Tuesday, February 26, 2008

Kompas 26-Feb-08: Perbaiki Struktur Pasar Pertanian

Perbaiki Struktur Pasar Pertanian

Mentan: Sulit Mengubah Kebijakan Menjelang Pemilu
Selasa, 26 Februari 2008 | 01:41 WIB

Jakarta, Kompas - Ketahanan pangan nasional perlu diperkuat dengan memperbaiki struktur pasar produk pertanian yang tidak sehat. Selama ini petani selalu mendapatkan margin keuntungan terkecil pada mata rantai distribusi. Harga produk pertanian pun ditentukan hanya oleh segelintir pembeli.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian Kaman Nainggolan mengemukakan pentingnya perbaikan struktur pasar itu dalam seminar yang digagas Center for Information and Development Studies (Cides) di Jakarta, Senin (25/2).

”Struktur pasar produk pertanian kita sangat sakit. Tidak ada yang bisa membantah hal ini,” ujar Kaman.

Praktik oligopsoni terjadi di bagian hulu pemasaran produk pertanian. Hasil panen petani hanya diserap oleh segelintir pembeli. Karena jumlah petani yang menjual hasil panen jauh lebih banyak daripada pembeli, harga pun ditentukan oleh pembeli.

Di sisi lain, konsumen akhir produk pertanian di dalam negeri juga hanya dilayani segelintir distributor besar. Di bagian hilir tersebut, pasar produk pertanian bersifat oligopolistik.

Kaman mengakui, kelembagaan pemasaran hasil-hasil pertanian sampai saat ini belum optimal berperan sebagai penyangga kestabilan distribusi dan harga pangan. Akibatnya, pada saat panen, harga hasil pertanian di sentra produksi turun tajam. Sebaliknya, kenaikan harga setiap musim paceklik juga sangat signifikan.

Menurut Kaman, kelembagaan pemasaran yang menjangkau petani juga kerap dikuasai kelompok tertentu saja.

”Peritel besar dan pelaku industri sebagai konsumen produk pertanian, kan, tidak mungkin membeli dari petani dalam skala kecil-kecil,” kata Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Thomas Darmawan.

Sebelum terserap oleh industri dan peritel, produk pertanian dibeli oleh pedagang-pedagang pengumpul. Dari pedagang pengumpul, hasil pertanian diperdagangkan dengan mata rantai panjang hingga dikonsolidasikan oleh distributor besar.

Menyikapi kondisi itu, Thomas berharap, pemerintah lebih serius memberdayakan kembali koperasi petani atau koperasi di tingkat desa untuk mengelola penjualan hasil pertanian.

”Cara paling strategis mengatasi ini tentu lewat revitalisasi KUD, tapi pengelolanya perlu dipilih yang mengerti bisnis, tahu caranya menjual,” ujar Thomas.

Sistem pemasaran yang lebih adil juga dipandang sebagai bentuk insentif bagi petani untuk meningkatkan hasil produksi.

Pemerintah janjikan insentif

Secara terpisah, Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan, pemerintah akan lebih fokus mendorong peningkatan produksi pertanian melalui insentif dan proteksi.

”Hanya ada dua kunci untuk mengatasi masalah pangan saat ini, yakni dengan pemberian insentif dan proteksi bagi petani,” ujar Mentan.

Insentif antara lain diberikan melalui peningkatan subsidi dan pola pembiayaan untuk petani. Pemerintah telah meningkatkan subsidi pupuk dari Rp 7,5 triliun pada tahun 2007 menjadi sekitar Rp 10 triliun tahun ini.

Mentan mengakui, ia tidak cukup puas dengan sistem subsidi pupuk yang kini berlaku. Subsidi saat ini melekat pada harga pupuk yang dialokasikan untuk pertanian. Semakin luas lahan yang dimiliki petani, semakin besar subsidi didapat. Petani gurem pun mendapat subsidi minimal.

Subsidi pupuk diyakini akan lebih tepat sasaran jika diberikan langsung kepada petani. Untuk itu, dibutuhkan pendataan petani yang lebih baik.

”Tapi mengubah kebijakan menjelang pemilu ini sulit, jadi status quo dulu saja. Mudah-mudahan pemerintahan yang akan datang bisa menyelesaikan masalah ini,” ujar Mentan. (DAY)

Monday, February 25, 2008

Tani Merdeka, Jan-Feb 2008: Sertani I - Padi Lokal Tahan Kering

Info Tani: Sertani I


Posted on Tuesday, 12 February 2008, 07:20 WIB oleh: kemal

Padi Lokal Tahan Kering

Galur unggul lokal Sertani 1 tahan kering serta punya daya tahan tubuh yang kuat. Hasilnya lebih tinggi dari padi hibrida impor

Hati Winarto kini sedang berbunga-bunga. Pasalnya, pada panen akhir tahun lalu -- dari lahan miliknya seluas satu hektar -- petani asal Desa Nambah Dadi, Kecamatan Terbanggi, Lampung Tengah itu, bisa memetik keuntungan mencapai Rp7 juta. Hasil itu, tentu saja, membuat Winarno merasa heran, karena diperoleh dari kondisi lahan kering..

Desa Nambah Dadi, menurut Winarto, kondisi tanahnya memang kering. Sebelumnya, untuk jenis padi Ciherang di lahan seperti ini menghasilkan paling banyak 5 ton/ hektar. Tapi, menjelang bulan puasa tahun lalu – di saat hari sedang panas-panasnya – Winarto menanam padi jenis yang tidak banyak membutuhkan air, dan hasilnya 10 ton/hektar.

Atas keberhasilan panennya kali ini, Winarto tak bakal melupakan jasa Surono Danu, penangkar galur lokal Sertani 1, jenis padi yang dia tanam itu. Sertani adalah akronim Serikat Tani Indonesia, nama sebuah kelompok tani di Lampung, dan Surono yang disebut oleh Winarto itu termasuk salah seorang anggota pengurusnya.

“Waktu itu Pak Surono menawarkan untuk mencoba menanam benih Sertani 1, tanpa ragu saya langsung menyanggupinya,” tutur Winarto. Karena ditanam di lahan kering, maka cara menanamnya pun berbeda dengan menaman padi di lahan berair atau sawah. Caranya, lahan lebih dulu dilobangi dengan sebatang kayu yang salah satu ujungnya agak diruncingkan, atau dikenal dengan istilah menugal. Benih padi dimasukkan ke dalam lobang tersebut, kemudian ditutup tanah.

Rupanya, cerita Wiunartp, benih yang diberikan Pak Surono itu memang bukan jenis yang butuh banyak air. Meski minim air, namun bulir setiap malai (tangkai) padi tersebut bisa menghasilkan 500-600 bulir berbentuk lonjong. Dan, dalam tempo 105 hari sejak tanam, Winarto sudah bisa melihat hasilnya, ya itu tadi.

Pengalaman Tamis lain lagi. Kepala Desa Kebun Damar II, Mataram Baru, Lampung Timur, itu terpesona dengan Sertani 1 karena daya tahannya terhadap serangan hama dan penyakit. Saat tikus sawah menyerang di desanya, banyak batang padi yang rusak. Namun tak lama kemudian, batang padi tersebut mampu tumbuh lagi dengan anakan yang jauh lebih banyak. “Begitu pula dengan hama wereng dan keong emas, meski sudah dimakan, pasti akan tumbuh lagi,” imbuh anggota basis Sertani Sukamaju itu.

Bukan hanya itu, benih padi yang mengapung setelah semai (bila disemai di tanah berair), ternyata masih bisa ditanam lagi dan menghasilkan pula tangkai dan bulir padi yang lumayan banyak. “Bila sudah dipanen, maka pangkal padi tidak usah dicabut, tapi tinggal kasih pupuk saja, panen pun masih bisa diraih. Jadi, dalam sekali tanam bisa panen tiga kali,” begitu kata Tamis mengungkapkan berbagai kelebihan Sertani I ini

Adalah Surono yang menciptakan jenis padi Sertani I ini. Ia mengawinkan jenis padi unggulan lokal yang indukannya asli Lampung, tapi memiliki karakter padi liar. Yakni antara Dayang Rindu (pejantan) dengan Si Rendah Sekam Kuning dan Si Rendah Sekam Putih (betina). Tetua padi lokal ini memiliki umur panen sampai 150 hari. Tapi, “Saya hanya memendekan umurnya menjadi 105 hari dan maksimal 110 hari,” ujar Surono. Sedangkan sifat liar dan tahan penyakitnya tetap dipertahankan.

Benih Sertani 1 itu kemudian disebarkan kepada segenap anggota Sertani, dan sudah ditanam di 170 ribu hektar sawah di Lampung. Untuk tanah yang cukup bagus, hasilnya bisa mencapai 16 ton per hektar lebih. Padi ini juga ditanam di lahan milik Komunitas Tumbuh Bersama di Desa Suykajadi, Cariu, Jawa Barat. Dan, pada saat panen raya, belum lama ini, hasil yang diperoleh mencapai 12 ton per hektar.

Mindo Sianipar selaku ketua Komunitas Tumbuh Bersama menyatakan, apa yang dilakukan Surono itu adalah langkah inovasi bidang pertanian yang sudah selayaknya dihargai. “Saat ini pemerintah gencar melakukan impor benih padi hibrida dari Cina, padahal kita punya tenaga penangkar padi kelas internasional,” ungkap Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI bidang pertanian ini.

Mindo lalu membandingkan benih hibrida impor dengan Sertani I. Benih hibrida impor hanya mampu menghasilkan paling banyak 6 ton per hektar, belum lagi penyakit yang dibawanya. Sedangkan Sertani 1, selain produktivitasnya tinggi juga tahan hama dan penyakit. “Karena itu kita harus tolak benih impor, dan kita coba galakkan para petani lokal,” ujar Mindo bersemangat.

Komentar senada juga datang dari Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir. Dia mengaku baru melihat ada padi lokal dengan keunggulan seperti Sertani 1. ”Ini sudah revolusi pertanian,” kata Winarno.

Meski telah terbukti hasilnya, namun Surono enggan mempatenkan temuannya ini. Karena itu, dia menamakan benih temuannya ini dengan sebutan galur. Sedangkan kalau sudah dipatenkan, dinanamakan varietas. “Petani tidak butuh paten, tapi yang penting hasil dari usaha pertanian yang dijalankan,” kata Surono memberi alasan. Benar juga.

Protes Terhadap Benih Impor

Menjadi penangkar padi adalah pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan ketekunan ekstra. Surono Danu, sang penangkar Sertani1, membuktikan hal itu. Dia sudah bangun sejak pukul 02.00 dini hari untuk mengawasi bulir padi, dan membuka serbuk sarinya. Menjelang pukul 04.00, serbuk sari yang sudah terbuka itu kemudian dikawinkan. Alat pembuka serbuk sari hanyalah pinset. “Hanya itu alat yang saya gunakan,” kata Surono. Ini adalah proses yang terbilang rumit, karena padi tidak boleh rusak. Kemudian sisa dari bulir padi yang tidak dikawinkan, harus dibuang.

Lalu, padi yang sudah dikawinkan itu ditutup plastik, dan diberi lubang untuk sirkulasi udara. Nah, pukul 06.30 adalah saat tanaman padi kawin. “Saya harus bangun lebih pagi, agar tidak keduluan proses perkawinan padi secara alami,” kata ayah lima anak ini.

Setiap saat, Surono harus terus memantau setiap bulir padi yang telah dikawinkan, untuk melihat tingkat keberhasilan proses perkawinan. Banyaknya bulir padi yang dikawinkan, tergantung kecepatan sang penangkar. Dalam sehari bisa 10-20 bulir padi yang dikawinkan. Namun, kata Surono, dalam 10 ribu bulir yang berhasil paling hanya satu.

Langkah selanjutnya, padi hasil perkawinan itu diujicoba secara terus menerus, sehingga menghasilkan galur padi yang diinginkan. Jangan membayangkan Surono bekerja dalam sebuah laboratorium dengan fasilitas lengkap. Dia bahkan mengaku tidak punya lahan secuil pun untuk ujicoba.

Menurut cerita Surono, semua ujicoba padi dilakukan dalam pot di halaman rumahnya di Bandar Lampung, dan alat yang digunakan hanya pinset. Tidak heran bila usaha menghasilkan galur unggul lokal dari Sertani 1 hingga Sertani 16 memakain waktu sampai 22 tahun.

Selain Sertani I, Surono juga melakukan usaha persilangan padi galur Bancul 2, namun mengalami berbagai hambatan. Galur unggul lokal ini memiliki keunggulan, yakni tahan banjir. “Inilah padi masa depan,” kata Wakil Ketua Komisi IV yang membidangi masalah pertanian Mindo Sianipar.

Soalnya, menurut Mindo, dalam iklim yang tidak menentu seperti sekarang ini, di mana banjir dan kekeringan datang silih berganti, maka dibutuhkan jenis padi yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim tersebut. Dalam situasi demikian, benih padi seperti Bancul 2 yang bisa dipanen dalam tempo 95-100 hari sangat dibutuhkan.

Bagi Surono, usahanya mengawinkan galur-galur unggul lokal tidak lebih dari semacam “protes” kepada pemerintah yang getol mendatangkan benih padi hibrida impor. Padahal di dalam negeri, menurut Surono, usaha itu bisa dilakukan bahkan dengan cara yang sederhana. “Tapi saya tetap belum puas, selama petani kita belum sejahtera hidupnya,” ujar lelaki berpenampilan sederhana ini sambil menerawang. Cita-cita yang luhur. (Imam Firdaus)

foto : Mustafa Kemal

Friday, February 22, 2008

Bisnis 22-Feb-08: Petani masih kesulitan bayar biaya gudang

Jumat, 22/02/2008

Petani masih kesulitan bayar biaya gudang

JAKARTA: Implementasi sistem rei gudang hingga kini dinilai masih terkendala terkendala atas ketidakmampuan para petani dalam membayar biaya pengelolaan gudang maupun bunga pinjaman dengan agunan resi gudang.

Kendala itu terkuak ketika PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI) menerapkan sistem resi gudang (SRG) pada lima daerah sepanjang 2007 dengan menggunakan dana komoditas titipan Kementerian KUKM senilai Rp24 miliar.

Menurut Dirut PT KBI Surdiyanto Suryodarmodjo, terdapat dua dari lima daerah yang kini kesulitan dalam hal pembayaran biaya gudang, sehingga menyebabkan pengelola gudang harus melikuidasi sebagian komoditasnya untuk pelunasan kewajiban.

Daerah yang disebutkan meliputi seperti Wajo, Sulawesi Selatan,� dengan komoditas rumput laut sebanyak 52.000 kg senilai Rp208 juta. Jika, menggunakan mekanisme sistem resi gudang, pembiayaan yang akan disalurkan pada komoditas ini sebesar 70% atau Rp145,6 juta.

Namun, karena persoalan pembiayaan gudang, pengelola gudang akhirnya melikuidasi sebagian produknya untuk melunasi pinjaman dan biaya sewa serta bunga.

Daerah lainnya yang mengalami persoalan serupa yakni Magetan, Jawa Timur, dengan komoditas beras sebanyak 20.000 kg senilai Rp80 juta dengan kucuran pembiayaan sebesar Rp56 juta.

Sebelumnya Surdiyanto sempat mengatakan petani akan sulit memanfaatkan sistem pembiayaan resi gudang jika kenaikan harga gabah hanya mencapai Rp150-Rp200 per kg. "Dengan kondisi seperti ini sulit bagi petani mengikutkan gabah dalam skema resi gudang karena biayanya tidak seimbang."

Dia menambahkan petani akan memperoleh manfaat skema SRG, jika volume gabah yang dapat disimpan petani paling sedikit 500 ton dengan asumsi kenaikan harga selama masa penyimpanan tiga hingga empat bulan mencapai Rp300 per kg.

Pernah diingatkan

Namun, Dirut PT Pasar Komoditi Indonesia (Paskindo) M. Khudori pernah mengingatkan kenaikan harga gabah hingga Rp300 per kg tersebut akan sulit dicapai, karena penetapan harga pasar komoditas tidak melalui mekanisme pasar, melainkan melalui intervensi pemerintah.

Dengan volume penyimpanan sekitar 500 ton, kondisi ini hanya akan dinikmati oleh petani skala besar.

Khudori menambahkan pihaknya sudah mengupayakan agar total biaya SRG hanya 2% per bulan, tujuannya agar dapat menguntungkan petani.

Dia mengakui Paskindo belum lama ini sudah menerapkan pola resi gudang di Subang, Jabar, untuk 110 ton gabah.

Total biaya yang ditetapkan Paskindo per bulannya hanya 1,71% dari nilai nominal gabah Rp275 juta (Rp2.500/kg) atau sebesar Rp4,7 juta per bulan dengan tempo penyimpanan tiga bulan.

Untuk biaya bunga, lanjut Khudori, dipatok 1,3% per bulan, dengan menggunakan dana Paskindo. Biaya manajemen pengelola jaminan 0,4% dan biaya asuransi kebakaran, kecurian dan bencana alam 0,01%.

Oleh Berliana Elisabeth S.
Bisnis Indonesia

bisnis.com

Thursday, February 21, 2008

Bisnis 21-Feb-08: Ekspor teh berpeluang digenjot

Kamis, 21/02/2008

Ekspor teh berpeluang digenjot

JAKARTA: Eksportir teh perlu memanfaatkan lesunya pasar di Mombasa-Kenya dan berani masuk pasar Asia untuk mengejar pertumbuhan volume dan nilai ekspor yang gagal dicapai tahun lalu.

Ketua Umum Asosiasi Teh Indonesia (ATI) Insyaf Malik mengatakan pelaku ekspor harus memanfaatkan momentum masih tingginya harga komoditas ini di pasar internasional.

"Saat ini pasar teh yang di Kenya itu belum mampu menutupi kebutuhan permintaan dan kita harus bisa memanfaatkan kondisi tersebut," katanya ketika dihubungi Bisnis, kemarin.

Menurut dia, teh dari Indonesia dapat menjadi substitusi bagi negara-negara konsumen dari Eropa maupun negara lain. Dia menyebutkan eksportir perlu lebih berani bersaing di pasar Asia yang selama ini dikuasai China dan Jepang.

Indonesia selama ini termasuk dalam eksportir teh dunia terbesar mendampingi Kenya, China, India dan Sri Lanka. Importir terbesar teh Indonesia diduduki Rusia 17%-18%, diikuti Inggris 15%-16%, Pakistan dan Malaysia 8%-10%.

"Perusahaan saya saja sudah mulai masuk ke Jepang atau pasar yang selama ini cenderung dihindari. Padahal kita bisa bersaing dengan mereka," paparnya.

Namun, dia mengakui persaingan pasaran teh dunia semakin tajam dan ketat. Dampaknya, perkembangan volume ekspor teh Indonesia hanya berkisar 100.000 ton dalam lima tahun terakhir, atau tak mampu mencapai minimal 123.000 ton pada 1993.

Pada 2007, volume ekspor teh Indonesia naik sebesar 6% menjadi sekitar 104.000 ton dari total perkiraan produksi sebesar 155.000 ton. Volume produksi teh nasional sebenarnya mampu mencapai 165.000 ton.

Malik mengemukakan target nilai ekspor US$145 juta pada tahun lalu tak kesampaian. Meskipun begitu, dia optimistis kinerja ekspor selama Januari dan Februari 2008 dapat menembus nominal tersebut.

Dia beralasan faktor iklim dan cuaca di sejumlah daerah produksi kurang menguntungkan dengan adanya curah hujan yang cukup tinggi. "Karena itu, kami agak susah mematok target nilai ekspor tahun ini," ujarnya.

Hambatan nontarif


Faktor lain yang dinilai dapat menghambat kinerja ekspor teh a.l. pengenaan komoditas ini dalam kategori hambatan nontarif seperti di pasar Eropa.

Sejak Mei 2005, Inggris mempelopori penerapan hambatan nontarif teh Indonesia di Uni Eropa, berupa ketentuan Ethical Tea Partnership dan pemenuhan International Phytosanitary Standard for Wood Packaging ISPM 15.

Namun, Malik berharap masih tingginya harga teh Indonesia mampu mendongkrak ekspor. Perkembangan harga teh Indonesia saat ini di atas US$1 per kg, yang dinilai cukup baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pada 2006, rerata harga teh Indonesia mencetak rekor baru sebesar US$134,9 sen per kg, tetapi harga itu masih jauh di bawah Kolombo, Sri Lanka, 171,75 sen per kg dan pasar Mombasa, Kenya, US$147 sen per kg.

Oleh Fahmi Achmad
Bisnis Indonesia

bisnis.com

Wednesday, February 20, 2008

Kompas 21-Feb-08: Keadilan untuk Petani (Opini Toto Subandriyo, HKTI Tegal)

Keadilan untuk Petani
Kamis, 21 Februari 2008 | 02:36 WIB

Toto Subandriyo

Di negeri ini semua berubah, kecuali politik pangan. Meski pemerintahan silih berganti, pembangunan sektor pangan dan pertanian selalu menjadi subordinasi sektor ekonomi lainnya. Keberadaannya tak lebih sebagai pemadam kebakaran untuk mengamankan variabel makro, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan dagang.

Tesis Prof Mubyarto benar. Dinyatakan telah terjadi conflict of interest antara konsumen yang menginginkan harga pangan murah, sementara petani sebagai produsen mengharap harga yang wajar. Untuk mengamankan variabel makro, pemerintah cenderung prokonsumen dengan kebijakan politik pangan murah.

Akibatnya, secara struktural kehidupan petani terpinggirkan. Sektor pertanian hanya penting dan sensitif secara ekonomi dan politik, tetapi amat inferior dari segi sosial. Petani menjadi komoditas politik dan teman sementara menjelang kontrak politik pemilihan umum, setelah itu ditinggal dalam kemiskinan.

Simak data penduduk miskin di negeri ini yang hingga Maret 2007 mencapai 37,17 juta orang (16,58 persen). Dari jumlah itu, sekitar 68,55 persen merupakan penduduk pedesaan yang sebagian besar berprofesi sebagai petani (BPS, 2007).

Selama bertahun-tahun petani diperlakukan amat tidak adil. Berkali-kali harga BBM dinaikkan, mendorong kenaikan harga kebutuhan pokok, termasuk sarana produksi pertanian, seperti pupuk, obat-obatan, dan benih. Ironisnya, agar angka inflasi aman, harga produk hasil panen petani selalu ditekan dengan berbagai instrumen.

Di mana letak keadilan jika petani harus membeli benih jagung/padi hibrida Rp 30.000-Rp 40.000 per kilogram, tetapi saat hasil panen dijual hanya dihargai Rp 2.000 per kg, tak lebih dari dua batang rokok atau kurang dari 2 kg pupuk urea.

Ketidakadilan kian menganga jika dilihat dalam tataran kebijakan makro. Di mana letak keadilan jika uang Rp 45 triliun per tahun hanya dinikmati segelintir konglomerat untuk subsidi bunga/dana rekapitulasi perbankan (BLBI). Sementara uang Rp 6 triliun yang dinikmati 25 juta keluarga petani dalam bentuk subsidi pupuk pembahasannya selalu terjadi tarik ulur.

Harus diakhiri

Bagaimanapun, ketidakadilan seperti ini harus segera diakhiri. Politik pangan murah yang memarjinalkan petani sepantasnya ditinjau kembali. Untuk keperluan itu, lima prinsip manajemen pangan dari Leon Mears perlu diterapkan kembali.

Pertama, pemerintah harus menetapkan harga dasar (floor price) berbagai produk pangan utama, seperti gabah/beras, jagung, kedelai, serta gula. Hal ini dimaksudkan agar petani memperoleh insentif memadai dari kegiatan usaha tani sehingga tetap bergairah menanam dan meningkatkan produksi. Terkait gabah/beras, pemerintah perlu menerapkan kembali kebijakan beras untuk PNS/TNI/Polri. Kebijakan captive market ini dilakukan dengan pembelian sebanyak mungkin panenan petani minimal sesuai harga dasar. Melalui cara ini, turbulensi harga gabah/beras dapat dihindari.

Kedua, perlu ditetapkan harga maksimum (ceiling price) untuk melindungi konsumen dari kenaikan harga yang tak terkendali. Bagaimanapun, kenaikan harga bahan pangan amat potensial menaikkan jumlah penduduk miskin karena pengeluaran untuk pangan ini menempati porsi paling besar bagi keluarga kurang mampu. Cara yang dapat ditempuh antara lain dengan memberi subsidi pangan bagi penduduk miskin, misalnya melalui raskin, subsidi minyak goreng, atau padat karya (cash for work).

Ketiga, selisih harga dasar dan harga maksimum perlu dibuat longgar guna merangsang aktivitas perdagangan oleh swasta.

Keempat, adanya relasi harga antardaerah dan isolasi harga terhadap pasar dunia dengan fluktuasi yang lebar.

Kelima, pemerintah harus memperkuat stok penyangga (buffer stock) guna stabilisasi harga.

Menurut Peter Timmer, seorang ahli ekonomi pertanian Indonesia asal Amerika Serikat, masalah ketahanan pangan merupakan conditio sinequa non bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang mampu mempertahankan proses pertumbuhan ekonomi secara cepat dan berkelanjutan jika ketahanan pangan negara itu rapuh.

Ketahanan pangan yang kuat harus dibangun di atas fondasi yang kuat, berupa politik pangan yang menjunjung tinggi rasa keadilan, dan bukan mengorbankan petani untuk kepentingan politik jangka pendek.

Toto Subandriyo Wakil Ketua HKTI Kabupaten Tegal, Jateng

Tuesday, February 19, 2008

Bisnis 19-Feb-08: Pasar kopi Indonesia tahun ini diperkirakan meningkat


Agribisnis
Selasa, 19/02/2008
Pasar kopi Indonesia tahun ini diperkirakan meningkat
JAKARTA: RI berpeluang meningkatkan pangsa pasar ekspor kopi spesial menyusul permintaan komoditas itu di pasar global yang diperkirakan meningkat rata-rata 7% per tahun.

Peningkatan itu disebabkan perluasan pasar penikmat kopi spesial yang berasal dari biji kopi arabika sehingga harga biji kopi spesial itu juga meningkat dibandingkan dengan biji kopi robusta.

Ketua Umum Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (AKSI) Tuti H. Mocthar mengatakan pasokan kopi spesial dari dalam negeri ke pasar asing baru mencapai rata-rata 53.000 ton dari total ekspor kopi seluruhnya yang mencapai kisaran 300.000 ton pada 2007.

"Kelemahan kita adalah konsistensi kualitas kopi yang dihasilkan dan penguatan citra kopi khas asal Indonesia. Berbeda dengan Kolombia dan Brasil yang berhasil mempromosikan kualitas kopinya dan memperluas ekspor kopi khasnya," katanya.

Menurut Tuti, kopi Indonesia harus diberi merek khas sehingga membedakan produksi kopi dari negara lain.

Dia mencontohkan kopi nasional harus menggunakan nama daerah penghasilnya sehingga menjadi ciri khas kopi spesial.

Apalagi, tuturnya, sejumlah kopi asal Indonesia kini justru dipatenkan oleh negara lain seperti merek dagang Kopi Gayo yang dikuasai Belanda dan Kopi Toraja di Jepang.

Di sisi lain, Departemen Pertanian sendiri juga memprioritaskan pengembangan perkebunan kopi spesial dan organik untuk meningkatkan produksi komoditas itu di dalam negeri.

Sementara itu, Dirjen Perkebunan Deptan Ahmad Mangga Barani mengatakan sasaran pengembangan lahan kopi pada 2008 ditargetkan di areal seluas 4.090 hektare (ha) di 17 kabupaten pada 10 provinsi.

"Yang diutamakan adalah pengembangan kopi spesial atau kopi organik karena harga kopi ini dua kali lipat dibandingkan harga kopi biasa," katanya belum lama ini.

Oleh Aprika R. Hernanda
Bisnis Indonesia

© Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.

Bisnis 18-Feb-08: Perusahaan kakap incar kredit perkebunan BRI

Senin, 18/02/2008

Perusahaan kakap incar kredit perkebunan BRI

JAKARTA: Sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit tengah mengincar kredit inti plasma Bank Rakyat Indonesia (BRI), menyusul tahun ini bank pelat merah tersebut menyediakan plafon sebesar Rp3 triliun untuk kredit di sektor tersebut.

Sejumlah perusahaan papan atas yang tengah mengincar kredit BRI seperti, Sinarmas Group, Bakrie Plantation, Sampoerna Agro dan lainnya.

Saat ini ada sekitar 5-10 perusahaan, dari 15 perusahaan inti sawit yang berada di pipeline BRI, telah siap mencairkan pinjaman terkait dengan program Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP).

"Rata-rata perusahaan besar, seperti Sinarmas, Bakrie, Sampoerna dan lainnya. Mereka sudah mengajukan proposalnya, saat ini sedang kami seleksi," kata Direktur Bisnis Umum BRI Sudaryanto Sudargo kepada Bisnis di Jakarta, pekan lalu.

Menurut dia, di tengah menariknya harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di dunia, aksi korporasi perkebunan semakin besar. Dia mengungkapkan rata-rata pengajuan kredit untuk ekspansi perluasan lahan sekitar 10.000-20.000 hektare dengan sasaran investasi di daerah Kalimantan dan Sumatra.

Adapun biaya pembukaan lahan baru rerata Rp30 juta-Rp33 juta per hektare, sedangkan untuk lahan gambut membutuhkan dana sebesar Rp40 juta. Jadi sedikitnya Rp300 miliar yang diajukan setiap perusahaan.

Sudaryanto menyatakan jika di sektor perkebunan pihaknya siap menggelontorkan dana sebesar-besarnya dan menjadi lead dalam sindikasi kredit perbankan, meskipun pembiayaan tersebut ditujukan ke korporasi perkebunan.

"Jika korporasi perkebunan kami [siap jadi] lead, kami lebih banyak [porsinya]. Kalau ngak lead kami biayai sendiri, karena tanggung jawab kami. Selain itu, perbankan lain menilai kredit di perkebunan susah, itu kalau tidak berpengalaman," paparnya.

Hingga 2010 BRI berkomitmen menyalurkan KPEN-RP sebesar Rp12 triliun dan tahun ini bank pelat merah ini mengalokasikan kredi perkebunan sekitar Rp5 triliun- Rp7 triliun yang sebagian besar dialokasikan ke komoditas kelapa sawit.

Program itu sendiri merupakan upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat dengan dukungan kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah, yang melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra pengembangan.

Diharapkan, program tersebut dapat mendorong pengembangan revitalisasi dan perluasan perkebunan hingga 2 juta hektare pada 2010.

Belum lama ini, BRI juga telah mengucurkan kredit sebesar Rp1,09 triliun kepada empat BUMN perkebunan untuk pembiayaan revitalisasi perkebunan dan pabrik gula (PG) dalam rangka swasembada gula.

KUR lambat

Kendati BRI gencar menyalurkan kredit korporasi pada awal tahun ini, BUMN perbankan ini masih ketinggalan dalam menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) dibandingkan dengan bank lain.

Berdasarkan laporan realisasi penyaluran KUR Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM per 25 Januri 2008 penyaluran kredit BRI (Rp351 miliar) masih kalah dengan Bank Mandiri (Rp542 miliar).

Menanggapi hal itu, Sudaryanto mengakui pihaknya ketinggalan start dibandingkan dengan bank lainnya."Kalau masalah di KUR, Bank Mandiri lebih dulu mulainya. Kami akan kebut setelah itu. Tapi, pada dasarnya tidak ada masalah," tegasnya. (11) (redaksi@bisnis.co.id)

Bisnis Indonesia

bisnis.com

Kompas 19-Feb-08: Pertanian Organis - Bukan Hanya Soal Sertifikat


PERTANIAN ORGANIS
Bukan Hanya Soal Sertifikat
KOMPAS/ST SULARTO / Kompas Images
Pertanian organis di Cisarua, Bogor.
Selasa, 19 Februari 2008 | 01:56 WIB

St Sularto

Pertanian organis yang dirintis Pusat Pengembangan Organis di Tugu Selatan, Cisarua, tahun 1984 itu sudah merambah ke berbagai daerah. Di Lombok, di Jawa Tengah khususnya kawasan Magelang, di Bali petani mengusahakan pertanian organis. Di sejumlah mal tersedia gerai produk hasil pertanian organis, juga di beberapa toko khusus.

Pertanian organis pada awal-awal reformasi bahkan bentuk kemandirian petani, bahasa politiknya demokratisasi petani. Pada zaman Orde Baru, petani terpaksa merelakan tanaman organisnya dibabat aparat. Mereka harus menanam tanaman dan cara yang ditentukan pemerintah. Bibit dan cara tanam ditentukan pemerintah. Seragam!

Konsep penyeragaman tabu untuk zaman reformasi. Petani bisa menentukan sendiri jenis dan bibit usaha taninya.

Dalam suasana seperti itu usaha tani organis berkembang pesat, terutama pada awal-awal tahun 1999, berlanjut hingga sekarang. Awal tahun 2000 pemerintah bermaksud baik. Ingin melakukan standardisasi dan sertifikasi. Tujuannya agar konsumen tidak tertipu. Produk sayuran dan biji-bijian yang beredar di pasar benar-benar dari hasil usaha organis, yakni alamiah, tidak pakai pupuk buatan pabrik, tidak pakai insektisida buatan pabrik. Awalnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian, menanyakan dan mengajak bekerja sama dengan perintis pertanian organis di Tugu Selatan, yang sejak berdiri sampai sekarang ditangani Pastor Agatho Elsener OFM Cap.

Ajakan itu tidak serta-merta lancar. Menurut Agatho, pertanian organis tidak sekadar bercocok tanam secara alamiah, tanpa pupuk buatan pabrik, tanpa insektisida buatan pabrik. Pertanian organis tidak sekadar sertifikasi, tetapi sikap. Perlu perubahan besar. Sementara Departemen Pertanian lewat program Go Organic 2008 mendefinisikan pertanian organis sekadar nonkimia, nonpestisida. Perbedaan konsep sebagai dasar program membuat Agatho ditinggalkan begitu saja. Tahu-tahu ada tiga perusahaan yang memperoleh izin menstandarkan dan memberikan sertifikasi produk organis.

Awal November lalu Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengunjungi Pastor Agatho. ”Saya berterima kasih atas kunjungan itu. Dua hal dia singgung. Pertama soal program Go Organic 2010, kedua tentang pertanyaan training yang diselenggarakan di Pertanian Organis di bawah payung Yayasan Bina Sarana Bakti,” katanya kepada Kompas. ”Kami sudah menghasilkan alumni lulusan ratusan orang. Mereka kemudian menjadi petani organis di berbagai daerah.”

Pastor kelahiran Scwyz, Swiss, 75 tahun lalu, cucu penemu, pembuat, dan pemilik merek pisau victorinox itu bercerita bagaimana pada awalnya dia dihubungi Syukur Iwantoro dari Departemen Pertanian untuk ikut menangani usaha standardisasi dan sertifikasi pertanian organis di Indonesia. Ketika Syukur Iwantoro pindah ke jabatan baru, program kurang dibicarakan terbuka, kecuali tiba-tiba ada sejumlah perusahaan yang memperoleh lisensi memberi sertifikasi.

”Saya bilang ke Pak Menteri, pengembangan program pertanian organis tidak cukup hanya ditangani Menteri Pertanian, tetapi perlu melibatkan beberapa menteri. Pembentukan otoritas kompetensi sering tidak diuji dulu seberapa jauh lembaga itu punya kompetensi.”

Tambah Agatho, perbedaan pemahaman tentang konsep pertanian organis antara pihaknya dan pemerintah mungkin menjadi penyebab dia ditinggalkan.

Tidak berlatar belakang pertanian tetapi ilmu ketuhanan dan punya obsesi mengembangkan pertanian organis di Indonesia, Agatho tidak keberatan bekerja sama. Dia tawarkan usahanya—awalnya hanya 4 hektar sekarang 6 hektar sudah digarap sebagai kebun percobaan milik yayasan—dijadikan proyek percontohan. Caranya, ada orang Departemen Pertanian yang terlibat dalam pengelolaan sehari-hari. Luas lahan seluruhnya 12 hektar tetapi baru digarap 6 hektar dengan sekitar 100 karyawan itu sebulan rata-rata menghasilkan Rp 100 juta. Surat yang dikirim akhir November 2007 tidak ada tanggapan, sampai-sampai Agatho putus asa.

Kejengkelan

Di tengah kejengkelan dan putus asa, awal Februari ini Agatho diterima pejabat Departemen Pertanian yang mengurusi pertanian organis. ”Saya diterima setelah lebih dari 50 kali menelepon,” kata Agatho, pekan lalu. ”Mereka mau bekerja sama dan mendukung usaha kami.” Bentuk dan syaratnya belum dibicarakan, termasuk perlunya titik temu perbedaan konsep pertanian organis. ”Ini langkah yang bagus, ada kemajuan, dan kami merasa berpengalaman sekaligus memiliki lahan paling luas sebab umumnya petani organis paling luas hanya 2 hektar.”

Mengenai konsep pertanian organis, Agatho lewat Pusat Pengembangan Organis di bawah payung Yayasan Bina Sarana Bakti tidak hanya melakukan percobaan, melainkan juga pengkajian dan training. Buku-buku tentang pertanian organis memenuhi kamar kerjanya, selain ruang laboratorium yang mengkaji percobaan-percobaan yang dipimpin dua insinyur pertanian lulusan UGM, Sudaryanto dan Triatmi Sihwinarni, sisa-sisa dari 20 insinyur yang mengawali proyek itu tahun 1984.

”Yang benar organis, bukan organik,” kata Agatho. Organis menggambarkan satu unit/kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian yang semua teratur, terarah pada kepentingan bersama, yakni harmoni. Pertanian organis tidak hanya nonkimia dan nonpestisida. Bukan juga soal sertifikasi. Pertanian organis menyangkut sikap dan pandangan hidup. Organisme alam terdiri atas binatang, tumbuhan, hutan, dan biotop lainnya. Semua bisa hidup karena dukungan semua organnya, dan setiap organ bertujuan hanya satu, yakni melayani organisasinya. Kalau organ melayani dengan baik, organisme makin sehat.

Oleh Agatho dan teman-temannya, konsep organis dengan analogi tubuh manusia itu dalam usaha tani organis dikembangkan lewat kesatuan antara unsur-unsur kehidupan, iklim, binatang, dan tumbuhan. Pertanian organis menjadi berbiaya murah ketika peternakan dan pertanian jalan bersama sebagai satu kesatuan usaha. Ada peternakan sapi yang menghasilkan kotoran untuk pupuk, hasil sayuran yang bisa jadi bahan makan untuk binatang.

”Nah, pertanian organis menyangkut sikap dan pandangan hidup sehingga pertanian organis adalah keniscayaan bagi kelestarian alam. Intensifikasi pertanian sebagai pengembangan dari slogan Revolusi Hijau dalam praktik adalah memperlakukan alam dengan kerakusan besar, mengakibatkan usaha tani rentan hama dan pergantian iklim,” jelas Agatho.

Menyaksikan petak-petak lahan percobaan dengan berbagai jenis sayuran organis di Pusat Pengembangan Organis, spontan terkesan tanaman kurang terawat. Bukan hijau tua subur, tetapi terlihat kurus, sedikit layu, kurang pupuk. ”Ini memang kesan umum tanaman organis. Berbeda dengan sayuran yang dipupuk dengan pupuk pabrik dan insektisida buatan pabrik,” kata Sudaryanto, tangan kanan Agatho, insinyur pertanian tetapi merasa pengetahuan tentang ilmu pertaniannya kalah jauh dibandingkan dengan Agatho. ”Romo Agatho itu sudah sekelas lulusan doktor,” katanya.

Menurut Sudaryanto, dalam situasi global, membangun pertanian, khususnya bagi petani, harus dimulai dari yang kecil. ”Untuk menjadi petani yang sukses, harus dimulai saat ini, yakni menjalankan pertanian berwawasan lingkungan dan pertanian organis dalam praktik.” Kalimat itu meluncur spontan, mengutip Y Wartaya Winangun SJ, pimpinan Kursus Pertanian Taman Tani, Salatiga (Membangun Karakter Petani Organik yang Sukses dalam Era Globalisasi, Kanisius, 2005). Membangun karakter petani yang sukses butuh tiga M, Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang kecil, Mulai dari saat ini. Keberhasilan yang besar diawali dari keberhasilan kecil-kecil.

Mengenai sertifikasi, seperti Agatho, Sudaryanto melihat, masalah cap berurusan dengan izin atau lisensi dan pungutan; kurang lebih itulah pandangan yang berkembang umum. Pemegang lisensi yang saat ini dimiliki tiga perusahaan seharusnya mengontrol saja usaha tani organis, apalagi pengalaman dan kompetensi mereka tentang pertanian organis belum teruji.

Biarkan petani yang mengembangkannya dalam konsep yang lebih utuh, tidak sekadar tanpa pupuk pabrik, tanpa obat kimia. Beberapa petani bersama-sama membangun kemandirian, termasuk menjamin produk sayurannya adalah organis. Sementara kalau pemegang lisensi hanya duduk di belakang meja dan main kasih stempel, sertifikasi sayuran organis bisa saja berasal dari bukan usaha pertanian organis.

Perintisan pertanian organis di Cisarua tidak selesai dengan begitu berkembangnya usaha tani organis, tidak sekadar utopia melawan Revolusi Hijau yang saat ini berkembang di berbagai daerah. Agatho, Sudaryanto, Triatmi bersama seratus karyawannya selain masih berjuang menjelaskan tentang konsep organis seperti yang seharusnya, kini berjuang agar hasil usaha organis tidak dimanipulasi oleh sertifikasi.

”Dengan pertemuan awal Februari di Jakarta itu, kami masih berharap bisa memberikan masukan, selain masalah sertifikasi juga pertanian organis tidak sekadar usaha tani tanpa pupuk pabrik, tanpa obat kimia,” jelas Agatho Elsener, ahli pemuliaan tanah, otodidak ilmu pertanian, pastor Ordo Fransiskan yang ditahbiskan tahun 1958, datang di Indonesia tahun 1960, memperoleh kewarganegaraan Indonesia tahun 1983.

Bisnis 19-Feb-08: BRI Biayai Kebun Sawit Tanah Bumbu


Keuangan
Selasa, 19/02/2008
BRI biayai kebun sawit Tanah Bumbu
BOGOR: PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk menandatangani nota kesepahaman pengembangan kebun sawit seluas 6.000 hektare di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan dengan nilai kredit Rp211 miliar.

Kesepakatan tersebut diteken oleh Dirut PT BRI (Persero) Tbk Sofyan Basir, Rektor Institut Pertanian Bogor Herry Suhardiyanto dan Bupati Tanah Bumbu Zairullah Azhar di kampus IPB, kemarin.

Sofyan mengatakan pihaknya siap menyukseskan pengembangan perkebunan sawit tersebut degan menyediakan kredit Rp211 miliar untuk seluruh kebutuhan pengembangan kebun sawit tersebut.

"Revitalisasi kebun sawit ini dilakukan dengan pola kemitraan inti plasma dengan melibatkan academician-business-government-community (ABGC) dalam hal ini IPB dan Pamkab Tanah Bumbu," katanya.

Dia menjelaskan revitalisasi kebun sawit itu merupakan program pemerintah dalam upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat khususnya komoditas kelapa sawit, karet dan kakao.

Kerja sama tersebut meliputi perluasan lahan, peremajaan dan rehabilitasi kebun sawit yang didukung oleh kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah serta melibatkan perusahaan mitra dalam pembangunan kebun, pengolahan sampai pemasaran hasilnya.

Untuk kredit inti plasma BRI, Sofyan memaparkan saat ini telah terdapat 42 calon debitor yang mengajukan pembiayaan untuk pengembangan kebun sawit dengan nilai pengajuan mencapai Rp6-Rp7 triliun.

Rektor IPB Herry Suhardiyanto mengatakan kerja sama tersebut ditujukan untuk meningkatkan kesempatan kerja melalui pengembangan perkebunan sawit sebagai program pengentasan kemiskinan.

Pembangunan kebun ini, dilakukan tiga tahap seluas 6.000 hektare mulai 2008 hingga 2010 di mana tahun ini akan dikembangkan 1.000 hektare lahan inti dan 1.000 hektare lahan plasma.

Selanjutnya, kata dia, pada 2009 akan dikembangkan 1.500 hektare lahan inti dan 1.000 hektare lahan plasma dan sisanya pada 2010 seluas 1.500 hektare.

Bupati Pemkab Tanah Bumbu Zairullah Azhar mengatakan dalam kerja sama tersebut pihaknya berperan sebagai penyedia lahan untuk pengembangan kebun sawit. (17)

Bisnis Indonesia

© Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.

Monday, February 18, 2008

Kompas 18-Feb-08: Endi, Optimisme Petambak Udang

Endi, Optimisme Petambak Udang
KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN / Kompas Images
H Endi
Senin, 18 Februari 2008 | 01:22 WIB

Mukhamad Kurniawan

Era keemasan komoditas udang windu Indonesia bisa dikatakan meredup sejak satu dasawarsa terakhir. Petambak udang H Endi (49) ingin membalikkan anggapan itu. Ia bekerja keras memacu produksi. Dia optimistis udang windu akan kembali menjadi ”raja” udang ekspor Indonesia seperti pada era 1980 hingga 1990-an.

Petak-petak tambak di lahan seluas 1 hektar milik Endi, yang kerap disapa Pak Haji, di Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, awal Februari 2008, dikunjungi rombongan dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan. Ketika itu Endi dan beberapa pekerja sedang panen perdana di tambaknya yang beririgasi tertutup dan dipadu dengan penggunaan probiotik lokal.

Dari 1 hektar tambaknya, Endi bisa memanen 10 ton udang windu. Hasil itu terbilang cukup besar jika dibandingkan dengan produktivitas sebagian besar tambak di pesisir utara Jabar yang maksimal 4 ton sampai 5 ton per hektar.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan Made L Nurjana menyebut angka produksi itu luar biasa. ”Ini merupakan momen kebangkitan kedua udang windu Indonesia. Jika seluruh petambak meniru semangat Pak Haji, komoditas ini pasti akan berjaya lagi,” tutur Made.

Jatuh bangun

Keberhasilan Endi sebagai petambak udang tidak diraih dalam waktu singkat. Selepas lulus dari Akademi Usaha Perikanan atau kini Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta, tahun 1983, Endi sempat mengajar di Sekolah Usaha Perikanan Menengah di Manado, Sulawesi Utara, karena ikatan kedinasan.

Akan tetapi, profesinya sebagai guru hanya bertahan empat bulan. Endi tak betah. Ia kemudian kembali ke kampungnya di Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok, Karawang. Di sini dia bekerja di tambak milik investor Taiwan. Namun, itu pun hanya berlangsung enam bulan. Ia kembali mengajar di madrasah dan sekolah menengah setempat.

Setelah mempersunting Heni Rohaeni tahun 1986, Endi merantau ke Belitung untuk mencari penghasilan yang lebih baik. ”Gaji guru ketika itu kurang memadai, apalagi untuk saya yang sudah berkeluarga,” ujarnya.

Ia diterima bekerja di tambak di daerah itu. Setelah dua tahun bekerja, Endi kembali lagi ke Karawang untuk mengelola tambak secara mandiri. Dengan berwirausaha, ia yakin akan lebih bebas mengatur dan mengendalikan keuangannya secara mandiri.

Pengalaman bekerja di beberapa petambak bermodal besar membuat Endi berani mengelola tambak. Tahun 1990 dia membeli tambak seluas 5 hektar di daerah Cikiong, Karawang.

”Pada awal-awal punya tambak sendiri, harga jual udang jatuh hingga Rp 6.500 per kilogram. Padahal ongkos produksinya mencapai Rp 9.500 per kilogram,” ucapnya.

Endi ikut merasakan masa-masa sulit ketika petambak terus-menerus rugi karena kualitas perairan memburuk, serangan virus, serta pencemaran. Tetapi, Endi sempat juga merasakan nikmatnya usaha tersebut ketika udang menjadi primadona komoditas ekspor Indonesia.

Setelah tahun 1996, satu per satu pembudidaya meninggalkan tambak. Sebagian ada yang bertahan dengan sisa-sisa keberanian dan modal yang dimiliki. Endi adalah satu dari sekian petambak yang bertahan. Membudidaya udang atau bandeng tanpa pakan menjadi salah satu pilihan pada saat sulit.

Probiotik lokal

Endi tekun mengatasi permasalahan. Ia berkonsultasi dengan peneliti untuk mengatasi serangan virus white spot, atau kualitas air yang berangsur menurun. Sadar akan keterbatasannya, dia secara rutin meminta tolong peneliti di Unit Pembenihan Budidaya Air Payau (UPBAP) serta Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau, dan Udang (BP BPLAPU) untuk meneliti kualitas air, endapan dasar tambak, serta udangnya.

Kebetulan lokasi UPBAP dan BP BPLAPU yang berada di Desa Pusakajaya Utara, Kecamatan Cilebar, Karawang, hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari tambaknya. Akhir tahun 2006 Endi mencoba teknologi irigasi sistem tertutup yang masih jarang digunakan petambak. Ia yakin cara itu mampu mengobati penyakit udang karena fluktuasi suhu, kadar keasaman, serta kualitas air laut.

Dengan sistem itu, tingkat keasaman (pH), kadar garam (salinitas), hingga populasi bakteri merugikan di dalam air bisa dikendalikan. Salah satunya adalah dengan penggunaan probiotik. Bakteri yang terkandung memiliki beragam kegunaan sesuai dengan jenisnya.

Suatu saat ia menantang kawannya, seorang ahli bioteknologi lulusan Institut Teknologi Bandung, untuk menyelesaikan masalah itu. Endi yakin jenis bakteri yang berkembang di tambaknya tidak seluruhnya merugikan. Ia meminta air, tanah, dan endapan untuk diteliti. Hasilnya, sang peneliti menemukan beberapa bakteri menguntungkan.

”Saya yakin probiotik berupa bakteri asli daerah sinilah yang cocok dikembangkan karena karakter tambak satu dan lainnya berbeda,” kata Endi.

Penggunaan probiotik lokal dalam tambak beririgasi sistem tertutup miliknya terbukti melipatgandakan produksi udang windu. Dengan probiotik lokal, dari satu petak lahan seluas 2.000 meter persegi dan tebaran bibit sebanyak 60.000 ekor, Endi bisa memanen 2 ton udang windu atau 10 ton per hektar. Padahal, dengan jumlah tebaran yang sama, dia biasanya hanya memanen 0,8-1 ton per petak atau 4-5 ton per hektar.

Dengan periode budidaya 110-120 hari, ukuran udang windu produksi Endi juga lebih besar. Sebelumnya, ukuran udang rata-rata 30-an ekor per kg. Dengan probiotik itu, ia bisa memanen udang hingga ukuran yang bisa diterima pasar luar negeri, yaitu 20-an ekor per kg.

Probiotik berfungsi menyeimbangkan jumlah mikroorganisme di perairan, mengurangi residu sisa pakan, membantu daya tahan udang, serta memacu pertumbuhan. Menurut Endi, selain membuat udang sehat, cepat besar, dan tahan terhadap penyakit, probiotik yang dia gunakan juga mempercepat proses pemurnian air secara bakterial. Karena itulah ia tidak lagi mengosongkan sementara sebagian petak tambaknya sebelum digunakan lagi.

”Bakteri membantu proses penguraian serta pemurnian air. Kini 11 petak tambak bisa saya gunakan sekaligus dan satu petak lain untuk tandon filter. Dulu, saya harus mengosongkan enam petak selama dua bulan ketika menggunakan enam petak lainnya,” ujar Endi.

Kini, hasil panen udangnya melimpah dengan ukuran yang diterima pasar luar negeri, yaitu 20 ekor per kg. Namun Endi belum puas. Udang di satu dari 11 petak dibiarkannya tetap hidup meski usianya telah lebih dari 120 hari.

”Saya tertantang ketika diminta memproduksi udang ukuran belasan ekor per kilogram. Satu petak ini sengaja tidak saya panen untuk uji coba,” ujarnya.

”Selalu ada jalan untuk setiap masalah. Kembalikan kejayaan udang windu Indonesia, saya yakin bisa…,” katanya optimistis.



http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.18.01223071
&channel=2&mn=13&idx=13

Sunday, February 17, 2008

Tempo Interaktif 15-Feb-08: Petani Minta Harga Pembelian Pemerintah Naik

Petani Minta Harga Pembelian Pemerintah Naik
Jum'at, 15 Pebruari 2008 | 19:37 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Kalangan petani meminta pemerintah untuk menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Sebab harga yang dipatok pemerintah saat ini tidak memberi keuntungan riil bagi petani.

"Dengan rencana pembatasan bahan bakar minyak yang sama saja dengan menaikkan harga bensin, ditambah lagi beban biaya hidup selama ini, petani makin tertekan. Kalau pemerintah naikkan HPP, sedikit banyak bisa memperbaiki nasib petani," ujar Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (Wamti) Agusdin Pulungan kepada Tempo, di Jakarta, Jumat (15/2).

Seperti diketahui, Instruksi Presiden (Inpres) No 3/2007 tentang Kebijakan Perberasan yang dirilis 1 April tahun lalu menyebutkan harga pembelian pemerintah (HPP) per kilogramnya untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp 2.000, gabah kering giling (GKG) Rp 2.575, dan beras Rp 4.000.

Agusdin menilai, HPP untuk gabah kering panen yang ideal saat ini sekitar Rp 2.500-2.600 per kilogram. "Dengan begitu, diharapkan petani sudah punya posisi ketika berhadapan dengan para pengumpul dan tengkula, kalaupun Bulog tidak langsung membeli dari petani," katanya.

Ia menjelaskan, beberapa daerah sentra produsen beras saat ini sudah memasuki masa panen. Namun tidak semua hasil panen itu dibeli oleh Perum Bulog. "Padahal kita berharap Bulog bisa membeli gabah ataupun beras untuk menggerakkan pasar. Secara moral, Bulog memang harus mendahulukan membeli dari petani dalam negeri untuk meningkatkan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan," kata Agusdin.

Menurut dia, harga gabah kualitas baik seperti yang dipanen di daerah Sumatera Selatan dan Sumatera Barat sebesar Rp 2.400-2.800 per kilogram tidak bisa dibeli Bulog karena harganya di atas HPP. Sedangkan gabah kualitas buruk karena basah terkena hujan seperti yang terdapat di Subang, Karawang, dan Sragen harganya jatuh menjadi Rp 1.700-2.000 per kilogram.

Secara terpisah, Koordinator Wamti Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Adam Barnas menilai kenaikan harga gabah di tingkat petani melampaui HPP belum menguntungkan petani. Sebab, kenaikan harga gabah juga diiringi kenaikan biaya produksi. "Biaya buruh per hari yang tadinya Rp 17.500 naik jadi Rp 20.000. Ditambah lagi keterlambatan pupuk datang ke petani yang berpotensi menurunkan produksi ke depan," katanya.

Sementara itu, pemerintah memastikan hingga kini belum ada rencana merevisi Harga Pembelian Petani. Pasalnya, harga yang berlaku di pasar saat ini dinilai sudah cukup memberi keuntungan bagi petani. "HPP masih belum berubah dan tidak harus direvisi tiap tahun," ujar Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Ardiansyah Parman.

Hasil survei Badan Pusat Statistik dan PT Sucofindo beberapa waktu lalu menyebutkan selama 2007 hingga kini, harga di tingkat petani sudah 30 persen di atas HPP. "Harga sudah bagus seperti sekarang. Tapi bukan artinya harus dibeli bulog," kata Ardiansyah.

Pasalnya, Ardiansyah melanjutkan, tugas Bulog memang bukan untuk membeli seluruh produksi petani, tapi menjaga agar harga di tingkat petani tidak anjlok. "Jika harga gabah di tingkat petani yang lebih besar dari HPP silakan dibeli oleh mekanisme pasar," katanya.

RR Ariyani

http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/02/15/brk,20080215-117608,id.html

Saturday, February 16, 2008

Bisnis 14-Feb-08: HKTI: Distribusi pupuk bersubsidi jangan serahkan ke pedagang

Kamis, 14/02/2008 19:23 WIB

HKTI: Distribusi pupuk bersubsidi jangan serahkan ke pedagang

oleh : Djony Edward

JAKARTA (Antara): Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengingatkan pemerintah agar tidak menyerahkan distribusi pupuk bersubsidi kepada pedagang karena hanya akan merugikan petani.

Ketua HKTI, Prabowo Subianto di Jakarta, Kamis menyatakan, pabrik pupuk merupakan milik negara dan ongkos produksinya dibiayai dengan uang rakyat melalui APBN, namun begitu menghasilkan pupuk yang dibutuhkan rakyat justru distribusinya diserahkan kepada pedagang.

"Distribusi pupuk bersubsidi jangan diserahkan ke pedagang karena pedagang mencari untung," katanya ketika menerima sejumlah petani unggulan peserta Apresiasi Pengembangan SDM Pertanian 2008.

Kegiatan tersebut diikuti 33 petani dari 11 kabupaten yakni Kabupaten Maros, Sulsel, Kabupaten Bungo, Jambi, Kabupaten Bulungan dan PPU, Kaltim, Kabupaten Banyuwangi, Mojokerto, Nganjuk dan Kediri Jatim serta Kabupaten Klaten, Boyolali dan Brebes.

Sebelumnya sejumlah petani yang diterima Ketua HKTI tersebut mengungkapkan terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi di wilayah mereka serta tingginya harga sarana produksi tersebut melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

"Ketika kami membutuhkan pupuk pada saat musim tanam justru langka dan harganya tinggi," kata Haryanto petani asal Kabupaten Klaten.

Dia mengungkapkan harga pupuk bersubsidi di pasaran mencapai Rp70.000/karung isi 50 kilogram lebih tinggi dari yang seharusnya Rp52.500/karung.

Prabowo yang juga Ketua Umum Asosiasi Distribusi Barang-barang Bersubsidi menyatakan, barang-barang bersubsidi bukan barang dagangan sehingga tidak boleh didistribusikan oleh pedagang karena mereka hanya mencari keuntungan.

Oleh karena itu, tambahnya, untuk membenahi sistem distribusi pupuk bersubsidi HKTI mengusulkan kepada pemerintah agar penunjukan distributor sarana produksi tersebut dilakukan oleh bupati.

Menurut dia, bupati merupakan pejabat yang mengetahui secara langsung kebutuhan pupuk maupun jumlah petani di wilayahnya sehingga penunjukkan distributor oleh bupati dirasa lebih tepat guna mengantisipasi rembesan pupuk subsidi yang seharusnya untuk tanaman pangan ke sektor lain.

"Bupati merupakan ujung tombak dalam pendistribusian pupuk. Oleh karena itu penunjukan distributor seharusnya diberikan ke bupati, mereka juga bisa mencabut izin distributor yang nakal," katanya.

Distributor pupuk bersubsidi, tambahnya, seharusnya tidak mengambil keuntungan secara langsung dari komoditas yang dimaksudkan untuk membantu petani tersebut namun dari margin ongkos angkut atau manejemen distribusi.

bisnis.com

http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribisnis/1id43855.html

Bisnis 15-Feb-08: Jepang beri hibah untuk petani miskin RI


Jumat, 15/02/2008 13:45 WIB

Jepang beri hibah untuk petani miskin RI

oleh : Hilda Sabri Sulistyo

JAKARTA (Bisnis): Pemerintah Jepang menghibahkan 420 juta yen (Rp36,1 miliar) kepada pemerintah Indonesia untuk membantu petani miskin di pedesaan dalam meningkatkan produksi pangan dengan menyediakan pupuk serta alsintan (alat dan mesin pertanian).� "Bantuan hibah ini dikenal sebagai bantuan Putaran Kennedy Kedua (SKR) karena kali ini ditujukan untuk petani miskin terutama yang tidak punya lahan. Pada putaran pertama hibah diberikan untuk semua kategori petani," kata Sekjen Deplu Imron Cotan.Dia berbicara seusai penandatanganan nota kesepahamanan hibah itu yang dilakukan bersama Dubes Jepang Shin Ebihara atas nama pemerintah masing-masing. Program SKR di Indonesia telah dilaksanakan sejak 2000 termasuk dalam skema bantuan resmi Jepang (Japan Official Development Assistance/ODA). Pada mulanya, kata Imron, program ini bernama Grant Aid for Increase of Underprivileged Farmers dengan sasaran program diutamakan membantu petani kecil dan kurang mampu. Imron tidak memiliki data teknis berapa jumlah petani yang akan dibantu dan di wilayah mana karena masalah teknis ada di Deptan. Namun Deptan tidak mengirimkan pejabatnya ke acara tersebut.

Dubes Shin Ebihara mengungkapkan hibah ini untuk meningkatkan produksi pangan yang menjamin adanya pasok beras bagi keamanan pangan di Indonesia. Untuk itu pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan distribusi pupuk bermutu secara berimbang di kalangan petani.

Guna memperluas kegiatan inilah, pemerintah Indonesia mengajukan bantuan SKR kepada pemerintah Jepang untuk pembelian pupuk potassium klorida (MOP) yang tidak dapat diperoleh di Indonesia. Pupuk tersebut rencananya akan dijual dengan harga murah pada petani miskin dan dana yang terkumpul dari hasil penjualan itu digunakan untuk membantu petani yang lebih miskin sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan.

Menurut dia, masalah pengentasan kemiskinan menjadi prioritas. Sebagai satu-satunya negara donor terbesar yang menjadi mitra Indonesia, Jepang berkomitmen untuk terus mendukung usaha-usaha pembangunan yang dilakukan.(tw)

bisnis.com

http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribisnis/1id44076.html

Thursday, February 7, 2008

LampungPost 3-Feb-08: Surono Danu, Petani Yang Tak Henti Meneliti Tanaman (Padi Unggul Sertani-1)


Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 3 Februari 2008
Surono Danu, Petani yang tak Henti Meneliti Tanaman


BANDARJAYA (Lampost): Tidak pernah terbayang oleh Surono Danu kalau gubuknya di Desa Onoharjo, Lampung Tengah, bakal dikunjungi mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Bahkan, bermimpi pun ia tidak pernah bersalaman dengan Ketua Umum PDI Perjuangan itu.

Tapi, Sabtu (2-2) kemarin, Megawati bersama petinggi PDI Perjuangan secara khusus mengunjungi rumah Surono. Kehadiran Mbak Mega untuk mengapresiasi benih padi unggul Sertani-1 temuan Surono. Itulah kenyataan yang tidak pernah ia impikan sebelumnya.

Sehari sebelum peristiwa bersejarah bagi Surono itu, Lampung Post bertandang ke rumah "sang peneliti". "Inilah istana seribu jendela, tempat berteduh kami. Setiap lubang di dinding geribik ini adalah jendela. Kalau hujan, air hujan pun ikut berteduh ha..ha..ha," kata Surono mengawali pembicaraan, Jumat (1-2) siang.

Pria tinggi-kurus ini memaparkan awal "keterjerumusannya" meneliti tanaman. Surono menjejakkan kaki pertama kali di Lampung tahun 1982 di Desa Bungkuk, Jabung, Lampung Timur. Saat itu ia meneliti dan mengenalkan beberapa tanaman kepada petani. Ia membuat pola pengembangan tanaman nilam dan vanili. "Tujuan saya untuk menambah komoditas di Lampung yang otomatis akan menambah income petani," ujar Surono.

Tahun 1984, ia melanjutkan penelitian dan pengenalan bercocok tanam yang baik ke umbulan Way Pengubuan, persisnya Kampung Terbanggibesar. Ia membawa benih nilam dan melakukan hal serupa kepada petani di sana. Namun, bibit nilam disimpan di Talang Jago, Bukit Kemuning. Ia juga mengenalkan benih jagung hibrida C-1, sekaligus mengajari petani cara bercocok tanam yang baik.

Namun, rupanya Surono kurang puas dengan hasil yang diperoleh petani di Terbanggibesar. Ia pun "bertualang" lagi ke daerah lain di Bumi Ruwa Jurai. Seperti Kalinda, Kotaagung, dan daerah lain sembari meneliti benih padi unggul.

Selama bertualang, Surono mengaku lebih banyak berjalan kaki. Maklum, kondisi ekonominya jauh dari cukup. "Jangankan beli kendaraan, untuk ongkos saja tidak punya," kata dia.

Selama bertahun-tahun ia menjelajahi daerah-daerah pertanian di Lampung. Hasilnya, Surono mengoleksi 181 jenis benih padi. Benih-benih itu dia teliti dan kemudian menetapkan tiga jenis benih padi unggulan. Ketiga jenis benih padi itu pun ia uji dan teliti.

Untuk benih jantan, Surono memilih padi asal Terbanggibesar yang diberi nama Dayang Rindu. Sedangkan benih betina dipilih dua jenis padi, yakni asal Kampung Gunungbatin, Terusannunyai yang dinamainya "Si rendah sekam kuning" dan "Si rendah sekam putih".

Sejak 1985, Surono praktis memusatkan penelitiannya pada ketiga jenis padi itu. Dari hasil persilangan benih itu, 10 tahun kemudian ia menemukan benih padi yang berusia 150 hari. Dan, tujuh tahun kemudian--dengan rumus ciptaan dan pengetahuan yang dimilikinya--Surono akhirnya menemukan benih padi berusia 135 hari.

Meski hasilnya cukup spektakuler, Surono belum puas juga. Ia masih terus meneliti dan tahun 1997 ditemukanlah benih padi berusia 105 hari. Benih padi itu pun ia beri nama Sertani-1.

Sembari mengembangkan benih Sertani-1 dan mengenalkannya pada petani, Surono terus meneliti. Dua tahun kemudian (1999), dia berhasil menemukan benih padi dengan usia panen 95 hari. "Benih padi itu akan kita iberi nama EMESPE-1 singkatan dari Mari Sejahterakan Petani. Saat ini benih padi jenis EMESPE sudah ditanam di Bogor, masih akan diuji tanam dan dalam paket analisis," ujar pria yang sangat tertekan semasa rezim Orde Baru itu.

Modal Semangat

Selama 20-an tahun melakukan penelitian, Surono tidak pernah menerima dan meminta imbalan dari siapa pun. Semua yang dia lakukan semata-mata didorong oleh keinginannya menyejahterakan orang banyak, terutama petani.

Hal yang membuat Surono tidak pernah surut untuk meneliti adalah sikapnya yang kritis dan selalu bersemangat. "Saya tidak punya apa-apa kecuali sikap kritis dan spirit. Seperti virus, inilah yang saya sebarkan kepada masyarakat. Jika kebaikan dan pengetahuan kita sebarkan seperti virus, maka masyarakat akan kuat," ujarnya.

Dalam keseharian, Surono selain dikenal ramah dan tegas, juga terbuka pada siapa pun. Selain tekun meneliti tanaman, ia juga memiliki kemampuan meracik obat-obatan herbal. Sudah banyak orang sakit yang disembuhkan oleh racikan obatnya.

Benih unggul temuan Surono kini menjadi perbincangan. Bukan hanya di Lampung, juga seantero Indonesia. Meski demikian, kehidupan ekonomi Surono belum beranjak naik. Ia tetap saja seorang petani desa yang hidup penuh kesederhanaan. "Ibarat lukisan, saya ini lukisan abstrak, tidak jelas tapi mempunyai arti," ujar Surono menggambarkan dirinya. ANDIKA SUHENDRA/X-2



http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2008020215500813

Wednesday, February 6, 2008

Kompas 6-Feb-08: Prabowo "Kampanye" di Televisi

Prabowo "Kampanye" di Televisi
Rabu, 6 Februari 2008 | 15:05 WIB

JAKARTA, RABU-Mantan Panglima Kostrad dan Danjen Kopassus Letjen (Purn) Prabowo Subianto "berkampanye" di televisi.

Dalam kapasitasnya sebagai ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Prabowo mengimbau agar rakyat Indonesia membeli produk-produk bahan makanan dari dalam negeri.

Dalam iklan berdurasi sekitar satu menit, Prabowo digambarkan sedang menyapa para petani. Selain itu, ditampilkan pula gambar kegiatan para petani di Indonesia. Narasi dari iklan tersebut adalah suara dari Prabowo.

Konsep dari iklan "Prabowo dan Petani Indonesia" mirip dengan konsep saat Prabowo berkampanye jelang Pemilu Presiden 2004. Intinya, mengajak rakyat Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan.(ROY)


http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.02.06.1505484&channel=10&mn=1&idx=1

Monday, February 4, 2008

vhrmedia.com 4-Feb-08: Setia pada Petani

Setia pada Petani

Yuliyanti

DERING telepon tak henti-henti berbunyi. Hari itu, tanggal 5 Januari 2008, merupakan hari bersejarah bagi Henry Saragih. Sebuah harian terkemuka di Inggris, The Guardian, memilihnya sebagai satu di antara 50 Pahlawan Lingkungan Hidup Dunia.

Henry Saragih adalah Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) dan juga Ketua Gerakan Petani Internasional, La Via Campessina. Henry mengaku pantas menerima penghargaan itu sebagai bentuk pengakuan dari perjuangan petani-petani di dunia yang menentang neoliberalisme selama belasan tahun. "Apa yang kita perjuangankan itu dirasakan anggota. Mereka bisa mengambil tanah-tanah yang menjadi hak mereka dan bisa membuat gembira. Itu yang membuat kita merasa memiliki kebanggaan," ujarnya dengan rendah hati.

Sejak diumumkan di media-media nasional dan internasional, aktivitas Henry pun bertambah. Selain mengunjungi petani-petani di berbagai tempat lndonesia, ia juga melakukan berbagai pertemuan di luar negeri. Henry menerima banyak undangan baik diskusi maupun seminar sebagai pembicara. Ketika harga kedelai naik, produsen tempe dan petani panik, Henry Saragih adalah salah satu orang yang diincar oleh banyak pemburu berita. "Mereka kan cari pendapat lain, kita kan selalu ditanya untuk pendapat lain," katanya dengan canda.

Sore hari. Saya mengunjungi kantornya di Mampang Prapatan XIV nomor 5 Jakarta Selatan. Henry baru tiba dari India. Di negeri "Bollywood" itu ia mengikuti rapat konsolidasi untuk aksi besar petani-petani India pada Maret mendatang. Segudang jadwal sudah dipersiapkan untuk Bang Henry, begitu sapaannya.

Hampir satu jam menunggu, akhirnya saya bisa menemuinya. Meskipun terlihat lelah, Henry masih sempat membuat kami tersenyum-senyum, dengan logat Sumatera Utara dan gayanya yang ceplas-ceplos.

Sepak terjangnya sudah dimulai sejak duduk di bangku kuliah pada tahun 1983. Pria kelahiran Sumatera Utara 44 tahun silam ini sudah aktif dalam organisasi petani yang didirikannya bersama serikat-serikat petani di Sumatera Utara. Henry sudah aktif mengembangkan pertanian organik dengan menentang penggunaan pupuk kimia dan rekayasa genetika. "Orang kini percaya yang organik itu bagus untuk kesehatan," kata bapak dua anak ini.


Henry optimistis sebelum mendapat pengakuan dari The Guardian. Prediksi dan teori-teori yang dikemukakannya sekarang banyak yang mulai mempercayainya.

Henry yang jago mengorganisasikan masyarakat ini bersama kawan-kawan kuliahnya sempat membuat pembangkit listrik mikrohidro, pembangkit listrik tenaga air. Namun belum selesai eksperimennnya itu, terjadi peristiwa Kedungombo, yakni penggusuran petani di Kedungombo, Jawa Tengah, yang lahannya akan digunakan untuk membuat bendungan terbesar di Asia Tenggara. Saat itu juga muncul konflik petani Tapanuli dan Asahan dengan pabrik bubur kertas PT Inti Indorayon. Henry pun mulai terlibat aksi-aksi protes para petani. "Kita ikut berjuang sama-sama teman Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)," katanya. "Sejak itu kita urus kasus-kasus petani."

Penerima beasiswa Supersemar ini mengaku selama kuliah rajin mengikuti forum-forum diskusi di kampus dan di luar kampus. Saat itu forum-forum diskusi telah menjamur di kalangan mahasiswa. Mereka mendiskusikan teori-teori dan persoalan-persoalan sosial. Liberalisasi telah menghantam kehidupan petani lewat globalisasi, privatisasi, dan deregulasi. Hal itu ia nilai telah menghilangkan keharmonisan di desa. "Orang Jepang dulu bangga dengan pertaniannya. Industri Jepang itu dibangun dengan pertaniannya," katanya. "Orang Jepang walaupun bisa impor makanan dari luar, mereka punya hati nurani juga. Sesungguhnya mereka juga memproduksi bahan makanan sendiri."

Di mata kawan-kawannya lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara (USU) ini adalah seorang aktivis tani progresif. Sebelum Soeharto turun, ia bersama kawan-kawannya telah membuat konsep land reform. Tak pelak lagi stigma komunis pun sempat disandangnya. Namun Henry berpendapat, konsep yang dibawanya benar. Keyakinannya semakin kuat ketika semua orang sudah mulai ikut-ikutan berbicara tentang reformasi agraria, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Sekarang Badan Pertanahan Nasional saja sudah menyetujui (land reform). SBY saja sudah membuat program pembaruan agraria," katanya.

Sosoknya selalu mengundang kontroversi. Aktivitasnya telah diakui dunia. Ia dikenal aktivis yang galak dalam menentang kebijakan negara-negara maju yang merugikan rakyat dan mengancam kerusakan lingkungan. Henry pernah diusir ketika berlangsung pertemuan Bank Dunia di Singapura tahun 2006, karena membuat acara tandingan serupa.

Di tengah kesibukannya, Henry selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama istri dan kedua anaknya yang tinggal di Medan. Kadang ia merasa bersalah karena tidak bisa hadir dalam peristiwa-peristiwa penting anaknya. "Saya kadang-kadang merasa nggak enak kalau dia mendapat penghargaan dari sekolah, kadangkala kegiatan saya batalin," katanya.

Henry bahagia karena istri dan anaknya ikut mendukung aktivitasnya. "Kalau tidak setuju, mungkin kami nggak kawin, " kata Henry yang mengaku kawin muda pada usia 27 tahun. Kedua orang tuanya saat itu menginginkan Henry menjadi birokrat. Dengan rendah hati Henry mengatakan pekerjaannya ini tidak sebanding dengan orang-orang yang berjuang untuk hidup. "Bila dibandingkan dengan orang yang membantu persalinan yang harus siap kapan pun ia dibutuhkan," kata aktivis yang tak kuat begadang ini. (E2) Foto: Q-think

©2008 VHRmedia.com

http://www.vhrmedia.com/vhr-story/tokoh-detail.php?.g=stories&.s=tokoh&.e=22