Tuesday, March 25, 2008

Kompas 25-Mar-08: Manfaatkan Momentum Kenaikan Harga Beras

Manfaatkan Momentum Kenaikan Harga Beras
Kebijakan Jalan Sendiri-sendiri
Selasa, 25 Maret 2008 | 01:23 WIB

Jakarta, Kompas - Produksi beras yang berlebih saat ini membuat harga beras di dalam negeri cenderung turun. Situasi ini seharusnya dapat dimanfaatkan Indonesia untuk mengekspor beras. Apalagi, saat ini, harga komoditas pangan, termasuk beras, di pasar dunia cenderung terus naik.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono menegaskan, meski harga beras di pasar dunia 700 dollar AS per ton, harga gabah lokal justru turun. ”Saya sedang prihatin. Harga gabah jatuh karena produksi berlebih,” kata Anton seusai menutup Agrinex 2008 di Jakarta, Senin (24/3).

Menurut Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia Adi Sasono, jika memang produksi gabah nasional berlebih, Indonesia seharusnya bisa segera mengekspor beras. ”Momentum kenaikan harga beras dunia harus bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk meningkatkan perekonomian,” ujarnya.

Apalagi, kata Adi, saat ini harga beras internasional mencapai 708 dollar AS per ton. ”Dengan biaya produksi 400-an dollar AS per ton, beras lokal Indonesia pasti bisa bersaing di pasar internasional,” kata Adi.

Menurut Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Abdul Wachid, petani Indonesia tidak dapat menikmati kenaikan harga pangan dunia. Ini karena ketidakmampuan pemerintah menetapkan kebijakan yang tepat. ”Jika gula yang datanya lengkap saja kebijakannya kacau, apalagi padi, kedelai, dan jagung. Masing-masing departemen saling membantai dan jalan sendiri-sendiri,” ujarnya.

Dalam soal gula, misalnya, kebijakan Departemen Pertanian (Deptan) mendorong pemaksimalan produksi tebu dikalahkan kebijakan impor gula oleh Departemen Perdagangan. ”Dewan Gula mandul, keputusan tidak impor pada November 2007 diingkari dengan mengimpor 110.000 ton gula,” ujarnya.

Padahal, petani tebu sudah ”teriak-teriak” bahwa 110.000 ton gula yang diimpor pada Januari 2008 dapat dipenuhi dari produksi PTPN X dan PTPN XI, yang pada bulan Januari masih panen. ”Suara petani tidak didengarkan pemerintah,” kata Wachid.

Sebenarnya tidak terlalu sulit bagi pemerintah mengatur komoditas gula. Semua data, mulai dari jumlah pabrik, produksi, petani, hingga konsumsi per kapita, tersedia. ”Tinggal mengolah data, lalu tentukan kebijakan yang ditempuh,” katanya.

Tetap berhati-hati

Meski optimistis pengadaan beras dapat dipenuhi dari dalam negeri, Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar menyatakan, Bulog tetap berhati-hati mencermati perkembangan produksi beras dalam negeri dan dunia. ”Sebab, produksi sangat dipengaruhi kondisi alam,” kata Mustafa di Makassar.

Mustafa optimistis Bulog dapat mencapai target pengadaan beras tahun 2008 sebesar 2,43 juta ton. Bulog menurunkan tim ahli ke sentra-sentra beras untuk mengkaji apakah target yang ditetapkan Bulog dan Deptan realistis atau perlu dikoreksi.

Deptan memperkirakan panen periode Januari-April 2008 mencapai 5,5 juta hektar, dengan perkiraan produksi 26 juta ton gabah kering giling (GKG). Pengadaan tahun ini difokuskan pada periode Maret-Juni, yaitu 1,9 juta ton. Berdasar pengalaman, dalam empat bulan itulah terjadi puncak pengadaan hingga 87 persen.

Keyakinan bahwa pengadaan beras dapat dipenuhi dari produk lokal juga disampaikan Kepala Perum Bulog Divisi Regional VII Sulawesi Selatan Abdul Karim. Dia optimistis dapat melampaui target pengadaan beras untuk Sulsel, 350.000 ton.

Namun, situasi berbeda dihadapi Kepala Perum Bulog Subdivre IV Banyumas Imam Syafei. Pihaknya baru menyerap 6.021 ton gabah dari 8.000 ton yang ditargetkan untuk bulan Maret. Musim hujan yang masih berlangsung menjadi kendala pengeringan gabah.

Di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, meski menurut Bupati Bantul Idham Samawi sudah disiapkan dana Rp 2,4 miliar untuk membeli gabah petani jika harga di pasar di bawah harga pembelian pemerintah, yaitu untuk gabah kering panen (GKP) Rp 2.000 per kilogram, belum satu petani pun yang menawarkan gabahnya. Mereka memilih menyimpannya dan menjual dalam bentuk beras.

Madi Prayitno, petani di Dusun Manding, Bantul, menuturkan, menjual dalam bentuk beras lebih menguntungkan, harganya bisa Rp 4.500 per kilogram. ”Kalau dijual sekarang, hanya Rp 3.800 per kilogram, turun Rp 200 dari harga sebelumnya,” katanya.

Hal senada diungkapkan Jumini, petani Dusun Manding. Dia akan menyimpan gabahnya dan menjualnya dalam bentuk beras jika butuh dana. ”Untungnya lebih banyak, kami juga dapat katulnya untuk pakan ayam.”(HAM/RYO/ENY/DOE/MDN)

No comments: