Thursday, March 27, 2008

Kompas 28-Mar-08: Petani Padi Organik Menikmati Harga Tinggi

Petani Padi Organik Menikmati Harga Tinggi
Jumat, 28 Maret 2008 | 01:21 WIB

Purwakarta, Kompas - Ketika sebagian besar petani bingung menjual hasil panen karena harga gabah rendah, petani padi organik di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, menikmati harga jual tinggi. Hasil panen organik juga lebih tinggi karena tanaman tidak rusak oleh hama.

Dadi Suryadi (73), petani padi organik di Desa Pasawahan Kidul, Kecamatan Pasawahan, Kamis (27/3), mengatakan, gabah kering panen (GKP) hasil panenannya laku dijual Rp 4.600 per kilogram (kg). Harga itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata harga jual gabah padi nonorganik di Purwakarta sekitar Rp 1.700-Rp 1.800 per kg. Sebagian petani bahkan hanya bisa menjual Rp 1.400-Rp 1.500 per kg karena buruknya kualitas gabah.

Endang Yarmidi (55), petani lain di Pasawahan, menambahkan, sebagian petani organik memilih menjual dalam bentuk beras karena keuntungannya berlipat. Satu kilogram beras organik dijual Rp 7.500 hingga Rp 8.000 per kg, tergantung jenis padi.

Endang menambahkan, sebagian petani organik bahkan memilih menyimpan hasil panen karena menunggu harga gabah naik. Saat musim paceklik, harga gabah organik bisa mencapai Rp 5.000 per kg.

”Mudah-mudahan ini bisa merangsang petani lain untuk menanam padi secara organik. Selain menguntungkan, pertanian organik juga memperbaiki struktur tanah yang rusak karena pupuk dan pestisida kimia,” ujar Kuswana, Ketua Paguyuban Petani Organik Purwakarta.

Menurut Kuswana, luas area sawah yang diolah dengan sistem organik di Purwakarta meningkat dari 24 hektar menjadi sekitar 120 hektar dalam 2,5 tahun ini. Adapun jumlah petani yang tergabung bertambah dari 40 orang pada tahun 2005 menjadi sekitar 200 orang saat ini.

Harga beras turun

Pada saat panen raya tanaman padi nonorganik saat ini di Kota Sukabumi, harga beras di kota itu turun hingga Rp 1.000 per kg dalam sepekan ini. Di Pasar Pelita harga beras kualitas bagus turun menjadi Rp 4.200 per kg dari sebelumnya Rp 5.200.

Pedagang beras di Pasar Pelita, Ijang (50), mengatakan, harga beras kualitas medium juga turun dari Rp 5.000 menjadi Rp 4.000, sedangkan beras kualitas paling rendah turun dari Rp 4.200 menjadi Rp 3.800.

Di Kabupaten Indramayu, harga gabah yang murah membuat petani khawatir kekurangan modal untuk musim tanam gadu. Apalagi lonjakan harga kebutuhan hidup menyebabkan biaya hidup petani ikut meningkat.

Suparna (47), petani di Kecamatan Juntinyuat, Kamis, mengatakan, masih banyak petani di desanya yang menjual gabah panen dalam kondisi setengah kering atau kadar airnya di atas 20 persen. Akibatnya, harga GKP di tingkat petani berkisar Rp 1.700 per kg.

Suparna merasa khawatir jika harga gabah terus turun karena pendapatan hasil panen turut menentukan modal tanam selanjutnya. Setidaknya, karena hama kresek, lahan Suparna seluas 400 bata hanya menghasilkan 2,5 ton GKP. Seharusnya, produksi di lahan itu mencapai tiga ton.

Kepala Bulog Subdivre Indramayu Surasno mengakui, banyak dijumpai harga gabah murah di tingkat petani. Penyebabnya, kadar air gabah yang dijual petani itu di atas 15 persen, sedangkan kualitas gabah standar Bulog maksimal 14 persen.

Tahun ini Bulog Indramayu menargetkan menyerap beras petani sebanyak 60.000 ton. Adapun target Bulog Divre III Jawa Barat 350.000 ton. Saat in Bulog Jabar telah menyerap beras petani 28.745 ton. (MKN/AHA/THT)

Tuesday, March 25, 2008

Bisnis 25-Mar-08: Ekspor beras akan dilarang

Selasa, 25/03/2008

Ekspor beras akan dilarang

JAKARTA: Pemerintah sedang menggodok aturan yang melarang ekspor beras guna menjamin pasokan atas kebutuhan komoditas itu di dalam negeri menyusul terus meroketnya harga pangan di pasar dunia.

Direktur Bina Pasar dan Distribusi Direktorat Perdagangan Dalam Negeri Depdag Gunaryo mengatakan rencana pelarangan ekspor beras itu sudah diwacanakan di tim stabilisasi harga bahan pokok.

Wacana itu dimunculkan karena pemerintah ingin mengamankan pasokan beras di dalam negeri menyusul tingginya disparitas harga komoditas beras di pasar domestik dengan pasar internasional.

"Sudah ada wacana pelarangan ekspor beras di tingkat tim stabilisasi harga bahan pokok, tetapi belum diputuskan karena selama ini belum ada beras yang diekspor secara besar-besaran," katanya kemarin.

Dia menjelaskan pemerintah belum pernah melakukan pelarangan ekspor komoditas beras, selain itu pemerintah juga tidak mengenakan pungutan ekspor (PE) terhadap komoditas ini.

Sebaliknya pemerintah mengeluarkan izin impor beras hingga 1,5 juta ton kepada Perum Bulog untuk pengamanan kebutuhan nasional pada masa paceklik terutama pada September dan Oktober.

BUMN tersebut baru merealisasikan importasi beras sekitar 1,3 juta ton sehingga sisa kuota importasi beras yang belum direalisasikan perusahaan pelat merah itu mencapai 200.000 ton.

Gunaryo mengakui pada saat harga di pasar internasional lebih tinggi dibandingkan dengan harga domestik, muncul kekhawatiran akan terjadinya kegiatan ekspor beras secara besar-besaran, bahkan penyelundupan.

Harga beras di pasar dalam negeri saat ini berkisar antara Rp4.750 per kg hingga Rp6.000 per kg, padahal harga di pasar internasional pekan lalu tercatat US$618,5 hingga US$745 per ton untuk beras Filipina yang diekspor hingga ke pelabuhan tujuan.

Di pihak lain, beras Thailand jenis kualitas patah 5% dihargai US$530 hingga US$550 per ton. "Kami memantau perkembangan harga. Memang, harga beras internasional lebih tinggi dari domestik sehingga dikhawatirkan mendorong terjadinya ekspor," ujarnya.

Dia menegaskan pemerintah dapat langsung melakukan pelarangan ekspor beras jika hasil panen yang diperkirakan dimulai pada bulan Mei mendatang gagal mencukupi kebutuhan beras di dalam negeri.

Ironis

Di tempat terpisah, anggota komisi VI DPR RI Nasril Bahar menilai sangat ironis jika ada eksportir yang menjual beras ke luar negeri dengan memanfaatkan situasi disparitas harga yang tinggi.

Menurut dia, pemerintah harus melarang ekspor beras guna mengamankan pasokan di dalam negeri. "Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk membolehkan ekspor beras karena pasokan di dalam negeri belum mencukupi," ujarnya.

Selain itu, dia mendesak pemerintah memperbaiki harga patokan pemerintah (HPP) guna meredam terjadinya ekspor beras maupun penyelundupan akibat tingginya disparitas harga tersebut.

Menanggapi usulan itu, Gunaryo menjelaskan HPP belum perlu dinaikkan karena pemerintah ingin menjaga stabilitas harga beras dimana harga terendah yang ditargetkan Rp4.750 per kg, sedangkan harga tertinggi Rp6.000 per kg.

Pemerintah melalui Inpres No. 3/2007 menetapkan HPP gabah kering panen (GKP) dinaikkan 17,6% menjadi Rp2.000 per kg, gabah kering giling (GKG) naik 14% menjadi Rp2.600 per kg dan HPP beras naik 12,7% menjadi Rp4.000 per kg. (10) (redaksi@bisnis.co.id)

Bisnis Indonesia

bisnis.com

Kompas 25-Mar-08: Manfaatkan Momentum Kenaikan Harga Beras

Manfaatkan Momentum Kenaikan Harga Beras
Kebijakan Jalan Sendiri-sendiri
Selasa, 25 Maret 2008 | 01:23 WIB

Jakarta, Kompas - Produksi beras yang berlebih saat ini membuat harga beras di dalam negeri cenderung turun. Situasi ini seharusnya dapat dimanfaatkan Indonesia untuk mengekspor beras. Apalagi, saat ini, harga komoditas pangan, termasuk beras, di pasar dunia cenderung terus naik.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono menegaskan, meski harga beras di pasar dunia 700 dollar AS per ton, harga gabah lokal justru turun. ”Saya sedang prihatin. Harga gabah jatuh karena produksi berlebih,” kata Anton seusai menutup Agrinex 2008 di Jakarta, Senin (24/3).

Menurut Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia Adi Sasono, jika memang produksi gabah nasional berlebih, Indonesia seharusnya bisa segera mengekspor beras. ”Momentum kenaikan harga beras dunia harus bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk meningkatkan perekonomian,” ujarnya.

Apalagi, kata Adi, saat ini harga beras internasional mencapai 708 dollar AS per ton. ”Dengan biaya produksi 400-an dollar AS per ton, beras lokal Indonesia pasti bisa bersaing di pasar internasional,” kata Adi.

Menurut Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Abdul Wachid, petani Indonesia tidak dapat menikmati kenaikan harga pangan dunia. Ini karena ketidakmampuan pemerintah menetapkan kebijakan yang tepat. ”Jika gula yang datanya lengkap saja kebijakannya kacau, apalagi padi, kedelai, dan jagung. Masing-masing departemen saling membantai dan jalan sendiri-sendiri,” ujarnya.

Dalam soal gula, misalnya, kebijakan Departemen Pertanian (Deptan) mendorong pemaksimalan produksi tebu dikalahkan kebijakan impor gula oleh Departemen Perdagangan. ”Dewan Gula mandul, keputusan tidak impor pada November 2007 diingkari dengan mengimpor 110.000 ton gula,” ujarnya.

Padahal, petani tebu sudah ”teriak-teriak” bahwa 110.000 ton gula yang diimpor pada Januari 2008 dapat dipenuhi dari produksi PTPN X dan PTPN XI, yang pada bulan Januari masih panen. ”Suara petani tidak didengarkan pemerintah,” kata Wachid.

Sebenarnya tidak terlalu sulit bagi pemerintah mengatur komoditas gula. Semua data, mulai dari jumlah pabrik, produksi, petani, hingga konsumsi per kapita, tersedia. ”Tinggal mengolah data, lalu tentukan kebijakan yang ditempuh,” katanya.

Tetap berhati-hati

Meski optimistis pengadaan beras dapat dipenuhi dari dalam negeri, Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar menyatakan, Bulog tetap berhati-hati mencermati perkembangan produksi beras dalam negeri dan dunia. ”Sebab, produksi sangat dipengaruhi kondisi alam,” kata Mustafa di Makassar.

Mustafa optimistis Bulog dapat mencapai target pengadaan beras tahun 2008 sebesar 2,43 juta ton. Bulog menurunkan tim ahli ke sentra-sentra beras untuk mengkaji apakah target yang ditetapkan Bulog dan Deptan realistis atau perlu dikoreksi.

Deptan memperkirakan panen periode Januari-April 2008 mencapai 5,5 juta hektar, dengan perkiraan produksi 26 juta ton gabah kering giling (GKG). Pengadaan tahun ini difokuskan pada periode Maret-Juni, yaitu 1,9 juta ton. Berdasar pengalaman, dalam empat bulan itulah terjadi puncak pengadaan hingga 87 persen.

Keyakinan bahwa pengadaan beras dapat dipenuhi dari produk lokal juga disampaikan Kepala Perum Bulog Divisi Regional VII Sulawesi Selatan Abdul Karim. Dia optimistis dapat melampaui target pengadaan beras untuk Sulsel, 350.000 ton.

Namun, situasi berbeda dihadapi Kepala Perum Bulog Subdivre IV Banyumas Imam Syafei. Pihaknya baru menyerap 6.021 ton gabah dari 8.000 ton yang ditargetkan untuk bulan Maret. Musim hujan yang masih berlangsung menjadi kendala pengeringan gabah.

Di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, meski menurut Bupati Bantul Idham Samawi sudah disiapkan dana Rp 2,4 miliar untuk membeli gabah petani jika harga di pasar di bawah harga pembelian pemerintah, yaitu untuk gabah kering panen (GKP) Rp 2.000 per kilogram, belum satu petani pun yang menawarkan gabahnya. Mereka memilih menyimpannya dan menjual dalam bentuk beras.

Madi Prayitno, petani di Dusun Manding, Bantul, menuturkan, menjual dalam bentuk beras lebih menguntungkan, harganya bisa Rp 4.500 per kilogram. ”Kalau dijual sekarang, hanya Rp 3.800 per kilogram, turun Rp 200 dari harga sebelumnya,” katanya.

Hal senada diungkapkan Jumini, petani Dusun Manding. Dia akan menyimpan gabahnya dan menjualnya dalam bentuk beras jika butuh dana. ”Untungnya lebih banyak, kami juga dapat katulnya untuk pakan ayam.”(HAM/RYO/ENY/DOE/MDN)

Tuesday, March 4, 2008

Kompas 29-Feb-08: Petani Jadi Kuli Bangunan

Petani Jadi Kuli Bangunan
Penangkar Benih Kopi di Bener Meriah Keluhkan Harga Bahan Baku
Jumat, 29 Februari 2008 | 01:19 WIB

Kolaka Utara, Kompas - Kehidupan petani cokelat di Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, makin terpuruk akibat ganasnya hama penggerek buah kakao atau PBK. Sebagian petani terpaksa menjadi kuli bangunan untuk mencari sumber nafkah baru.

Dalam perbincangan dengan Kompas di sela-sela kunjungan kerja Gubernur Sultra Nur Alam di Kolaka Utara, Kamis (28/2), Bupati Rusda Mahmud mengatakan, petani di daerahnya tidak berdaya menghadapi serangan hama PBK yang telah berlangsung hampir 10 tahun ini.

”Berbagai upaya telah dilakukan petani bersama petugas untuk memberantas hama itu. Namun, semua upaya tidak berhasil mengatasi keganasan PBK,” kata Rusda Mahmud.

Darwin (49), warga Desa Pungkiha, Kecamatan Lasusua, saat dikonfirmasi membenarkan keterangan Bupati Kolaka Utara tersebut. ”Hama PBK tidak bisa diatasi,” ujarnya.

Darwin terpaksa menelantarkan kebun cokelatnya yang seluas tiga hektar sejak tahun 2003. Ia lalu berkonsentrasi merawat tanaman cengkeh sebanyak 300 pohon untuk membiayai anaknya yang kuliah di Makassar.

Menurut Rusda, yang didampingi Wakil Bupati Kolaka Utara Hj Siti Suhariah Muin, kehidupan warga di daerahnya yang sebagian besar petani cokelat belakangan ini makin memprihatinkan. Mereka bekerja serabutan. ”Ada yang jadi kuli bangunan, buruh pemecah batu, dan usaha lain untuk menopang hidup,” tuturnya.

Kolaka Utara yang resmi menjadi daerah otonom sejak 7 Januari 2003 terdiri atas 12 kecamatan dengan total penduduk 94.190 jiwa (2007). Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kolaka Utara Amir Badi, luas hamparan tanaman cokelat rakyat sekitar 45.000 hektar.

Rusda menyebutkan, keganasan hama PBK menyebabkan produktivitas tanaman cokelat menurun sangat drastis dari 1-1,5 ton menjadi hanya rata-rata 100 kilogram per hektar per tahun.

Ia mengemukakan pula, pihaknya kini mulai mengajak petani cokelat untuk mengonversi tanaman cokelat mereka dengan kelapa sawit.

Bahan baku naik

Di Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam, para penangkar benih kopi mengeluhkan naiknya harga bahan baku, terutama bahan kantung plastik (polybag). Kenaikan harga polybag hampir 50 persen, memberatkan penangkar benih kopi, terutama penangkar mandiri.

Jusriadi (38), penangkar benih kopi di Desa Jungke, Kecamatan Permata, Kamis, mengatakan, beberapa waktu lalu, harga satu kilogram polybag Rp 10.000, tetapi saat ini Rp 15.000.

Dia mengatakan, untuk menanam sekitar 200.000 benih kopi arabica, setidaknya dibutuhkan 10-20 kilogram kantung plastik itu. (YAS/MHD)

Kompas 5-Mar-08: Produksi Padi Tadah Hujan Meningkat (Yogyakarta)

Produksi Padi Tadah Hujan Meningkat
KOMPAS/SIWI NURBIAJANTI / Kompas Images
Petani di Desa Tegalwangi, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, sedang memanen padi, Selasa (4/3). Saat ini harga gabah kering panen di tingkat petani terus turun hingga Rp 1.700 per kilogram. Petani rugi karena selama ini harga berbagai biaya produksi pertanian, seperti pupuk, sangat mahal. Belum lagi produktivitas tanaman pada panen kali ini juga rendah karena serangan hama.

Rabu, 5 Maret 2008 | 02:08 WIB

Wonosari, Kompas - Produksi padi tadah hujan di Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, meningkat dibandingkan dengan tahun lalu. Peningkatan produksi sedikitnya 20 persen. Selain cukup air karena intensitas hujan yang tinggi, sebagian petani juga mulai menanam varietas baru padi ciherang yang lebih tahan pada kondisi kekeringan.

Bupati Gunung Kidul Suharto, dengan tingginya produksi gabah, merasa yakin tahun ini kecukupan pangan terwujud. Melalui peningkatan produksi minimal 20 persen, tahun ini Gunung Kidul diperkirakan memiliki stok pangan lebih dari 90.000 ton. Sementara jumlah stok pangan 2007 masih sekitar 41.000 ton.

”Tidak akan terjadi kekurangan pangan tahun ini. Saya yakin harga produk pertanian akan terus naik,” ujar Suharto saat melakukan panen raya padi di beberapa desa di Pulutan dan Tlogo Poso, Selasa (4/3).

Sementara itu, Provinsi Lampung menargetkan meningkatkan produksi gabah kering giling (GKG) menjadi 2,4 juta ton pada musim tanam 2008 ini. Untuk mencapai target itu dinas pertanian memanfaatkan bantuan benih padi nonhibrida sebanyak 1.500 ton dan 75 ton padi hibrida. Kepala Subdinas Produksi Tanaman Pangan Hortikultura Dinas Pertanian Lampung Kusnardi mengemukakan itu, Selasa.

Harga gabah

Pada masa musim panen di sebagian daerah sekarang, harga gabah kering panen (GKP) di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa, terus merosot menjadi Rp 2.000 per kg. Tiga hari lalu harga masih Rp 2.400 per kg. ”Padahal, pasokan gabah saat ini belum terlalu banyak,” ucap Bahroni, pemilik penggilingan padi di Kecamatan Mertoyudan.

Sejumlah petani di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, mengeluhkan pula harga gabah GKP Rp 1.700 per kg. Kondisi itu diperparah dengan adanya serangan hama yang mengakibatkan rendahnya produktivitas tanaman.

Marzuki (55), petani di Desa Randusari, Kecamatan Pagerbarang, Selasa (4/3), mengatakan, sejak panen sebulan lalu, harga GKP terus menurun. Pada pertengahan Januari, ia masih menjual dengan harga Rp 2.200 kg.(wkm/hln/egi/wie)

Sunday, March 2, 2008

Bisnis 25-Feb-08: Mentan klaim swasembada pangan berhasil

Senin, 25/02/2008 15:45 WIB

Mentan klaim swasembada pangan berhasil

oleh : Fahmi Achmad


JAKARTA (Bisnis): Mentan Anton Apriyantono menegaskan program revitalisasi tanaman pangan dan kebijakan swasembada pangan dapat dikatakan berhasil.

Lima komoditas tanaman pangan unggulan berupa padi, jagung, kedelai, gula dan sapi potong. Data Deptan menunjukkan produksi beras naik 4,8% pada 2007 atau tertinggi dalam 15 tahun.

Kenaikan harga beras, ujarnya, merupakan tren musiman yang terjadi menjelang masa panen. Produksi jagung tumbuh 14,4% atau sebanyak 1,67 juta ton menjadi 13,38 juta ton sementara impor hanya sebesar 5%.

"Kalau mengacu definisi swasembada yang 90% produksi dalam negeri, itu artinya kita sudah mencukupi kebutuhan sendiri," tegasnya dalam seminar penguatan strategi ketahanan pangan nasional yang diadakan CIDES hari ini.

Produksi gula naik 4,91% dari 2,31 juta ton menjadi 2,44 juta ton. Dia beralasan impor 110.000 ton gula merupakan kebijakan untuk mengamankan stok dalam negeri oleh Bulog dan PPI. Namun, Mentan mengakui produksi kedelai 134.350 ton dari 747.610 ton menjadi 608.260 ton karena petani terbebani ongkos produksi yang mahal.

"Dari itu semua hanya kedelai yang turun produksinya, saya kira tidak fair kalau dikatakan program revitalisasi tidak berhasil," katanya. (tw)

bisnis.com

Bisnis 26-Feb-08: Mentan: Perlu proteksi bagi strategi pangan

Selasa, 26/02/2008 08:57 WIB

Mentan: Perlu proteksi bagi strategi pangan

oleh : Antara

JAKARTA (Antara): Insentif dan proteksi masih diperlukan sebagai penguatan strategi ketahanan pangan nasional guna menghasilkan pangan yang terjangkau.

"Insentif dan proteksi sebagai kata kunci untuk kecukupan pangan yang terjangkau. Dan jangan lupa pula untuk mensejahterakan petani," kata Menteri Pertanian, Anton Apriantono di Jakarta hari ini.

Anton mengatakan sesuai dengan arti Ketahanan Pangan dalam Undang-undang Nomor 7/1998, yang menyebutkan bahwa Ketahanan Pangan berarti ketersediaan pangan baik dari segi kualitas dan kuantitas, aman, merata, dan terjangkau.

Menurut dia, masalah kemandirian pangan tidaklah cukup karena tidak hanya politik terpenuhi tetapi juga holistik. Bisa saja harga pangan terjangkau, berlimpah, tetapi petani tidak sejahtera.

Data menyebutkan bahwa 68% masyarakat miskin adalah petani, ujar dia. Dan 80% petani miskin tersebut adalah petani pangan.

"Perlu kebijakan yang holistik. Insentif dan proteksi yang dikedepankan oleh negara maju untuk mencapai kemandirian pangan," tambah dia.

Dari segi subsidi, Anton mengakui, yang diberikan saat ini belumlah cukup, dan pada kenyataannya tidak seimbang dengan apa yang telah diberikan pada sektor energi dan listrik.

Namun demikian, dia mengatakan, kemandirian pangan bukan berarti semua produk pertanian harus dihasilkan sendiri. Karena bagaimanapun juga tidak ada negara di dunia yang 100% menghasilkan sendiri produk pertaniannya.

"Silakan kaji, di seluruh dunia tidak semua diproduksi sendiri. Tetapi produk strategis harus mandiri, dicukupi di dalam negeri, dan hanya sedikit yang impor," ujar dia.

Anton mengatakan lima produk strategis yang menjadi target swasembada pangan Indonesia saat ini adalah padi, jagung, kedelai, gula, dan sapi potong. Untuk beras targetnya adalah swasembada berkelanjutan, untuk jagung targetnya swasembada 2007 dan daya saing ekspor 2008, untuk kedelai targetnya akselerasi peningkatan produksi guna mengurangi ketergantungan impor dan swasembada di 2012.

Sementara itu, untuk gula target menuju swasembada berkelanjutan mulai 2009, dan untuk daging sapi akselerasi peningkatan produksi untuk mengurangi ketergantungan impor dan swasembada pada 2010.

Terkait unggas Indonesia sudah swasembada, begitu pula dengan jagung, ujar Anton. FAO menyebutkan bahwa dikatakan swasembada jika 90% merupakan produksi dalam negeri, dan impor jagung Indonesia saat ini hanya 5% saja.

Namun demikian, Anton mengakui, Indonesia masih memiliki ketergantungan untuk kedelai dan daging. (ln)

bisnis.com