. Meski pemerintahan silih berganti, pembangunan sektor pangan dan pertanian selalu menjadi subordinasi sektor ekonomi lainnya. Keberadaannya tak lebih sebagai pemadam kebakaran untuk mengamankan variabel makro, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan dagang.

Tesis Prof Mubyarto benar. Dinyatakan telah terjadi conflict of interest antara konsumen yang menginginkan harga pangan murah, sementara petani sebagai produsen mengharap harga yang wajar. Untuk mengamankan variabel makro, pemerintah cenderung prokonsumen dengan kebijakan politik pangan murah.

Akibatnya, secara struktural kehidupan petani terpinggirkan. Sektor pertanian hanya penting dan sensitif secara ekonomi dan politik, tetapi amat inferior dari segi sosial. Petani menjadi komoditas politik dan teman sementara menjelang kontrak politik pemilihan umum, setelah itu ditinggal dalam kemiskinan.

Simak data penduduk miskin di negeri ini yang hingga Maret 2007 mencapai 37,17 juta orang (16,58 persen). Dari jumlah itu, sekitar 68,55 persen merupakan penduduk pedesaan yang sebagian besar berprofesi sebagai petani (BPS, 2007).

Selama bertahun-tahun petani diperlakukan amat tidak adil. Berkali-kali harga BBM dinaikkan, mendorong kenaikan harga kebutuhan pokok, termasuk sarana produksi pertanian, seperti pupuk, obat-obatan, dan benih. Ironisnya, agar angka inflasi aman, harga produk hasil panen petani selalu ditekan dengan berbagai instrumen.

Di mana letak keadilan jika petani harus membeli benih jagung/padi hibrida Rp 30.000-Rp 40.000 per kilogram, tetapi saat hasil panen dijual hanya dihargai Rp 2.000 per kg, tak lebih dari dua batang rokok atau kurang dari 2 kg pupuk urea.

Ketidakadilan kian menganga jika dilihat dalam tataran kebijakan makro. Di mana letak keadilan jika uang Rp 45 triliun per tahun hanya dinikmati segelintir konglomerat untuk subsidi bunga/dana rekapitulasi perbankan (BLBI). Sementara uang Rp 6 triliun yang dinikmati 25 juta keluarga petani dalam bentuk subsidi pupuk pembahasannya selalu terjadi tarik ulur.

Harus diakhiri

Bagaimanapun, ketidakadilan seperti ini harus segera diakhiri. Politik pangan murah yang memarjinalkan petani sepantasnya ditinjau kembali. Untuk keperluan itu, lima prinsip manajemen pangan dari Leon Mears perlu diterapkan kembali.

Pertama, pemerintah harus menetapkan harga dasar (floor price) berbagai produk pangan utama, seperti gabah/beras, jagung, kedelai, serta gula. Hal ini dimaksudkan agar petani memperoleh insentif memadai dari kegiatan usaha tani sehingga tetap bergairah menanam dan meningkatkan produksi. Terkait gabah/beras, pemerintah perlu menerapkan kembali kebijakan beras untuk PNS/TNI/Polri. Kebijakan captive market ini dilakukan dengan pembelian sebanyak mungkin panenan petani minimal sesuai harga dasar. Melalui cara ini, turbulensi harga gabah/beras dapat dihindari.

Kedua, perlu ditetapkan harga maksimum (ceiling price) untuk melindungi konsumen dari kenaikan harga yang tak terkendali. Bagaimanapun, kenaikan harga bahan pangan amat potensial menaikkan jumlah penduduk miskin karena pengeluaran untuk pangan ini menempati porsi paling besar bagi keluarga kurang mampu. Cara yang dapat ditempuh antara lain dengan memberi subsidi pangan bagi penduduk miskin, misalnya melalui raskin, subsidi minyak goreng, atau padat karya (cash for work).

Ketiga, selisih harga dasar dan harga maksimum perlu dibuat longgar guna merangsang aktivitas perdagangan oleh swasta.

Keempat, adanya relasi harga antardaerah dan isolasi harga terhadap pasar dunia dengan fluktuasi yang lebar.

Kelima, pemerintah harus memperkuat stok penyangga (buffer stock) guna stabilisasi harga.

Menurut Peter Timmer, seorang ahli ekonomi pertanian Indonesia asal Amerika Serikat, masalah ketahanan pangan merupakan conditio sinequa non bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang mampu mempertahankan proses pertumbuhan ekonomi secara cepat dan berkelanjutan jika ketahanan pangan negara itu rapuh.

Ketahanan pangan yang kuat harus dibangun di atas fondasi yang kuat, berupa politik pangan yang menjunjung tinggi rasa keadilan, dan bukan mengorbankan petani untuk kepentingan politik jangka pendek.

Toto Subandriyo Wakil Ketua HKTI Kabupaten Tegal, Jateng

No comments: